Mohon tunggu...
Lia Kurniawati
Lia Kurniawati Mohon Tunggu... Dosen - Realistis dan No Drama

Author - Founder Manajemen Emosi & Pikiran (MEP) Dosen Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pada Siapa Aku Harus Berlindung?

2 Juli 2015   05:47 Diperbarui: 2 Juli 2015   08:04 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak, bukan miniatur orang dewasa  Mereka adalah sesosok pribadi yang unik dan mempunyai karakter tersendiri. Setiap kita pernah melewati fase anak-anak, baik itu masa bahagia ataupun melewati fase ini dengan tidak menyenangkan.  Dada terasa sesak, tatkala membuka socmed   mata dibuat sarekseuk dengan deretan huruf-huruf "kedzoliman",  bahkan begitu menyalakan Televisi berita itu lagi yang muncul! rupanya jadi trending topic hari ini! anak berusia 8 tahun seusia anakku, mendengar dia dikubur dengan memeluk boneka kesayangannya, banyak luka sundutan rokok di punggungnya, ah rasanya tak sanggup menguraikan kesakitan-kesakitan yang dideritanya ... huft L ... duuuuhh   terbayang jerit tangisnya! seandainya aku berada disana, akan aku peluk dia dan segera ku bawa pergi jauh dan ku arahkan bogem mentahku pada sang penganiaya itu!. Pikiranku berkecamuk, sibuk berimajinasi berandai-andai … Biadab benar orang itu! rupanya setan lebih menguasai orang itu daripada rasa iba nya ...  Ya Allah Ya Rob ... :'( .

Ingin rasanya aku hidup pada zaman dimana semua orang sejahtera tanpa kekurangan apapun sehingga mungkin saja tidak ada hal-hal yang dapat merugikan manusia lain. Namun,  kembali pada Qodlo dan Qodr tidak semata-mata Allah menurunkan manusia di bumi melainkan untuk menjadi khalifah yang senantiasa beribadah kepada Nya. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan, semuanya berdasarkan ketetapan dan ketentuan Allah semata.  Sepertinya bukan suatu kebetulan pula hidup pada zaman dimana manusia tanpa iman tak lagi punya kesungkanan untuk menjadi sang algojo bagi manusia lain, tubuh-tubuh manusia di habisi dan dilempar begitu saja layaknya bangkai-bangkai ayam yang siap menjadi olahan restoran siap saji, sungguh tak punya arti … Astaghfirullah… . Sepertinya aku harus “ngabandungan” dari semua drama yang menguras hormon kortisol ini. Tutup telinga dan alihkan pandangan mungkin menjadi salah satu pilihan yang “tak mengenakkan”.

Ingin berbuat banyak namun apa yang bisa dilakukan? Suaraku tidak terlalu lantang menyerukan dan meminta agar setiap orang dewasa untuk menyayangi  dan peduli terhadap anak-anak. Sayangnya tidak ada lembaga pendidikan yang dapat menyelenggarakan dan meluluskan setiap kita menjadi orangtua. Kembali berandai-andai, seandainya saja negara menyelenggarakan dan mewajibkan setiap orang dewasa untuk mengikuti satu lembaga pendidikan penyelenggara bagaimana menjadi orangtua yang memiliki skill untuk peduli terhadap anak-anak. Karena tidak dipungkiri menjadi orangtua merupakan pilihan hidup yang tak bisa di elakkan. Selama ini mahkamah pelaminan berlangsung seperti itu saja, tanpa ada jaminan apakah setelah mereka menduduki kursi pelaminan akan berpredikat orangtua yang sayang terhadap anak atau tidak.

Harus darimanakah menarik benang merah dari permasalahan ini muncul?, Gelisah karena tak mampu berbuat banyak untuk anak-anak yang mungkin diluar sana masih banyak korban kekerasan orang-orang dewasa. Sepertinya selama ini Komnas Anak berkoar-koar mengenai perlindungan terhadap anak bagaikan buih di tengah amukan gelombang lautan. Tak mampu lagi menyalahkan siapa-siapa, hanya menyalahkan dan mengupayakan diri menjadikan orang dewasa yang berempati dan memperjuangkan hal-hal kecil terhadap hak anak, dan mudah-mudahan hal kecil itu berdampak besar dimasa yang akan datang.

Allah membuat satu ketetapan dengan membuat perjanjian ruh manusia dengan Rabb-nya kala sebelum dilahirkan, kenapa anak itu menyepakati untuk dilahirkan jika ia tahu akan berakhir tragis ditangan sang pembunuh. Jika saja manusia tak diberikan “lupa” , lupa diri setelah melihat indahnya dunia, hingga ia lupa untuk memproteksi dirinya sendiri.  Jangankan kekerasan fisik, kekerasan psikis anak seperti mengerdilkan karakter anak dengan labeling seorang anak itu pun sudah merupakan penganiayaan hak anak.  Sepertinya aku hidup pada zaman Zahiliyyah.  Lalu apa yang harus aku lakukan? …

Bergabung dengan KPAI rasanya butuh keberanian diri untuk dihadapkan dengan berbagai macam keluhan penganiayaan anak-anak baik secara fisik maupun psikis. Hhhhhh… rasanya belum sanggup untuk itu namun siapa yang akan meneruskan bangsa ini jika saja anak-anak pada generasi ini sudah di rusak oleh sebagian orang dewasa yang tak punya rasa tanggung jawab.

 

 

 

Foot Note :

  1. Socmed : Social Media
  2. Sarekseuk : Kondisi mata terhalang debu dan mengganggu pandangan
  3. Ngabandungan : mengikuti dan mengamati
  4. Skill : Keahlian, kemampuan
  5. Labelling : Memberikan cap negative terhadap anak

 

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun