Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Memeluk" Si Ego

19 Mei 2022   05:37 Diperbarui: 19 Mei 2022   05:40 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Picoes dalam bukunya yang berjudul "100 Hari Melihat Diri," bahwa kita akan susah menasehati seseorang ketika ia sedang dimabuk cinta atau egois alias selalu ingin menangnya sendiri. Keduanya pasti pernah dialami oleh setiap orang, termasuk yang nulis ini.

Yang pertama, ada yang menggambarkan situasi dan kondisi dimabuk asmara itu dengan perandaian "tai kucing rasa coklat" atau "dunia ini milik kita berdua, dan yang lainya ngontrak." Hahahaha

Nah yang kedua, dipercaya banyak orang merupakan akar masalah dari semua masalah di dunia ini, yaitu ego. Ego ini sebenarnya sudah "build in" atau istilah Jawanya "gawan bayi" setiap manusia. Bahasa kerennya, manusia sebagai mahluk egosentris. Memang jika dikelola dengan baik, ada sisi positifnya, yaitu sebagai pertahanan diri agar tetap bisa eksis dalam mengarungi hidup di dunia ini.

Saya sebagai rimbawan terkadang mengibaratkan sesuatu dengan tanaman. Jika sifat-sifat manusia seperti egois, pemarah, penakut, periang, pemurah, dll diibaratkan tanaman, maka perlu dirawat dan dipupuk dengan baik dan benar agar tumbuh dengan subur.

Jika sifat egois lebih kita rawat dan pupuk dibandingkan sifat-sifat penyayang, pemurah, penyabar, toleran maka kita akan menjadi sosok yang suka menangnya sendiri, rakus, tamak, penindas. 

Demikian juga sebaliknya, jika sifat perduli dengan sesama, maka kita akan menjadi sosok yang ringan tangan untuk membantu sesama atau dermawan.

Memang tidaklah mudah untuk mengubah karakter yang sudah mendarah daging. Jika secara genetik dan lingkungan mendukung terbentuknya karakter, apalagi sudah usia berkepala empat ke atas. Untuk mengubahnya perlu latihan dan kerja keras, atau kejadian luar biasa yang dapat menyadarkannya.

Jika egois itu diibaratkan dengan seorang Boss dan kesadaran untuk berubah ke karakter yang lebih baik itu adalah anak buah atau pembantu (office boy). 

Maka ketika roda dunia akan berputar, dimana Si pembantu akan menjadi Bossnya, maka Si Boss tersebut dengan kekuasaan dan segala kekuatannya akan menghentikannya. Mari kita bayangkan situasi ini terjadi di kantor kita masing-masing.

Salah satu ciri kita memiliki sifat egois yang sederhana adalah ketika kita dikritik, maka kita akan tersinggung. Dan sebaliknya, jika dipuji, maka perasaan kita membumbung atau berbunga-bunga, bukan?

Lah bagi penulis, kondisi di atas terasa makjleb banget. Kalau meminjam bahasa misuhnya Mprop Picoes al-Jingini, "Jinguk tenan ik!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun