Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Politik Berfilosofi Jawa, Kesakralan KPK dan Kalimasada

10 September 2019   08:12 Diperbarui: 10 September 2019   19:26 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jokowi dan Agus Rahardjo Mengawal KPK (Foto Liputan 6)

Saya ingat tulisan Aris Huang, analis tamu yang ada di lembaga SMERU yang menuliskan opininya di the Jakarta Post  4 September 2019 yang lalu 'Jokowi-Prabowo Political Reconciliation As Javanese Strategy", terkait gaya berpolitik Jokowi yang menggunakan langgam filosofi Jawa dalam peta kekuasaan politik. 

Jokowi yang tampak tenang telah 'menyedot' enerji Prabowo yang menggebu gebu. Sebagai orang Jawa, Jokowi tetap tenang memberi ruang politik kepada Prabowo agar sistem politik demokrasi berjalan. Tanpa Prabowo, Jokowi tidak ada.

Dalam kultur politik Jawa, seorang pemimpin ada bukan hanya karena hasil perubahan politik sebagai konsekuensi rasional dari proses pemilu saja, tetapi juga ada dukungan masyarakat melalui proses budaya.

Saya suka dengan analisis Aris Huang yang merupakan lulusan master pada studi hubungan internasional dari the University of Melobourne dan sebelumnya adalah anggota dari Departeman Suti Indonesia pada Monash Unversity dan the University of Melbourne. Dia bukan doktor tetapi analisisnya keren sekali. Ia memahami Jokowi.

Memang, budaya Jawa yang masih dominan ini mempengaruhi gerak politik di Indonesia. 

Mengutip catatan Aris Huang tentang karakter kekuasaan Jawa yang tidak terpisah dalam dunia politik adalah penting untuk dipahami. Bila politik barat melihat politik sebagai hal yang abstrak, yaitu hasil dari 'social intercourse' yang bertujuan agar pemegang kekuasaan menggerakkan orang lain, politik dengan filosofi Jawa cukup unik. 

Kekuasaan dalam konteks budaya Jawa adalah kekuatan yang ajeg dan bukan hanya ada oleh kekuatan atas kepemilikan serta akumulasi  harta dan aset, melainkan ada dalam diri terdalam seseorang, yang diperkuat oleh kesakralan suatu obyek. 

Kekuatan pemimpin Jawa adalah juga berbasis dukungan masyarakat yang besar. Kepercayaan akan adanya pusaka yang sakral yang akan melindungi keamanan dan keselamatan masyarakat adalah penting bagi seorang pemimpin Jawa.

Dalam konteks terkini, saya membaca pusaka sakral itu adalah KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK bukan hanya sakral karena sebagai simbol dan wujud reformasi, tetapi juga lambang upaya terobosan pemberantasan korupsi dalam bentuk lembaga quasi pemerintah, yang saat ini sistemnya tidak berjalan di ranah penegak hukum di kepolisian, kejaksaan dan kehakiman yang masih korup.

Istimewanya, kesakralan KPK adalah juga mewakili norma demokrasi barat yang memperjuangkan respek pada sistem dan norma demokrasi yang anti korupsi.

Saya kok jadi ingat Kalimasada, pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka ini berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun