Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jakob Oetama, Istilah Jurnalisme Kepiting, dan Diplomasi Media Melawan Korupsi

9 September 2020   19:58 Diperbarui: 10 September 2020   08:02 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pusat Informasi Kompas

Juga, studi ini menilai Kompas melakukan transformasi diri untuk menjadi lebih kritis dan pada saat yang sama tetap pengedepankan gaya analisis yang dalam dan tertata secara konvensional. 

Yang menarik dan jadi temuan penting adalah bahwa studi ini menyitir pernyataan Ignatius Haryanto dari the Institute for the Study and Development of Press (LSPP) yang dilakukan pada November 2012 yang menyebutkan bahwa Kompas menjadi lebih berani untuk memuat tulisan politik yang sensitif berkaitan dengan isu kepresidenan, pelanggaran hak asasi manusia, dan skandal korupsi. 

Keberanian Kompas yang mengangkat korupsi yang dilakukan oleh Korlantas di bawah POLRI dan melibatkan pejabat tinggi POLRI, Irjen Djoko Susilo, terkait pengadaan simulator kendaraan yang menyebabkan negara rugi Rp 100 miliar dari tender senilai Rp 198,7 miliar adalah salah satu contohnya. 

Investigasi Kompas ini dilanjutkan oleh KPK yang 3 bulan kemudian menetapkan Gubernur Akadami Kepolisian, yang pada saat itu merupakan mantan pimpinan Korlantas, Irjen Djoko Susilo menjadi terdakwa tunggal atas kasus tersebut. Studi ini menyebut Kompas menjadikan pres melakukan peran untuk malawan tindak korupsi.

Studi itu menuliskan bahwa peristiwa tersebut mengundang perhatian publik karena kemudian masyarakat menilai tindakan polisi pada kasus-kasus korupsi dinilai hanya untuk melindungi pejabat kepolisian yang korup. 

Ini dikaitkan dengan peristiwa tarik-tarikan antara POLRI dan KPK di tahun 2009 ketika Majen Polisi Susno Duadji menuduh KPK menyadap telpon genggamnya, yang menyebutnya meminta Rp 10 miliar dari Boedi Sampoerna untuk membersihkan catatan bisnis di rekening Bank Century. 

Yang terjadi berikutnya adalah POLRI menangkap komisioner KPK Bibit dan Chandra dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang, yang melibatkan suap dalam investigasinya terkait pelaku bisnis. Penangkapan kedua pimpinan KPK ini memunculkan protes dari kalangan aktivis anti korupsi melalui media arus utama dan media sosial. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Cicak dan Buaya.

Yang menarik studi ini mengkaji konten yang ada di kolom opini, hukum dan kolom lain di harian Kompas terkait peristiwa di atas dan mencatat bahwa bagaimana Kompas menggarisbawahi KPK sebagai lembaga yang secara hukum punya legitimasi dalam memberantas korupsi. 

Selama dua bulan dicatat terdapat 35 artikel utama terkait isu itu. Artikel tersebut terdiri dari 6 artikel di halaman depan, 21 artikel terkait hukum dan politik dan 5 artikel opini serta 3 artikel di kolom lain-lain yang berfokus pada persoalan itu.

Kompas dinilai memberikan dukungan penuh pada KPK, misalnya dalam artikel 'Rakyat Dukung KPK Bongkar Kasus SIM", dan menuliskan pernyataan yang mengatakan "Kalau KPK sungguh-sungguh, publik akan menonton dan menjadi supporter fanatic. Publik bisa marah jika tim kesayangannya (KPK) dicurangi"

Melihat adanya dugaan penggembosan atau pelemahan KPK, Kompas saat itu dinilai menjaga validitas beritanya dengan cara mengumpulkan fakta dan data, dan mewawancarai sumber terpercaya dan berimbang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun