Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkawinan Anak Marak di Pasca Bencana: Keterpaksaan Ekonomi dan Restu Sosial Budaya

13 November 2019   11:38 Diperbarui: 18 November 2019   16:22 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perkawinan Anak (Foto: UNICEF) Via Kompas.com

Perkawinan Anak Marak pada Pasca Bencana 
Beberapa hari yang lalu saya dan dik Zicko bersama kawan kawan Gema Alam NTB berkunjung ke rumah Inaq Olga (bukan nama sebenarnya), salah satu warga di wilayah pasca bencana Lombok di Lendang Luar, Sembalun, Lombok Timur. Ia salah satu keluarga yang kami fasilitasi ketika membangun Hunian Sementaranya (Huntara) di September 2018. 

Seperti keluarga Lombok lain, orangtua diberi nama mengikuti nama anak pertamanya. Inaq (ibu) Olga memiliki anak pertama yang bernama Olga maka sebagai ibu ia dipanggil Inaq Olga sementara suaminya adalah Amaq (bapak) Olga.

Ketika kami asyik berbicara, kami dikagetkan dengan teguran seorang ibu, yang ternyata adalah Inaq Diana (bukan nama sebenarnya). Inaq Diana adalah ibu yang rumah gedegnya rusak berat tetapi tak mendapat bantuan pemerintah, dan akhirnya didukung sahabat Gema Alam NTB.

Kami nyaris tak mengenalinya. Ia cantik dengan baju berwarna pink, serasi dengan kerudungya. Sejenak kami berpelukan sambil ucapkan bela sungkawa atas meninggalnya suaminya.

Inaq Diana dengan gembira memberi tahu bahwa ia baru saja menikah. Juga, ia katakan bahwa anaknya, Denada (bukan nama sebenarnya) juga menikah "Dia merarik hari ini'. Kami tanya di mana pernikahannya, namun, Inaq Diana katakan ia tak tahu. Ini agak aneh. 

Ketika kami ingatkan bahwa Denada masih di bawah umur, Inaq Diana cepat mengatakan bahwa Denada sudah berumur 19 tahun. Padahal kami tahu persis, ketika kami berkunjung tahun yang lalu, Denada duduk di bangku SMA kelas 2. Denada terpaksa putus sekolah karena ia harus menjaga sang ayah yang stroke, sementara sang ibu harus bekerja sebagai buruh di sawah.

Patah hati saya mendengarnya. Kami gagal mencegah perkawinan Denada. 

Tahun yang lalu kami mengusulkan agar mereka mengurus keikutsertaannya di program PKH karena mereka memang miskin dan memiliki anak yang sekolah di SLTA. Namun, rupanya tidak semudah itu.

Mereka harus terdaftar dalam Basis Data Terpadu (BDT) untuk mendapat bantuan PKH dan juga BPJS yang gratis. Pasalnya, ini rumit karena BDT dikelola secara sentralistik oleh pemerintah nasional. 

Denada sering didekati calo untuk menjadi TKI ke Malaysia. Kami sempat yakin akan bisa mengirim Denada sekolah lagi, karena Inaq Diana membuka warung di depan rumahnya sehingga ia bisa tetap dekat dengan suaminya. Namun, kemiskinan yang memburuk membuat Denada malah menikah.

Denada hanyalah satu dari begitu banyak anak perempuan di wilayah pasca bencana yang harus mengikuti keputusan keluarga untuk menikah di usia anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun