Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Brondong Pelupa

26 Agustus 2019   11:41 Diperbarui: 28 Agustus 2019   09:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi : Wallpaperup.com

Jam menunjukkan pukul 6.30 pagi, ketika aku mulai sibuk mempersiapkan warung.  Aku rapikan karton menu di dinding. Aku ambil spidol besar dan tambahkan Karedok di samping menu utama, Gado Gado dan Rujak Buah. 

Karedok adalah menu tambahan atas usulan banyak mahasiswa, pelangganku. 

Alasan mereka, ini bisa dinikmati dengan nasi. Agar kenyang, begitu.  

Aku cek Jeruk, Jambu Biji, Belimbing, Apel Malang dan Alpukat .  Juga es batu.  Teh, gula dan kopi sudah lengkap. 

Sejak perkuliahan tahun ini, aku disarankan kantor pengelola gedung universitas untuk buka warung lebih awal. 

Banyak mahasiswa dan mahasiswi, juga beberapa dosen pengajar di Universitas Widya Kencana, tempat lapak Gado Gadoku berada yang datang pagi untuk sarapan. 

Tiba tiba aku dikagetkan suara Saskia, si mahasiswi FE semester 2. 

Bergegas, Saskia berikan amplop "Mbak Sri, ada titipan". 

"Apa ini, mbak?", tanyaku dalam bingung. 

"Baca dengan sepenuh perasaan ya. Jadwal ujianku pagi. Sampai nanti ya. Daag", jawabnya sambil tertawa dan pergi bersegera ke halaman kampus. 

Aku masih bengong. Tetapi deg degan juga. 

Pelan pelan aku buka amplop. Puisi!!. Secarik kertas berisikan puisi.

*Pendulum Kita*

tidakkah kau lihat?
aku kini punya titik ordinat
bersimpuh di selasar orbitmu
tak perduli jarak lelah berjuta tahun cahaya
dan celotehan relativitas keparat

aku hanya ingin kita disatukan formula
merupa keabadian energi pendulum kenangan
menggerakkan pendar-pendar jagat raya
menjadi bilangan tak terhingga
sepanjang hidup kau dan aku

MAN, 26 Agustus 2019.

Jantungku berdebar keras. Aku agak bergetar membacanya. Kikuk. Malu. Padahal aku tahu tak ada orang di sekitarku. 

Yang aku tahu, ini puisi indah. Tak hanya itu. Ada ketegasan di tiap katanya. Meski, puisi itu seakan menyimpan rahasia soal cinta yang sulit bertemu. Soal jarak. Ada urusan soal tahun cahaya. 

MAN? Siapa MAN? 

Inisial namanyapun aku tak paham. 

Ah, sudahlah. Pagi pagi kok baca puisi. Aku harus bekerja. Kumasukkan amplop itu di ransel kecil tempat aku simpan segala hal dan uangku. 

Aku harus lanjutkan kerjaku. Mahasiswa makin banyak yang datang. 

Aku akan tanyakan nanti kepada Saskia. Toh Saskia selalu menunggu Pak Yanto menjemput di warungnya, siang atau sore nanti.

Memang, biasanya, setelah jam 3 siang, warung tidak terlalu ramai. Beberapa kali, mahasiswi duduk memesan jus atau rujak atau kopi, sambil "kingkow", membunuh waktu. Atau malah curhatan seperti Saskia. 

Dibandingkan dengan kawan kawan kuliahnya, Saskia memang berbeda. Cantik yang alamiah. Meski tanpa dandanan. 

Ia ramah dan sopan kepadaku. Dari cara berpakaiannya, aku paham ia dari keluarga berduit. Jahitan bajunya selalu rapi, meski dengan model dan warna warna sederhana.  Sepatunya selalu mengkilap.  

Karena sering curhatan, Saskia sering memperlakukanku seakan aku kakaknya. 

Tiap hari Saskia datang ke warung. Pasalnya, Saskia selalu diantar jemput mas Yanto ke kampus. Pak Yanto, supir mobil Eropa bernomor B 234 ZA itupun jadi pelangganku. Ia biasa ngejus, sambil menunggu boss gadisnya. 

Dari Saskia, aku paham bahwa orang tuanya sangat protektif pada anaknya.  

Oleh ayah ibunya, Saskia hanya diperbolehkan naik mobil pribadi, dengan supir. Jangan harap kawan kawannya bisa mengajaknya pulang bersama. Apalagi kawan yang naik motor. Lupakan saja. Bus kotapun ia tak kenal.

Saskia sering bercerita, Ayah ibunya adalah orang tua berkarir. Sang ayah rupanya pengacara terkenal. Sang ibu konsultan keuangan di perusahaan asing.  

Beberapa kali Saskia juga cerita soal kakak laki lakinya yang sering bertengkar soal banyak hal dengan ayahnya. Soal pilihan berkuliah. Soal cara berpakaian. Soal pilihan berkendaraan. Banyak soal. 

Rupanya sang ayah tidak berhasil memaksa anak laki lakinya untuk bersekolah di Fakultas Hukum. Sang Ayah sangat ingin agar anak lelakinya meneruskan Law Firm nya. 

Sang ibu yang sangat menyayangi sang kakak, lebih banyak diam. Paling paling, ia akan masuk ke kamar kakak Saskia untuk melunakkan hati anaknya. Meski demikian, sang ibu sepakat dengan suaminya soal pilihan pacar anaknya.  "Bebet, bobot, bibit", kata Saskia. 

Aku hanya membatin. Ini rupanya pingitan jaman now. Apa ga lelah ya? 

Suatu saat Saskia bercerita bahwa kakaknya minggat dari rumah. Kakaknya yang senang mengendarai motor tak bisa kompromi lagi. Kebijakan anti motor itu sudah gila.  Orang tua Saskia haruskan anaknya gunakan mobil pribadi ke kampus. Mereka kuatir anaknya celaka karena motornya "Tahu kan, motor hanya beroda dua? Itu tak stabil. Banyak kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian", demikian Saskia tirukan kalimat orang tuanya. Aku hanya melongo mendengarnya.  Lucu juga orang kaya Jakarta. Meski kutahu, meninggal di atas motor itu memang nyata. Mas Hariku, contohnya. 

Sebagai anak perempuan, Saskia tampaknya menuruti saja kata orang tuanya. Tapi, sang kakak lelakinya tak bisa. Ia tak ingin ke kampus dengan mobil pribadi. Minggatnya sang kakak membuat Saskia jadi kesepian. Kepadakulah, Saskia sering curhat. Pernah kutanya apakah ia punya sahabat. Saskia diam beberapa saat. "Sahabat susah didapat, Mbak Sri.  Ember". Memang, selama ini aku hanya mendengar. Bahkan, aku tak pernah bertanya lebih.

Satu hal yang aku suka. Beberapa kali, Saskia membawakanku buku buku bacaan. 

Bukan buku bacaan baru, memang. Tapi buku buku itu masih bagus sekali. Ada satu buku yang aku suka, the Great Getsby karya F. Scott Fitzgerald. Kata Saskia, itu bacaannya di kelas 2 SMA. "Mbak Sri baca ini ya. Ini novel terkenal. Penulisnya mati karena jantungan di usia muda di tahun 1940an. Jadi, selama hidup, dia cuma bisa jual 25.000 kopi bukunya. Eh, setelah mati malah dibaca jutaan orang dan jadi 'best seller', Saskia panjang bercerita. Seakan aku paham semua yang ia bilang. Ini yang aku suka kagum padanya. Ia baru duduk di semester 2 tetapi bisa cerita banyak hal.

Ini sebetulnya gara gara Saskia pernah memergokiku membaca Ronggeng Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari ketika warung sepi. 

Bagiku cerita cinta antara Srintil, si penari ronggeng, dan Rasus, teman Srintil yang jadi tentara sangat menyentuh. Cinta sejati yang kandas. Dukuh Paruk yang miskin dan sering dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan itu mirip desa asal bapakku. Gejolak politik tahun 1960 an itu berat. Novel semacam trilogi ini bagiku adalah hiburanku sejak tak kuliah lagi. 

Memang, sesekali aku baca novel berbahasa Inggris.  Biasanya, itu kupinjam dari Sinta, sahabatku. Apalagi di Solo, novel semacam itu bukan barang murah. Bagi aku yang anak PNS di Suku Dinas Pendidikan kecamatan, itu mahal. Soal kata bahasa Inggris sih mudah. Kan ada mas Google yang setia. 

Selain Saskia, tak banyak pelangganku yang bisa kuingat namanya. Mereka cukup banyak. 

Walau ada kantin di dekat auditorium, posisi warung ini tampaknya lebih strategis karena berdekatan dengan tempat parkir. Mahasiswa lebih sering mampir warung gado gadoku tinimbang ke kantin. 

 Saskia pernah bilang aku tukang Gado Gado tak biasa. Kebersihan warungku  dipujinya. "Gado gadomu ada taste, mbak". 

Saskia selalu bilang kagum pada rambutku yang hitam lurus dan tebal. Padahal aku selalu sembunyikan rambutku dengan cara mengikatnya ke belakang. Supaya ga ribet. 

Saskia bilang aku manis dan awet muda. Mungkin ia pernah mengintip KTP yang kuminta tolong Mas Karso, asisten warung, untuk buat foto kopinya. Itu waktu urusan pembaruan administrasi warung. 

Saskia pernah bilang cara berpakaianku tidak norak. Hah?! Rupanya tukang Gado Gado itu konotasinya berbaju norak ya, batinku geli. 

Walau Saskia bilang aku awet muda, bagiku, aku tak muda lagi lah. Usia 30 tahun yang penuh kerja keras.  Sejak Mas Hari, suamiku meninggal 5 tahun lalu karena motornya terseruduk truk pasir yang tabrak lari di Boyolali, aku kerja keras sebisaku. 

Untuk Ardi, anakku yang berumur 8 tahunlah aku bertahan.

Aku kenal Mas Hari sejak Bapak terkena stroke. Bapak jodohkan ia padaku.  Bapak memintaku untuk memahami pilihan menikah yang ia tawarkan. 

 Mas Hari, laki laki perjaka cukup umur itu juga bekerja di kantor Kecamatan. Kata Bapak,  paling tidak, gaji PNS yang tetap bisa menopang hidupku. Juga satu adikku. 

Bukan mudah untuk aku akhirnya setuju dengan Bapak. 

Sebetulnya,  aku bisa saja berjualan di toko atau melamar di perusahaan sepeninggal mas Hari. Toh aku berbekal ilmu yang kudapat di Fisipol sampai semester 4. Tapi, berapa sih upah dengan bekal ijazah SMA? Paling paling di bawah UMR. Berjualan gado gado di Jakarta lebih lumayan hasilnya. 

Gado Gadoku kubuat agak spesial. Sayuran lengkap seperti Gado Gado Arjuna Surabaya, tetapi Bumbu Gado Gado kutambahkan dengan sedikit kacang mede yang aku kulakan dari Purwodadi. Resep ini aku contek dari Gado Gado yang katanya seporsinya laku dijual Rp 59 ribu dan tetap sukses di Jakarta. Itu aku tonton di acara kuliner di Metro TV. Katanya agar legit. 

Meski bukan kerupuk udang mahal, kerupuk udang yang kupilihpun cukup enak. Kerupuk udang kukemas bersama bawang goreng. Kalau kerupuknya enak, kan pelanggan bisa beli buat ngemil. Jadi, sudah kuhitung itu semua. 

Pelanggankupun tampaknya tak keberatan dengan harga yang aku tawarkan. Rp 15.000 per porsi tanpa telur. Ini juga harga yang Mas Wahyu, sepupuku yang staf administrasi di rektorat sarankan. Ia bilang, di Jakarta Gado Gado yang enak harganya bisa antara Rp 30.000 sampai Rp 50.000 seporsi. Mahasiswa kampus ini anak orang kaya Jakarta. Jadi, seporsi Gado Gado dengan harga Rp 15.000 plus Rp 3.000 untuk tambah telur masih murah meriah, kata Mas Wahyu. Juga, mas Wahyu bilang para dosen perempuan lebih memilih makanan sehat. Gado gado sering dipesan untuk konsumsi rapat, mas Wahyu beri bocoran. Cukup untungnya. Apalagi aku tak harus bayar biaya transportasi yang mahal karena kontrakanku dekat kampus. 

Nama warungku 'Gado Gado Mbak Sri' juga gunakan pertimbangan bisnis.   Tak salah bila pelangganku memanggilku mbak Sri. Namaku sebetulnya Adiati. Tapi tak mungkin kan aku pakai merek "Gado Gado Adiati"?! Kurang menjual, kata mas Wahyu, ketika ia mendiskusikan info lowongan lapak warung di dekat area parkiran ini.

Aku sering iri mendengar obrolan mahasiswa tamuku. Soal pendaftaran ulang, beban SKS, ujian mid semester, ujian akhir semester. Sering kucuri dengar pembicaraan mahasiswa semester 6 dan 7 soal proposal skripsi yang bikin stress mereka

'Mbak, ada yang pesan satu Gado Gado ga pedes lagi", Mas Karso membuyarkan pikiran yang sempat kesana kemari tak beraturan. Cepat, aku siapkan Gado Gado. Mas Karso sigap membuat Jus dan teh tawar hangat.

Nenurutku, Gado Gado tidak pedas adalah pesanan yang aku perlu perhatikan bauk. 

Bagi yang tak suka pedas, ada rasa cabe di gado gado bisa bikin marah. Aku tak mau itu. Tetapi, untuk yang suka pedas, bila pesanan salah, masih bisa dikoreksi dengan berikan sambal. Itu patokan yang  kuingat. Ha kecil, tapi penting.

Soal cara mengelola komunikasi dengan pelanggan, aku serahkan kepada Mas Karso. Siapkan pesanan dan menatanya di piring, juga bertanggung jawab di kasir sudah membuat aku sibuk.

Kepada mahasiswa, aku tetap ramah. Tapi aku pasang jarak. Aku tak mau berlaku terlalu ramah. Serba salah dan sulit untuk membatasi kegenitan cowok cowok kampus. Salah salah nanti aku dapat sebutan tukang Gado Gado genit. Ga ah. Aku cari duit untuk Ardi. Tak boleh aku tergoda hal tak penting.

Lagi pula, mahasiswa mahasiswa itu kan brondong bagiku. Usia mereka pada umumnya antara 18 sampai 25 tahunan. Apalagi, status sosial mereka adalah status sosial mahasiswa Jakarta yang aku asumsikan tak punya kepusingan soal duit kuliah.

Nama nama mahasiswa yang datangpun aku tak pernah coba ingat. Paling paling aku ingat seseorang bernama Bayu yang agak keterlaluan menggodaku. Pernah Bayu mencoba memelukku dari belakang ketika aku mengisi kaleng kerupuk yang hampir kosong. Aku marah karenanya. Biarlah kehilangan satu pelanggan, tetapi tak bisa ia berlaku begitu. Aku menjadi lebih berhati hati oleh karenanya. 

Tak kupungkiri, aku punya pengalaman lucu soal mahasiswa yang bisa kuingat namanya. Adimas. Ia mahasiswa Fakultas Tehnik Kimia dan jadi pelangganku selama setahun ini. Ia sudah lulus dua bulan yang lalu. Wajahnya tak lagi hadir di warungku. 

Dulu, Adimas sering datang sendirian. Sebetulnya ruang kuliahnya ada kampus utara. Cukup jauh dari warungku. Tapi ia selalu memarkir motornya di area dekat warung. Dan ia datang ke warungku hampir setiap hari.

Adimas selalu memesan hal yang sama. Gado Gado tidak pedas dan dengan tambahan beberapa kerupuk kampung dan kerupuk udang. Minum yang ia pesan selalu sama.  Teh hangat tawar dan jus jeruk murni. Dua gelas sekaligus. 

Adimas punya sudut favorit. Ia selalu duduk diam dekat "meja kerjaku",  tempat aku meracik Gado Gado di pojokan warung. Karena seringnya ia datang mampir, aku hanya tahu ia pelanggan setia. 

Sesekali ia berbicara dengan Mas Karso dan tertawa terbahak, seakan membincang hal lucu. Mas Karsolah yang 'mengupdate'ku. "Mas Adimas itu orang baik, mbak". Padahal, setahuku, Adimas nampak pemalu dan sedikit pendiam. 

Memang, beberapa kali aku lihat ia memandang aku dari jauh. Dan ia segera membuang pandangan bila kepergok. Tapi mana sempat kupikir. Sibuk sekali aku kerja warungan ini.

Ada satu hal yang sebetulnya aku mau tak mau ingat akan Adimas. Atau aku sebetulnya mengingatnya dengan malu. Rasanya tak pantas, aku mbak Sri penjual Gado Gado mengingat Adimas. 

Kulit Adimas yang berwarna terang sering memerah ketika terkena panas sehabis berjalan dari parkiran. 

Wajahnya yang tirus proporsional dengan alisnya yang tebal membingkai matanya yang tajam. Bibirnya bergaris tegas tapi tarikan senyumnya manis.  Rambut cepak rapi. Wajah cerdas, menurutku. 

Baju yang ia kenakan hampir selalu serupa. Baju hem lengan pendek dengan motif kotak kotak. Atau hem lengan pendek berwarna putih. Celana selalu dengan jins warna biru. Namun, satu hal. Adimas selalu paling wangi dibanding mahasiswa lainnya. 

Bagaimana aku tak kenal wanginya?. Itu wangi yang tidak menyengat. Hangat, ringan, dan segar. Kucium aromanya ketika ia membayar ke meja kasir. 

Oh ya, Adimas memang terhitung sebagai pelanggan yang paling sering menghampiriku. Bukan apa apa. Ini karena Adimas sangat pelupa. 

Hampir selalu ada barangnya yang tertinggal di warung. Kunci motornya sering tertinggal. Dan Adimas hampir selalu tergopoh balik ke warung bertanya padaku untuk mencari kunci itu. Padahal ia sudah sampai di parkiran kampus.

Di saat lain, Adimas mencari cari buku catatan kuliahnya. Adimas meletakkan begitu saja bukunya di atas meja di warung. Karena Adimas selalu duduk di meja yang sama, aku segera tahu bahwa buku itu adalah miliknya.  Aku tak pernah ingin tahu isi bukunya.   Biasanya aku hanya minta Mas Karso menyimpannya, sampai Adimas mencarinya.

Ngutang karena lupa bawa dompet? Itu sudah biasa. Aku percaya dia. Toh ia selalu datang ke warung.

Suatu saat Adimas kembali ke warungku setelah setengah jam ia berpamitan pulang. Kali ini Adimas nampak bingung. Adimas lupa di mana motornya ia parkir. Rupanya parkiran telah penuh ketika ia tiba di kampus. Ia akhirnya memarkir motornya di parkiran fakultasnya, di kampus utara. 

Sering geli juga dengan sifat pelupanya. Aku hanya bisa berkomentar "Mas, kalau lupa di mana parkir kan saya ga bisa nolong to? Wong parkirnya ga di warung saya". Adimas hanya tergelak, dan ia ngeloyor pergi melanjutkan pencarian motornya. Mas Karso hanya bisa geleng kepala, seakan heran tapi memahami. 

Jadi, bukan apa apa. Sifat lupanya itu yang membuat ada komunikasi antara aku dan Adimas. 

Sebagai perempuan normal, tentu aku merasakan deburan darah yang tak normal kalau Adimas berdiri dekat sekali denganku. Entah mengapa, Adimas yang tingginya sekitar 180 cm itu hampir selalu berdiri dekat sekali denganku ketika ia membayar gado gado. Dan, akupun tak berusaha membuat jarak. Bagiku, bau minyak wanginya merupakan hiburan selama kerja di warung. Menurutku, ia sangat laki laki. Selebihnya, aku tak pernah berani menatap mata Adimas ketika ia membayar.

Suatu kali, Adimas menawarkanku membonceng pulang karena kost nya melewati rumah kontrakanku. Kala itu warung sudah tutup dan aku sedang berbenah hendak pulang. Tentu aku menolak halus. Pulang ke rumah bagiku berarti membawa segala macam rantang dan keranjang karena aku harus bawa kembali besok bersama bahan bahan sayuran dan buah buahan yang ia harus kulakan setiap pagi jam 3.

Nanti apa kata orang bila aku berboncengan dengan brondong. 

Juga, aku sudah berjanji dengan diriku untuk memasang pagar. Aku tak hendak mengiyakan ajakan ngobrol dengan para mahasiswa. Meski aku tahu, ada beberapa mahasiswa yang menggodaku.

Apalagi aku sempat mengamati bahwa Saskia sering bertegur sapa dengan Adimas. Juga mereka sering berbicara berdua. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan aku tak pernah tanyakan ke Saskia. Namun, nampak nyata bahwa keduanya punya hubungan istimewa. Aku tak mau kepercayaan Saskia padaku hilang. Saskia yang menganggapku sebagai kawan curhatan. Dan bagiku, Saskia adalah satu satunya pelanggan yang juga bisa dikatakan sahabatku. Meski tak banyak yang kusampaikan, aku pernah selintas bercerita soal kondisiku yang menjanda. Juga keseriusanku mencari nafkah untuk Ardi. Itupun karena Saskia menanyakanku. Entah mengapa, aku percaya bahwa Saskia tak akan membocorkannya.

***

Hari ini aku cukup sibuk. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang mampir warung setelah UAS. Tampaknya semua mahasiswa hadir demi ujian.

Belum jam 3 sore ketika semua makanan utama, Gado Gado, Rujak Buah dan Karedok sudah 'sold out'. 

Pelanggan yang datang belakanganpun harus puas dengan jus dari buah yang tersisa. Jus alpukat paling laku. Mungkin karena ini yang paling mengenyangkan. Beberapa mahasiswa bercakap sambil sesekali mengambil kerupuk udang dan kerupuk kampung di kaleng besar. Cukup riuh percakapannya.

Aku bayangkan, mereka tentunya saling mencocokkan apa yang mereka kerjakan di UAS tadi. Akupun kembali jadi ingat masa kuliahku. Aku bukan mahasiswi bodoh. Bukan pula mahasiswi terbodoh. Nilai nilaiku lumayan. 

Ketika aku terpaksa meninggalkan semua kehidupan kuliahku di semester 4, IPK ku 3,4. Memang beberapa kawanku di kampus menyayangkan keputusanku mengikuti permintaan ayahku untuk menikahi Mas Hari. Namun, sudahlah, aku rasa itu yang terbaik. 

Jam menunjukkan pukul 3.30 sore ketika Saskia datang setelah selesai ujian. Biasanya, Mas Yanto menjemputnya jam 4 sore. Aku jadi teringat puisi yang Saskia berikan tadi pagi.

Setelah Saskia duduk tenang meminum jus Jambunya yang tanpa gula, aku duduk di sebelahnya. Aku tidak membuka suara. Saskia yang memulainya dengan santai "Mbak Sri, sudah baca puisinya? Bagus ya?". Aku diam beberapa saat. Tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya bertanya balik "Itu siapa sih, mbak Saskia?". 

Saskia mengerutkan dahinya "Lho, bukannya mbak Sri tahu itu dari siapa?". 

"Cuma inisial, mbak. Siapa itu MAN?", tanyaku.

Saskia tertawa terbahak "Lha..tiap hari ia di sini, kok malah tidak tahu namanya. Ia kakakku, mbak. Mas Adimas. Kakakku yang minggat dari rumah itu". 

"Adimas? Ia kakak mbak Saskia?' 

"Inisial itu nama kakakku. Mas Adimas Notonegoro", Saskia menjawab sambil tergelak. 

Sejujurnya, aku kaget.  Aku hanya bisa terdiam. Jantung dan mataku sebetulnya terasa mau copot. "Hah...Adimas, si Brondong Pelupa itu?!. Tak mungkin! Sudah pasti tak mungkin", suara di kepalaku bersahutan. 

*Cerpen ini saya buat untuk kawan kawan fiksiana.  Sebagai apresiasi atas karya mereka yang indah. Juga saya hendak  berbagi pengalaman pribadi tentang tantangan membuat karya fiksi ini. Tak mudah. Terima kasih telah boleh belajar dari anda semua. Love You ALL. Namun, maafkan saya bila saya pembelajar yang payah.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun