Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijaksanaan Nadiem Makarim untuk Mendengar di 100 Hari Pertama

25 Oktober 2019   07:51 Diperbarui: 27 Oktober 2019   10:03 2366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadiem Makarim ( Foto : Kompas.id)

MENTERI TERMUDA DI SISTEM PENDIDIKAN TERBESAR KE 4 DI DUNIA  
Dunia pendidikan Indonesia pada saat ini menjadi sangat menarik. Kehadiran Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan seseorang dari generasi milenial dan punya pengalaman inovasi Gojek merupakan suatu kejutan.

Ini terjadi tidak lama berselang dengan penganugerahan Nobel bidang Ekonomi kepada Trio Esther Duflo, Abhijit Banerjee, dan Michale Keremer yang pernah melakukan riset terkait dampak pembangunan SD Inpres di tahun 1973 sampai 1978 di masa Presiden Suharto. Studi itu mencatat bahwa pembangunan SD Inpres mempengaruhi pencapaian pendidikan dan tingkat pengupahan guru di Indonesia.

Temuan dan kemenangan trio ini tentu bisa menjadi inspirasi bagi para pengambil kebijakan di Indonesia tentang pentingnya analisis yang baik atas situasi dan konteks pendidikan di Indonesia, serta kebijakan yang tepat untuk memecahkan persoalan kemiskinan yang menjadi konteks besar pembangunan. Tentu saja, konteks yang terjadi saat ini telah bergerak. 

Kembalinya cakupan pendidikan tinggi ke dalam Kemendikbud juga punya arti penting. Ini sempat membingungkan karena nomenklatur itu tidak (belum) konsisten disebutkan di berbagai media. Pantas Nadiem Makarim menyebut soal 'link and match' di hari pelantikannya karena isu ini lebih berfokus pada 'secondary education' atau pada pendidikan tinggi.

Saya pada awalnya ragu kepada Nadiem. Namun, ketika ia mengatakan tak memiliki program 100 hari dan ia akan mendengra, saya punya harapan.  Ini suatu hal yang baik, mengingat isu pendidikan kita luar biasa kompleks. Juga pendidikan harus dilihat sebagai program jangka panjang, yang Indonesia tidak memilikinya.

Apa yang saya tulis hanyalah hendak menggambarkan sketsa isu yang ada. Banyak potongan yang tak utuh, namun itupun sudah menunjukkan betapa kompleksnya persoalan.  Bukan untuk menakut-nakuti. Sekedar untuk berbagi. Semoga Pak Menteri tidak gamang, mengingat ia tak pernah merasakan seperti apa bersekolah di negeri ini.  

SITUASI SECARA UMUM 

Menurut UNESCO, tingkat literasi kita cukup tinggi yaitu pada 95% (2015). Di kalangan kelompok muda, angka literasi mencapai 99.67%. Namun, tes bagi murid sekolah internasional melalui Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh OECD di tahun 2015 menunjukkan bahwa kinerja murid Indonesia pada bidang studi sains, matematika dan membaca lebih rendah dari rata rata negara OECD. 

Studi itu menyebutkan bahwa 42% murid Indonesia yang mengikuti tes PISA gagal memenuhi standard minimum di ketiga bidang studi, jauh di bawah negara tetangganya, Malaysia, Vietnam dan Thailand. 

Kroni atau KKN dalam rekrutmen guru yang berasal dari lulusan universitas bukanlah rahasia. Ini menyebabkan murid cenderung mendapatkan guru yang tidak memenuhi syarat.

Analisis yang disusun oleh Lowy Institute "Beyond access: Making Indonesia's education system work" melihat kesenjangan sistem pendidikan sebagian besar negara Asia Tenggara adalah disebabkan oleh keputusan politik dan kekuasaan tinimbang karena kesenjangan anggaran. Keputusan otonomi daerah, penambahan kurikulum atas muatan normatif maupun propaganda menjadi tanggungan sistem pendidikan kita. Hal ini menyebabkan, walaupun Indonesia bisa membuat murid lebih lama mengenyam bangku sekolah, namun sistem sekolah tidak berhasil membuat murid belajar dan menerima pendidikan yang seharusnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun