Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pantaskah Reality Show "Garis Tangan" Jadi Bagian Industri Kreatif?

12 November 2019   21:54 Diperbarui: 14 November 2019   21:04 7331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reality Show Garis Tangan (Foto : Tribunnews.com)

Reality Show Garis Tangan

Bagi saya, akhir pekan adalah berdekatan dengan ibu saya yang berusia 84 tahun, untuk sekedar menemani, bercakap, mengajak makan bersama, atau menggantikan peran pramurukti yang sedang cuti. Atau, lebih sering ibu saya menonton TV, dan saya duduk di depan laptop di ruang yang sama.

Sebagai orang yang 'puasa' televisi, saya 'buta' pada acara televisi kita, sehingga suatu saat saya dibuat terkejut ketika pada pancarian "channel" tertayang reality show bernama Garis Tangan yang ada di ANTV. Inikah tontonan masyarakat Indonesia?

Saya tidak sempat menyaksikan keseluruhan program, namun apa yang selintas saya saksikan membuat heran sekaligus penasaran. Bukan karena senang, tetapi khawatir. 

Sesi pertama di program ini tampak seorang ibu sederhana tanpa riasan dengan mulut tertutup masker hitam sedang diwawancara oleh Uya Kuya selaku tuan rumah acara.

Si Ibu, sebut saja Ibu Anna, berkisah tentang nasibnya yang tak beruntung. Anak perempuannya, sebut saja Bunga menjadi pembicaraan tetangga karena selalu pulang malam.

Tiba tiba, Bunga sang anak yang dibicarakan dihadirkan ke panggung. Sang Ibu, Ibu Anna meraung menangis karena tidak mengira sang anak yang ia bicarakan ada bersamanya. Sang Ibu menangis dan marah kepada Bunga yang telah membuatnya malu.

Dari dialog, terbukalah cerita bahwa Bunga sering pergi dan baru pulang di malam hari karena menghindari ayahnya yang ternyata selama ini melakukan kekerasan seksual berulang kepadanya. Ibu Anna kembali menangis histeris. Ibu Anna menelpon suaminya.

Dari sebrang telpeon, terdengar suara sang suami, sebut saja pak Candra, menyapa istrinya. Namun, ketika Ibu Anna histeris dan marah bertanya kepada sang suami tentang kejahatan meniduri anaknya sendiri, Pak Candra mengelak, dan terdengar suaranya tergagap.

Tentu bisa dibayangkan kata kata apa yang meluncur dari mulut seorang sang ibu yang sakit hati. Luka dan dendam karena sang suami yang menyakiti anak kandungnya sendiri. Ketika ibu Anna makin deras mencecarnya dengan pertanyaan, sang suami memutus sambungan telpon.

Sesi berikutnya adalah sesi yang merupa program pencarian jodoh.

Seorang laki laki muda, sebut saja Dana ada di panggung. Uya Kuya memperkenalkan Dana kepada sederetan perempuan yang akan diperjodohkan melalu program ini.

Di tengah proses perkenalan, Dana mengatakan tak hendak mencari jodoh. Ia sudah punya pacar, sebut saja Ester. Dana mengajak Ester yaitu Justru ia ingin dibantu untuk menyelesaikan persoalan yang ia hadapi dengan sang pacar.

Di panggung mereka berdua dihadapkan penonton. Sang pacar, D, menolak keras bila harus membawa persoalan relasi mereka. Setelah terdapat negosiasi dan dengan nada 'paksaan', akhirnya D menyetujui. C mencurigai D karena D membawa banyak uang, puluhan juta, yang ia sebutkan bonus.

Panggung dibuka dan C dan D di panggung. Uya sebagai tuan rumah mengundang seseorang, E, yang ternyata boss D, dan sekaligus sahabat E. E mengatakan bahwa memang D menerima bonus, tetapi bonus sebagai pamusaji hanyalah Rp 200 ribu, bukan Rp 15 juta seperti yang disampaikan D kepada C. E juga menyebutkan bahwa D sering dijemput mobil mewah.

Ini membuat C marah dan menghendaki persoalan diselesaikan. D sebetulnya keberatan persoalannya dengan si C diselesaikan di televisi. Namun, akhirnya ia menyerah.

Juga, awalnya, ia tidak setuju untuk diwawancarai di bawah pengaruh hipnotis. Tetapi D akhirnya setuju. Cerita masih panjang. Saya rasanya tidak perlu berpanjang lebar.

Saya hampir tidak percaya bahwa ketika terdapat sesi yang sedang mencari pasangan, seorang perempuan meminta untuk ditampar oleh beberapa laki yang ia sedang pilih.

Dari empat laki laki yang dipilih si perempuan, terdapat beberapa yang menampar dengan keras sesuai permintaan si perempuan. Si perempuan menangis kesakitan. 

Pada akhirnya, tuan rumah meminta si perempuan menjelaskan mengapa ia meminta dipukul. Si perempuan mengatakan bahwa ia mengetes. Ia menguji apakah laki laki yang ia akan pilih tega memukul. 

Saya pun mengecek Youtube dan melihat judul episode reality show Garis Tangan adalah soal penggunaan guna-guna dalam relasi pasangan, dan juga hal aneh yang dikaitkan dengan isu percintaan, perselingkuhan, kekerasan, guna-guna dan lainnya. 

Entah bagaimana kelanjutan seluruh espisode dan program televisi itu. Saya secara pribadi merasa bergidik. Bergidik karena ini sudah kelewatan.

Selain persoalan hidup manusia yang sudah pasti kompleks, dijadikan materi mencari uang dari stasiun televisi, juga mulai terdapat bentuk kekerasan yang dipertontonkan.

Persoalan pribadi yang serius diangkat. Beberapa pihak, khususnya perempuan, yang terlibat pada persoalan itu 'dipaksa' setuju untuk tayang di depan publik.

Beberapa bahkan dihakimi atas dasar keputusan keputusan tuan rumah maupun aktor yang ada di panggung. Juga, mereka dihakimi oleh ratusan penonton di studio dan jutaan penonton di depan TV masing masing.

Saya kemudian mencoba cari tahu tentang program televisi ini. Program reality show ini bergenre misteri dan rupanya merupakan program baru yang diluncurkan oleh ANTV sejak 11 Oktober 2019. Program ini ditayangkan setiap jam 22.000 dengan tuan rumah Uya Kuya.

Media yang mebberitakan menyebutkan "berbeda dengan beberapa reality show misteri yang pernah tayang di ANTV selama ini seperti Karma, Sukma, dan Menembus Mata Batin. Garis Tangan memasukan unsur percintaan atau perjodohan dalam konsep acaranya". 

Untuk itulah, program ini menghadirkan 62 peserta yang terdiri dari 31 perempuan dan 31 laki laki yang dipilih melalui audisi. Mereka akan dicoba jodohkan oleh dua orang ahli, pria indigo Rudi Ruach dan konsultan spiritual Arbi Alfarisi.

Lalu, keduanya akan melihat masa lalu, masa depan, termasuk energi gaib partisipan yang sedang dalam proses perjodohan. Di beberapa media, disebutkan bahwa program dianggap tidak menarik dan tak membawa guna.

Apakah Semua Reality Show adalah Riil ?

Beberapa analisis mengatakan bahwa tak ada reality show yang riil. Banyak apa yang kita tonton di televise dan mengklaim sebagai reality show justru tidak kita temukan dalam sehari-hari. Analis sejenis ini akan mengatakan bahwa reality show tidak riil.

Banyak pandangan, termasuk yang ada di 'opinion outpost' (outpost.com) mengatakan bahwa reality show banyak memengaruhi kerja otak penonton. Ini karena 'reality show' berseri dan biasanya diputar setiap hari. Penonton mendapatkan hiburan yang mirip atau dianggap sebagai kehidupan sehari hari tanpa filter.

Beberapa analis menganggap bahwa reality show sengaja dibuat dengan semangat receh, isi sampah, dan disunting sedemikian rupa sehingga membangun ketegangan.

Di Amerika, reality show juga mendapat komentar. Tontonan seperti The Jersey Shore, The Swan atau Amish Mafia membuat penonton hilang arah. Tak usah pikirkan kualitas, namun studi menunjukkan bahwa penonton pada umumnya menyaksikan reality show yang sampah ini.

Survai kepada 12.000 responden tentang seberapa sering anda menonton reality show mendapatkan jawaban sebagai berikut :

  • Selalu -- 24%
  • Kadang kadang 33 %
  • Selalu 24%
  • Tak pernah 19%

Pada akhirnya, penonton menyaksikan reality show karena program itu memang jelek. Mereka menonton dengan alasan "dari pada menganggur" atau "daripada nonton berita politik yang, memuakkan".

Wah gawat juga ya.

Mungkin pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah reality show ini menunjukkan realitas?

Reality show yang mungkin masih bisa dipercaya adalah lomba-lomba atau festival semacam Indonesian Idol. Banyak drama di sana dan kemungkinan dramanya tidak semuanya benar, tetapi festival itu benar dan kemenangan yang terjadi punya legitimasi.

Terdapat komentar tentang festival ala American Got Talent yang dianggap banyak tidak riil. Terutama ini terjadi pada peserta yang konyol tetapi mendapatkan 'golden buzzer' dan kesempatan untuk maju ke semi final.

Terkait The Voice', yang tidak riil adalah proses audisi yang dalam realitasnya mungkin lebih panjang dan kemungkinan audisi itu sudah direkam. Namun festival talenta ini tidak palsu.

Di Amerika, beberapa tontonan yang dianggap palsu misalnya Amish Mafia dan Dancing with the Stars.

Di Indonesia, Tribunnews.com 2 Januari 2018 pernah menyebutkan beberapa program reality show yang setingan, yaitu antara lain program Uya Suka Suka atau Rumah Uya, Kuis WIN-HT, dan juga Katakan Putus.

Program Televisi Termasuk Kategori Industri Kreatif

Kita tidak hendak membahas program televisi reality show dengan rinci. Namun, mengingat proses produksi program televisi adalah salah satu dari 16 industri kreatif, maka ini tentu membawa persoalan.

Seperti kita ketahui, sub-sektor yang merupakan industri berbasis kreativitas di Indonesia berdasarkan pemetaan industri kreatif yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia adalah 1) Periklanan; 2) Arsitektur; 3) Pasar Barang Seni; 4) Kerajinan: 5) Desain: 6) Fesyen: 7) Video, Film dan Fotografi; 8) Permainan Interaktif; 9) Musik: 10) Seni Pertunjukan: 11) Penerbitan dan Percetakan; 12) Layanan Komputer dan Peranti Lunak; 13) Televisi dan Radio; 14) Riset dan Pengembangan; dan 15) Kuliner.

Secara khusus, industri pertelevisian didefinisikan sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan station relay (pemancar kembali) siaran radio dan televisi.

Apakah Ini Wajah Industri Kreatif Kita ? 

Bila kita melihat program televisi seperti Garis Tangan, saya rasa bisa saja itu disebut sebagai industri kreatif, terutama ketika kita mendefinisikannya kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi.

Di beberapa wilayah, industri kreatif juga dikenal dengan nama lain, Industri Budaya. Di sinilah saya tidak akan mendukung argumentasi bahwa program reality show Garis Tangan adalah program berbudaya.

Saya kira pemerintah dan juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mewaspadai program semacam ini. Selain tidak mendidik, alur cerita reality show ini mengeksploitasi orang untuk membongkar kehidupan beserta aibnya di dalam ataupun di luar kesadaran. Hampir selalu perempuan perempuan itu menangis. Ini sesuatu yang mengerikan.

Walaupun para ahli hipnotis menyebut bahwa hipnotis hanya membuat tenang dan ditujukan untuk membuat obyek menghilangkan trauma dan lain lain, tapi kalimat yang diucapkan adalah "Pejamkan matamu, relaks, dan ikuti kata kataku. Ceritakan semuanya apa yang kamu alami". Ada penekanan dari kata 'Ceritakan semuanya'

Belum lagi, beberapa program memang menyudutkan salah satu pihak, khususnya perempuan untuk menyetujui untuk dihipnotis di depan publik dan mengatakan kehidupan mereka di luar kesadaran mereka.

Di Australia, suatu pemantau siaran televisi pernah memperingatkan salah satu siaran lanataran melanggar aturan dan kode etik karena menyiarkan sesi hipnotis. 

Rupanya ini tidak hanya ada di Australia. Di Inggris, aturan yang disebut Aturan 2.9 Tentang Hipnotis ini pun melarang televisi menayangkan hipnotis. Musababnya, memang sangat mungkin penonton dihipnotis melalui televisi atau radio.

Dikatakan bahwa tak ada yang magic dari suatu hipotis karena yang dibutuhkan adalah relaks fokus dan mendengarkan arahan penghipnotis.

Beberapa ahli hipnotis mengatakan bahwa hipnotis terlalu penting untuk hanya dijadikan hiburan di televisi karena banyak manfaat hipnotis dalam dunia pengobatan kesehatan maupun psikhologis.

Kalaupun kita tidak menonton program sejenis Garis Tangan, bayangkan berapa juta orang Indonesia yang menontonnya dan harus 'dididik' dan 'docekoki' banyak hal tentang pertengkaran vulgar dan kekerasan.   

Kalau memang Indonesia hendak meningkat kualitas SDM, seharusnya kualitas dan substansi tontonan televisinya pun perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Apalagi bila program televisi adalah bagian dari ekonomi kreatif, apa yang dipertontonkan tidak menunjukkan kreativitas yang berbudaya. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun