Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kemana Air akan Meresap?

6 November 2015   06:15 Diperbarui: 6 November 2015   09:38 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Taman Matraman Kebayoran Baru, sebagai ruang terbuka hijau berfungsi pula sebagai area resapan air. Foto : Kompas.com"][/caption]Musim kemarau tahun 2015 yang panjang akibat pengaruh El Nino diprediksi akan segera berakhir. Kini masuk musim pancaroba, dan selanjutnya musim hujan. Dengan demikian hiruk pikuk kebakaran hutan dan kabut asap diharapkan juga segera berakhir pula. BMKG memperkirakan awal musim hujan 2015/2016 umumnya mulai bulan November 2015 di sebanyak 139 zona musim/ZOM (40.6%) dan Desember 2015 sebanyak 103 ZOM (30.1%).

Hiruk pikuk bencana akan beralih dari kebakaran hutan dan kabut asap ke banjir dan tanah longsor. Kita biasanya tidak siap, setelah terjadi bencana baru kelabakan. Padahal pengalaman adalah guru terbaik, tetapi kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Kita mudah lupa ketika bencana sudah lewat, pengalaman yang diperoleh tidak dijadikan pelajaran untuk persiapan menghadapi bencana di kemudian hari.

Banjir dipastikan akan datang dan kita tidak siap. Mengapa bisa dipastikan? Karena siklus hidrologi di bumi, khususnya bumi Indonesia sudah tidak normal. Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi, mestinya sebagian akan masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi aliran permukaan, dan yang sebagian besar masuk ke sungai dan akhirnya bermuara di laut.

Curah hujan di wilayah Indonesia cukup tinggi, yaitu 2.000-4.000 mm/tahun dapat menjadi sumber air bersih, tetapi yang terjadi sekarang hujan tersebut sering menimbulkan musibah banjir pada musim penghujan, karena air hujan tidak dapat meresap ke tanah seiring dengan menurunnya daerah resapan.

Tidak ada kota yang mampu memenuhi ketentuan 30% ruang terbuka hijau (atau minimal 20% ruang terbuka hijau publik). Bukit-bukit di pinggir kota dikeruk untuk dijadikan tanah timbun atau diubah menjadi perumahan seolah tanpa pengaturan dan pengendalian. Hutan banyak dirusak, atau terbakar pada musim kemarau sehingga menurun fungsinya. Lalu, apa yang akan mampu menyerap dan menyimpan air hujan yang turun?

Apa yang harus dilakukan? Kalau sekarang ya sudah kepalang basah. Menyediakan lahan di perkotaan untuk ruang terbuka hijau, sulit. Memperbaiki dan reboisasi hutan butuh waktu yang lama. Mengembalikan bukit-bukit yang sudah jadi perumahan jelas tidak mungkin. Berpegang pada pepatah mencegah lebih baik dari pada menanggulangi, sebaiknya segera kita terapkan teknik peresapan dan penyimpanan air, walaupun terlihat sepele dan sederhana.

Teknik untuk pemanfaatan dan peresapan air hujan sudah disusun dalam bentuk Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan. Ada tiga teknik yang bisa diterapkan, yaitu :

1) Kolam pengumpul air hujan, merupakan kolam atau wadah yang dipergunakan untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan (rumah, gedung perkantoran atau industri) yang disalurkan melalui talang.

2) Sumur resapan, yaitu lubang yang dibuat untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah dan atau lapisan batuan pembawa air.

3) Lubang resapan biopori, lubang yang dibuat secara tegak lurus (vertikal) ke dalam tanah, dengan diameter 10-25 cm dan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah.

[caption caption="Lubang resapan biopori. Gambar : Permen LH No. 12 Tahun 2009"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun