Mohon tunggu...
Liana Fitri
Liana Fitri Mohon Tunggu... mahasiswi

mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengenal Status Quo Bias: Mengapa Kita Cenderung Untuk Mempertahankan Keadaan Sekarang Dan Bagaimana Solusinya?

9 April 2025   12:02 Diperbarui: 9 April 2025   12:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                          Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada berbagai pilihan dan keputusan. Namun, tanpa bisa dipungkiri, kita akan cenderung lebih memilih untuk mempertahankan keadaan saat ini, atau yang dikenal sebagai status quo. Fenomena psikologis ini disebut sebagai status quo bias.

Apa yang dimaksud dengan status quo bias?

           Status Quo bias adalah sebuah fenomena psikologis yang membuat kita lebih memilih untuk mempertahankan keadaan sekarang dari pada melakukan perubahan atau mencoba sesuatu yang baru. Fenomen a ini sering terjadi diberbagai aspek-aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan ataupun penggunaannya dalam keputusan sehari-hari. Mengapa kita lebih memilih untuk mempertahankan sekarang? Menurut Prospect Theory, hal ini terjadi karena ada 2 alasan penting diantaranya yaitu:

  • Lass aversion (ketakutan akan kerugian): kondisi dimana kerugian ini bersifat nyata atau berpotensi dianggap oleh individu secara psikologis maupun emosional, memiliki dampak yang lebih buruk dibandingkan keuntungan yang nilainya setara. Misalnya: sebuah Toko X menawarkan diskon 30% untuk sebuah produk yang biasanya dijual dengan harganya Rp. 300.000. dan harga barang setelah didiskon menjadi RP. 210.000.  Banyak orang merasa bahwa mereka harus membeli produk tersebut sekarang, hal ini dikarenakan mereka takut kehilangan kesempatan untuk membeli dengan harga yang lebih murah.
  • Endowment Effect (Efek kepemilikan): setelah konsumen memiliki sesuatu, mereka merasa nilainya lebih besar dari pada sebelumnya, sehngga sulit untuk melepaskannya. Misalnya: seorang keluarga memiliki sebuah Guci keramik yang sudah diwariskan secara turun temurun dari anggota keluarga yang sebelumnya. Meskipun nilai pasar guci tersebut tidak terlalu tinggi, anggota keluarga merasa enggan untuk menjualnya karena nilai sentimental dan sejarah keluarga yang melekat pada guci tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali merasa lebih menghargai situasi yang sudah kita kenal, bahkan jika keadaan tersebut tidak ideal atau tidak menguntungkan lagi. Bias ini menciptakan resistensi terhadap perubahan karena kita merasa kehilangan atau kehilangan apa yang sudah kita miliki.

Selain kedua hal tersebut, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya status quo bias yaitu:

  • Rasa nyaman yang sudah ada: Manusia secara alami merasa lebih nyaman dengan rutinitas dan keadaan yang sudah dikenal. Ketika kita berada dalam suatu situasi yang cukup familiar, kita merasa lebih aman dan terkendali. Hal ini menciptakan rasa kenyamanan yang membuat kita enggan untuk melakukan perubahan, meskipun kita tahu bahwa perubahan tersebut bisa membawa hasil yang lebih baik.  Rasa nyaman ini adalah hasil dari sistem saraf kita yang cenderung menghindari stres dan ketidakpastian. Ketika kita menghadapi situasi baru yang belum kita pahami sepenuhnya, otak kita akan meresponnya dengan perasaan cemas atau takut akan kegagalan. Oleh karena itu, memilih untuk tetap berada di zona nyaman sering kali dipandang sebagai cara untuk menghindari potensi ancaman yang ditimbulkan oleh ketidakpastian.
  • Adanya Rasa Takut Dan Munculnya Penyesalan: Ketika menghadapi perubahan, kita selalu dihadapkan pada unsur ketidakpastian. Tidak ada jaminan bahwa perubahan yang kita lakukan akan membawa hasil yang diinginkan, dan hal ini sering kali menimbulkan rasa takut. Ketakutan terhadap risiko ini membuat kita cenderung memilih opsi yang sudah kita kenal dan yang tampaknya lebih aman meskipun mungkin kurang optimal. Selain itu, ketakutan terhadap kegagalan dan konsekuensi negatif lainnya seperti kehilangan pekerjaan atau gagal dalam usaha baru adalah bagian dari psikologi manusia yang mengarah pada keengganan untuk melakukan perubahan. Seseorang seringkali akan merasa takut jika apa yang sudah menjadi pilihannya ternyata salah dan Rasa takut yang muncul ini cenderung akan membuat orang untuk tidak melakukan apa-apa dari pada harus mengambil resiko.
  • Adanya biaya perubahan: Perubahan seringkali membutuhkan usaha, waktu serta biaya. Baik secara finansial (biaya penggantian peralatan, biaya pelatihan yang diikuti oleh karyawan) maupun emosional (Stress, kecemasan dan ketidakpastian). Hal ini bisa menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan perubahan.
  • terlalu banyak pilihan: Paradoks pilihan menunjukkan bahwa terlalu banyak pilihan justru akan membuat kita merasa kewalahan dan akhirnya memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
  • Pengaruh Sosial Dan Budaya: Lingkungan sosial kita juga berperan dalam memperkuat status quo bias. Jika orang-orang di sekitar kita baik keluarga, teman, maupun rekan kerja juga enggan melakukan perubahan, kita akan merasa lebih aman mengikuti apa yang mereka lakukan. Efek konformitas sosial ini membuat kita lebih cenderung mempertahankan status quo, karena kita merasa tidak ingin dianggap berbeda atau di luar norma. Selain itu, budaya masyarakat kita sering kali menekankan pentingnya stabilitas dan keamanan. Dalam banyak konteks, seperti dalam dunia kerja atau dalam masyarakat pada umumnya, perubahan sering kali dianggap sebagai ancaman daripada peluang. Hal ini semakin memperkuat kecenderungan kita untuk memilih untuk tetap bertahan dalam situasi yang ada.

Bagaimana mengatasi status quo bias?

Ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk mengatasi kecenderungan ini dan membuat keputusan yang lebih baik lagi.

  • Meningkatkan Status Kesadaran Diri: Langkah pertama dalam mengatasi status quo bias adalah dengan menjadi lebih sadar akan keberadaannya dalam diri kita. Dengan menyadari bahwa kita cenderung lebih memilih untuk mempertahankan keadaan yang ada, kita dapat lebih kritis dalam mengevaluasi keputusan-keputusan kita. belajarlah untuk mengenali kapan keputusan yang diambil didorong oleh ketakutan akan perubahan dan bukan oleh pertimbangan rasional.
  • Evaluasi apa yang dipilih secara rasional: Sebelum membuat keputusan besar, penting untuk mempertimbangkan semua pilihan yang ada dengan rasional. Lakukan riset yang mendalam tentang pro dan kontra dari setiap alternatif. Tanyakan pada diri sendiri, "Apa yang akan terjadi jika saya tetap berada dalam keadaan ini?" dan "Apa yang bisa saya dapatkan jika saya mencoba perubahan?"
  • Mencoba hal baru dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi: Jangan takut untuk mencoba hal-hal baru. Mulailah dengan perubahan kecil yang memungkinkan akan merasakan manfaat dari inovasi atau perubahan tersebut tanpa merasa terlalu tertekan. Dengan mencoba perubahan secara bertahap, kita bisa mengurangi rasa takut dan kecemasan yang biasanya datang dengan ketidakpastian.
  • Fokus Pada Manfaat Jangka Panjang: Orang cenderung akan berfokus pada ketidaknyamanan jangka pendek, hal ini merupakan salah satu hal yang harus kita hindari. Dan cobalah untuk memperhatikan manfaat jangka panjang yang akan didapatkan dari perubahan tersebut. Kita harus terfokus dititik dimana perubahan dapat memperbaiki kualitas hidup anda dalam waktu yang relatif lama.

Dampak Status Quo Bias:

Status quo bias dapat memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, baik secara individu maupun dalam skala yang lebih luas. Berikut adalah beberapa dampak utama dari kecenderungan ini:

  • Menghambat inovasi serta kemajuan teknologi: 
    • Keengganan untuk berubah yang nantinya dapat menghambat adopsi teknologi baru, ide-ide inovatif, dan praktik-praktik yang lebih efisien.
    •  Dalam dunia bisnis, hal ini dapat menyebabkan perusahaan kehilangan daya saing dan tertinggal dari perkembangan pasar. 
    • Dalam kehidupan pribadi, hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan diri.
  • Melewatkan peluang yang lebih baik lagi: Dengan terpaku pada keadaan saat ini, seseorang mungkin melewatkan peluang-peluang yang lebih menguntungkan, baik dalam karier, investasi, maupun kehidupan pribadi. Rasa takut akan risiko dan ketidakpastian dapat membuat seseorang enggan mengambil langkah yang diperlukan untuk mencapai potensi penuh mereka.
  • Terjebak dalam kebiasaan buruk: Status quo bias dapat membuat seseorang sulit melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti pola makan tidak sehat, kurang olahraga, atau hubungan yang tidak sehat. Rasa nyaman dengan yang familiar dapat mengalahkan keinginan untuk berubah, meskipun perubahan tersebut akan membawa manfaat jangka panjang.
  • Dampak Pada Keputusan Finansial: Dalam investasi, status quo bias dapat membuat investor enggan untuk mendiversifikasi portofolio mereka atau beralih ke investasi yang lebih menguntungkan. Dalam pengeluaran sehari-hari, hal ini dapat membuat seseorang terus menggunakan produk atau layanan yang sama, meskipun ada alternatif yang lebih baik atau lebih murah.
  • Dampak Pada Kebijakan Publik: Dalam kebijakan publik, status quo bias dapat menghambat implementasi kebijakan-kebijakan baru yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial atau ekonomi. Politisi dan pembuat kebijakan mungkin enggan untuk mengambil risiko atau membuat perubahan yang tidak populer, meskipun perubahan tersebut akan membawa manfaat bagi masyarakat secara luas.
  • Dampak pada Hubungan Sosial: Dalam hubungan sosial, status quo bias dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat atau tidak memuaskan. Keengganan untuk berubah dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan hubungan yang sehat.

Contoh penerapan status quo bias dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu contoh penerapan status quo bias dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam hal pemilihan Bank antara Gen Z dan Gen Milennial.

  • Pengaruh bank pertama yang digunakan dan kemudahan yang didapat
    • Generasi Milenial ketika pertama kali mendapatkan pekerjaan ia akan membuka rekening dan cenderung memilih bank yang dekat dengan tempat tinggal atau tempat kerja. Seiring berjalannya waktu, pendapatan yang diperoleh akan semakin meningkat dan muncul banyak penawaran yang dilakukan oleh beberapa bank seperti suku bunga yang lebih tinggi, biaya administrasi rendah, penggunaan fitur yang lebih canggih dll. Namun dalam hal ini, generasi milennial cenderung enggan untuk berganti dan lebih memilih untuk mempertahankan bank lamanya dengan alasan sudah terbiasa dengan layanan yang dilakukan, nomor rekening yang sudah tersebar ataupun ia akan merasa kerepotan jika harus memindahkan semua datanya ke bank yang baru.
    • Sedangkan generasi Z ketika memasuki dunia kerja ia akan cenderung lebih mudah untuk mengikuti arus atau jejak yang dilakukan oleh teman-temannya, atau dengan kata lain ia akan cenderung memilih bank yang populer dikalangan mereka. Hal ini dikarenakan kemudahan penggunaan aplikasi mobile banking dan fitur-fitur digital lainnya. Setelah terbiasa dengan bank tersebut, ia menjadi enggan untuk mencoba bank lain. Rasa familiar dengan antar muka dan kemudahan bertransaksi menjadi status quo biasnya.
  • Kepercayaan dan Reputasi yang dimiliki Bank Tradisional
    • Seorang generasi milennial cenderung lebih mempertahankan rekening di bank tradisional yang tentunya sudah memiliki reputasi yang baik dan cabang yang luas. Kepercayaan terhadap kepentingan yang sudah lama berdiri menjadi status quo bias-nya. Ia merasa lebih aman menyimpan dana diBank yang sudah dikenal dan memiliki kehadiran fisik.
    • Sedangkan Gen Z lebih cenderung terbuka terhadap teknologi, sebagian Gen Z mungkin juga dipengaruhi oleh faktor kepercayaan dan reputasi, terutama untuk menyimpan dana dalam jumlah yang bisa dibilang besar atau produk keuangan yang lebih kompleks. Mereka mungkin lebih memilih bank yang direkomendasikan oleh orang tua. Msekipun ada alternatif digital yang lebih menarik.
  • Inersia dan biaya peralihan
    • Generasi milennial akan merasa kerepotan jika harus mengganti bank karena nantinya ia harus menyisihkan waktu dan biayanya untuk melakukan peralihan menjadi pendorong status quo bias.
    • Sedangkan pada generasi Z meskipun ia cepat beradaptasi dengan teknologi, ia juga bisa terjebak dalam inersia. Setelah semua transaksi digital mereka dapat terhubung dengan satu aplikasi bank, rasa malas untuk mengulang proses pendafatran dan menghubungkan kembali semuanya ke bank lain bisa menjadi status quo bias.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun