Mohon tunggu...
Lian Gayo
Lian Gayo Mohon Tunggu... Administrasi - Desliana Maulipaksi

Mantan wartawan, Staf Humas Kemendikbud, Ibu Negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menerka Kebudayaan dalam Kabinet Baru

22 Oktober 2019   14:23 Diperbarui: 22 Oktober 2019   16:44 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 telah dilaksanakan pada Minggu, 20 Oktober 2019. Setelah pelantikan presiden, agenda selanjutnya yang ditunggu masyarakat Indonesia adalah pengumuman kabinet. Seperti yang terjadi dalam dua hari ini, tokoh-tokoh yang diduga akan masuk dalam jajaran kabinet baru, datang ke Istana Kepresidenan untuk memenuhi panggilan Presiden Joko Widodo.

Masyarakat sibuk menerka siapa saja yang akan masuk dalam jajaran kabinet baru dan pos kementerian/lembaga yang akan ditempati mereka. Sebagian mencoba menerka mengenai perubahan nomenklatur atau penamaan kementerian/lembaga negara.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah salah satu kementerian yang suka tidak suka, mau tidak mau, "rajin" berganti nomenklatur. Kementerian ini kembali dilanda isu mengenai perubahan nomenklaturnya dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Kebudayaan pun disebut-sebut akan terlepas dari kementerian ini.

Urusan kebudayaan nasional yang selama ini berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, kabarnya akan kembali ke pangkuan Kementerian Pariwisata. Hal ini terakhir kali terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat itu, urusan kebudayaan berada di bawah nama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sejarah mencatat, setelah Indonesia merdeka, urusan pendidikan berada di bawah Kementerian Pengajaran dengan Ki Hadjar Dewantara sebagai menteri pertama di tahun 1945. Dalam Kabinet Hatta I pada tahun 1948, untuk pertama kalinya kebudayaan disebut di dalam nomenklatur kementerian pendidikan, yaitu Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Saat itu Ali Sastroamidjojo ditunjuk sebagai Menteri PP dan K. Ia menjabat cukup singkat, yakni pada 29 Januari 1948 hingga 4 Agustus 1949 (dilansir dari laman kemdikbud.go.id, tentang Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Sejak saat itu, meski berganti-ganti kabinet, nama kebudayaan terus melekat dalam nomenklatur Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) hingga tahun 1966 dalam Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi. Kemudian di tahun yang sama, saat kabinet berubah menjadi Kabinet Ampera, nomenklatur Kementerian PP dan K pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), dengan Ki Sarino Mangunpranoto sebagai menterinya.

Pada tahun 1968, di masa Kabinet Pembangunan I, nomenklatur kementerian diganti menjadi departemen sehingga penamaannya berubah menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (disingkat menjadi P dan K atau Depdikbud). Sejak saat itu, hingga tahun 1999, urusan kebudayaan dan pendidikan berada di bawah satu kementerian.

Kebudayaan akhirnya terpaksa berpisah dari pendidikan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dalam Kabinet Persatuan Nasional pada tahun 1999. Dalam kabinet tersebut, urusan pendidikan berada di bawah nomenklatur Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan urusan kebudayaan berada di bawah Kementerian Negara Pariwisata dan Kesenian (belakangan berubah menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata saat perombakan kabinet). Selama kurang lebih 11 tahun, kebudayaan terpisah dari kementerian pendidikan.

Hingga akhirnya pada tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II, dan mengembalikan urusan kebudayaan dan pendidikan dalam satu kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Urusan kebudayaan pun otomatis berpindah ke Kemendikbud karena Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Saat itu Mohammad Nuh ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan dibantu dua wakil menteri, yakni Musliar Kasim sebagai Wakil Menteri Bidang Pendidikan dan Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Menteri Bidang Kebudayaan.

Kini, setelah delapan tahun bersatu, isu lepasnya kebudayaan dari Kemendikbud kembali berembus kencang. Beredar kabar bahwa kebudayaan akan kembali lagi bersatu dengan Kementerian Pariwisata. Padahal, sebelumnya telah berkembang isu bahwa kebudayaan akan berdiri sendiri menjadi Kementerian Kebudayaan.

Munculnya isu akan dibentuknya Kementerian Kebudayaan bukan tanpa alasan. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pasal 6 menyebutkan bahwa Pemajuan Kebudayaan dikoordinasikan oleh Menteri. Meski secara spesifik tidak disebutkan Kementerian Kebudayaan, pasal ini memunculkan harapan akan hadirnya Kementerian Kebudayaan. 

Sebagai negara yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, rasanya wajar bila negara ini memiliki Kementerian Kebudayaan. Indonesia yang membentang dari ujung barat hingga timur, memiliki lebih dari 17.000 pulau, 668 bahasa daerah, dan ratusan suku bangsa. Tak dipungkiri, khazanah kekayaan budaya nusantara sangat besar. Kebudayaan menjadi kekuatan dan kekayaan bangsa ini. Sehingga wajar jika republik ini memiliki sebuah lembaga negara di tingkat kementerian yang khusus membawahi urusan kebudayaan nasional.

Kebudayaan akhirnya berada di antara tiga pilihan: berdiri sendiri sebagai Kementerian Kebudayaan, tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bersama dengan Kementerian Pariwisata.

Sesungguhnya pendidikan dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Ibarat dua sisi mata uang koin, pendidikan dan kebudayaan berada di masing-masing sisi. Keduanya hidup berdampingan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan. Sebaliknya, pendidikan pun selalu berkembang dalam lingkup kebudayaan. Bahkan bisa dibilang, arah pembangunan negara ini harus mengacu pada pendidikan dan kebudayaan nasional.

Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, adalah guru bangsa yang tidak memisahkan konsep pendidikan dari kebudayaan. Dalam membuat kurikulum pendidikan, Ki Hajar Dewantara selalu memasukkan unsur kebudayaan.

Misalnya dalam membuat konsep Taman Siswa. Unsur-unsur kebudayaan lokal dimasukkan dalam kurikulum, mulai dari TK (Taman Kanak-Kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah. Hal ini bertujuan untuk melatih panca indra jasmani, kecerdasan, dan yang paling utama adalah kehalusan budi pekerti atau pendidikan karakter.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 2016-2019, Muhadjir Effendy, sempat menegaskan posisi kebudayaan dalam pendidikan nasional. Ia mengatakan, kebudayaan bukan subordinat, kebudayaan adalah ruh pendidikan. “Pendidikan merupakan ujung tombak kebudayaan nasional, sebab pendidikan sejatinya merupakan upaya pembentukan watak sesuai dengan cita-cita keberadaan bangsa Indonesia. Melalui instrumen pendidikanlah, kebudayaan nasional dapat dimajukan secara meluas dan merata ke seluruh komponen bangsa,” katanya.

Berbicara mengenai hakikat kebudayaan, kita bisa melihat besarnya peran pendidikan dalam perkembangan kebudayaan. Tidak terbayangkan wajah pendidikan kita tanpa adanya kebudayaan. Pendidikan nasional harus hidup berdampingan dengan kebudayaan nasional.

Karena itulah, jika kebudayaan belum bisa berdiri sendiri sebagai sebuah kementerian, sebaiknya kebudayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bukan di Kementerian Pariwisata.

Selama periode Kabinet Kerja (2014-2019), banyak hal yang sudah dicapai Kemendikbud di bidang kebudayaan, sehingga akan lebih baik dilanjutkan dalam kementerian yang sama agar tidak ada program atau kebijakan yang terputus.

Di bawah kepemimpinan Hilmar Farid sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud membuat terobosan-terobosan baru dalam pemajuan kebudayaan nasional. Disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah salah satu capaian tersebut, mengingat proses pembuatan UU ini sudah berjalan selama puluhan tahun.

Kemendikbud juga telah melahirkan Indonesiana, sebuah platform kegiatan kebudayaan yang menjadi sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan festival-festival budaya. Indonesiana bertujuan untuk meningkatkan kualitas tata kelola kebudayaan, baik dari sisi kualitas, manajemen, maupun tindakan.

Pada Desember 2018, Kemendikbud menggelar Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI), yang salah satunya menghasilkan Strategi Kebudayaan Nasional. Strategi kebudayaan disusun berdasarkan rangkuman Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dari berbagai wilayah di Tanah Air, dan akan menjadi dasar perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang. Presiden Joko Widodo yang hadir saat penutupan KKI 2018 pun menerima langsung dokumen Strategi Kebudayaan Nasional dari Tim Perumus.

Terakhir, yang masih hangat dalam ingatan kita adalah pelaksanaan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) di Istora Senayan, pada 7 s.d. 13 Oktober 2019. Kesuksesan PKN 2019 di Jakarta mengundang tuntutan dari masyarakat agar PKN bisa diselenggarakan setiap tahun di provinsi yang berbeda-beda.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, sebaiknya kebudayaan tidak lagi menjadi seperti bola pingpong yang bolak-balik berganti instansi. Kebudayaan bukan berada di dalam kabinet. Kebudayaan ada di dalam negara ini, dan menjadi ruh pendidikan, sekaligus menjadi arah pembangunan negara. Sejatinya kebudayaan juga menjadi perhatian serius pemerintah, karena Indonesia adalah negara adidaya budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun