Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jakob Oetama, Istilah Jurnalisme Kepiting, dan Diplomasi Media Melawan Korupsi

9 September 2020   19:58 Diperbarui: 10 September 2020   08:02 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pusat Informasi Kompas

Peristiwa pembredelan pada banyak media itu dicatat mambawa beberapa implikasi, antara lain hadirnya Petisi 50. Sekelompok tokoh pendiri Petisi 50 berpendapat bahwa media telah dibrangus untuk tidak berbicara dan mengkritik pemerintah. Dan karena kritis pada pemerintah, pemikiran dan pandangan Petisi 50 tidak perdah muncul secara terbuka di media cetak yang dianggap patuh pada pemerintah.

Dalam jurnal itu, Atmadji Soemarkidjo menuliskan perdebatan yang menyeruak di antara tokoh media senior karena peristiwa pembredelan telah membungkam media. Misalnya, ia menuliskan bahwa Rosihan Anwar, wartawan senior mengutip ucapan Jacob Oetama yang menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan bukanlah strategi "jurnalisme kepiting". "Ibarat orang yang sedang berjalan di dasar sungai dan kakinya meraba-raba apakah ada bahaya di depan. Jika ada kepiting dirasakannya menggigit kakinya, maka cepat-cepat ia mundur selangkah. Kalau kepiting sudah tidak ada lagi, barulah dia maju ke depan".

Repotnya, Rosihan malah menuduh Jakob Oetama mempraktikkan "jurnalisme kepiting" itu. Ini tentu tidak disukai Jakob. Jakob menjelaskan bahwa persoalan yang kompleks (seperti di Indonesia) tidak dapat dilihat secara hitam dan putih. Jakob mengatakannya bahwa pertimbangan-pertimbangan yang dalam selalu menjadi nilai dalam Kompas. 

Setelah masa reformasi, bermunculanlah kebebasan pers, tetapi pada saat yang sama lahirlah media sosial. Ini tentu membawa dinamika berbeda karena media sosial mendorong pembentukan opini publik dengan lebih agresif. Kelahiran KPK dinilai memicu media untuk bisa mengangkat isu korupsi besar ke permukaan.

Lalu, bagaimana sebetulnya dedikasi Jakob Oetama pada gerakan anti korupsi?

Di tahun 2011, Jakob Oetama membuka suatu seminar 'Korupsi yang Memiskinkan" ketika Kompas menjadi tuan rumah. Ia berpendapat bahwa feodalisme adalah akar masalah korupsi karena feodalisme memunculkan previlege. Previledge ini membuka ruang untuk adanya penyalahgunaan wewenang. 

Seminar itu mendapat respons positif karena dihadiri oleh pembicara dari berbagai kalangan, baik dari KPK maupun dari intelektual yang mewakil organisasi penting, seperti universitas dan lembaga keagamaan. Ada Zuhairi Misrawi dari Nahdatul Ulama, Ahmad Syafii Maarif mewakili Pengurus Pusat Muhammadiyah, Karlina Supeli mewakili pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Akhiar Salmi dari Universitas Indonesia serta HS Dillon dan Eva Kusuma Sundari yang saat itu Ketua Fraksi PDI-P di DPR. Ini gambaran dari dedikasi dan kesetiaan Jacob Oetama pada gerakan anti korupsi. 

Suatu tulisan karya Ambang Priyonggo dan Lupita Wijaya membuat analisis konten dengan studi kasus tentang peran Koran Kompas dalam gerakan anti korupsi. Tulisan "Press as an Agent of Restraint: The Political Roles of Indonesian Press against Corruption" ini dipresentasikan di the Fifth Conference of Communication Industry and Journalism Education in the Digital Age, Chinese Culture University, Taiwan, yang diselenggarakan pada 4 dan 5 Juni 2013. 

Pilihan pada studi kasus Harian Kompas karena Kompas merupakan harian nasional terbesar dan satu dari sekian media yang terlama juga paling dipercaya.

Studi itu mencatat suatu wawancara antara Majalah Tempo di tahun 1983 yang Jakob Oetama tulis di bukunya "Pers Indonesia: mengabdi pada masyarakat tak tulus", yang menggambarkan bahwa Jakob mengakui bahwa ia harus menerapkan jurnalisme yang tertata dan dikelola secara berhati-hati. 

Ini ia lakukan karena kita masih hidup di suatu masyarakat yang masih belajar demokrasi dan dipengaruhi oleh budaya politik yang masih dikuasai 'supra structure', dan ia menulis ini dalam konteks di masa Soeharto. Iapun mengatakan bahwa keputusan suatu media mempraktekkan hal tersebut merupakan hak media itu dalam menterjemahkan apa itu demokrasi dan kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun