Pembangunan Berkelanjutan yang Terancam COVID-19 (dan Kebijakan yang Tak Berpihak Pada Rakyat dan Kemanusiaan)
Komitmen Indoensia pada ke 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) bukanlah sekedar deretan tujuan dan target target yang tanpa makna. Makin jauhnya suatu negara dari target SDGs menunjukkan tertinggalnya mereka dari standar kehidupan yang berkualitas.Â
Dari Tujuan 1.Tak ada Kemiskinan, kita mencatat bahwa jumlah orang miskin Indonesia sebelum COVID-19 adalah sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 26,7 juta penduduk (BPS, 2019) . Dengan makin sulitnya mendapat pekerjaan di masa COVID-19, jumlah penduduk miskin diestimasikan meningkat menjadi 12%, atau mencapai 32,4 juta orang. Itu angka yang besar.Â
Dengan besarnya jumlah pasien meninggal, pasien yang harus dikarantina dan juga masyarakat yang tidak dapat bekerja karena Jaga Jarak, tentu jumlah orang miskin makin membengkak. Jangankan mereka yang ada di lapisan bawah, kelompok pekerja 'free lance' di tingkat manapun juga tidak mudah untuk bertahan.
Kementrian Tenaga Kerja mencatat lebih dari 1,7 juta tenaga kerja terganggu pekerjaannya per 1 Mei 2020. Mereka terdiri dari pekerja formal yang dirumahkan, pekerja formal yang di PHK dan pekerja sektor informal yang di PHK. Saya kira jumlahnya lebih dari itu.
Kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa hanya kalangan ekonomi terbawah yang terkena dampak. Pemerintah 'menggelontorkan' dana melalui jaring pengaman sosial. Tantangan yang mengemuka adalah data masyarakat miskin masih terbatas dan tidak up-to-date sehingga banyak kelompok miskin yang tidak dapat mengakses jaring pangaman sosial tersebut.
Tujuan 2 yaitu Mengakhiri Kelaparan menunjukkan bahwa kelaparan global telah terjadi. Inipun bisa jadi persoalan besar bagi Indonesia. Selain pendapatan yang berkurang menyebabkan kemampuan beli untuk pangan menurun, pola konsumsi pangan pada saat tinggal di rumah akan mempengaruhi kecukupan pangan.Â
Di Serang, misalnya dilaporkan adanya warga yang meninggal, yang diduga karena kelaparan. Untuk menahan lapar, selama beberapa hari ia hanya minum air gallon.
Di sisi lain, masyarakat yang menolak untuk tidak berdagang karena kebijakan Jaga Jarak pada umumnya mengatakan bahwa mereka lebih takut kelaparan dari pada takut Corona. Ini menggambarkan bahwa bila mereka tidak bekerja, mereka tidak makan. (Tribunnews.com 17 Mei 2020).Â
Food and Agriculture Organization (FAO) dari PBB menghimbau agar sebaiknya masyarakat membeli makanan hasil panen petani, nelayan, dan peternak lokal.
Dan ini dipraktekkan banyak pihak pada masa pendemi ini. Ini untuk menjaga ketersediaan pangan dan penghidupan masyarakat petani, nelayan dan peternak. Memang protokol terkait jaga jarak, cuci tangan dan penggunaan masker ketika belanja dan berjualan di pasar perlu diterapkan.