Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maafkan, Saya Bersembunyi Saat Idul Kurban

9 Agustus 2019   11:35 Diperbarui: 30 Juli 2020   12:56 12151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sapi untuk di Peternakan untuk Kurban (Sumber : Pixabay.com)

Tidak tega melihat begitu banyak binatang disembelih.

Idul Adha atau Idul Kurban segera tiba. Saya seorang muslim. Biasanya, setelah sholat Ied di tanah lapang atau mesjid setempat, saya akan bersembunyi, menyepi.

Saya akan menjauh dari tempat tempat penyembelihan binatang kurban. Sayapun akan berjarak dari perayaan makan sate dan gule kambing di rumah rumah keluarga yang biasanya melakukan silaturahmi di Hari Raya Idul Adha.

Perasaan ngeri dan tidak tega telah ada sejak binatang kurban berada dalam truk atau kendaraan dan dipindahkan dari satu kota ke kota lainnya. Mereka berhimpit dan berdiri sepanjang malam di atas truk di sepanjang Pantura. Itu mengganggu kepala saya sejak dulu. 

Perjalanan Sapi untuk Kurban (Foto : Tempo)
Perjalanan Sapi untuk Kurban (Foto : Tempo)
Juga saya menyaksikan bagaimana kita sering perlakukan hewan kurban dalam proses peternakan,  penggemukan,  pemindahan atau" transporting" dan pemotongannya dengan cara yang kurang memenuhi peri kemanusiaan dan peri kebinatangan. Selalu saya tidak bisa menahan mbrebes mili melihat sapi dan kambing kambing itu.

Sering saya saksikan sapi sapi di peternakan berdiri dalam "kaplingnya" yang sempit ukuran sekitar 1m x 2 m yang tak memungkinkannya rebahan atau "slonjor",  dan mereka diberi tugas penting hanya untuk makan dan makan dan makan pakan atau  rumput "berbumbu garam sebagai perisa yang membuat mereka bisa naik bobotnya 1/2  sd 1 kg seharinya. Bahkan sering lebih.

Suatu saat saya melihat bagaimana sapi sapi itu diikat tali dan dipindahkan dari kapal ke truk dengan cara yang membuat saya harus menutup mata. Komplit sudah. 

Memang, saya juga temukan banyak tulisan di media tentang argumen bahwa binatang kurban yang disembelih dalam syariat Islam tidak merasakan kesakitan. Tapi, hati saya sulit betul untuk diajak paham dan berdamai. Maafkan saya untuk hal ini. 

Peristiwa peristiwa menyedihkan tentang proses pengurbanan kambing dan sapi itu selalu membuat saya berdebat dengan anggota keluarga  jelang idul kurban. Perdebatan yang cukup menyedihkan sebetulnya, karena berulang setiap tahun. 

Saya selalu berharap proses kurban tidak menjadi industri dan dagang sapi besar besaran, tetapi proses yang dilakukan dalam skala individual dan keluarga, atau paling tidak tingkat kelompok masyarakat. Ini karena industri akan mengukur dari sisi uang dan membuat kita sulit mengontrol perilaku manusia pada hewan. 

Sulitnya Merestui Keluarga yang Hendak Beternak Hewan Kurban

Idul Kurban memang bisa menjadi suatu bisnis bagi peternak. Kepada Kompas di jelang Idul Kurban tahun 2018, Kementerian Pertanian ( Kementan) menyebutkan bahwa kebutuhan hewan kurban untuk Hari Raya Idul Adha 2018 adalah sekitar 1.504.588 ekor. Angka ini naik lima persen dari jumlah kebutuhan hewan kurban pada tahun sebelumnya.

Adapun rincian kebutuhan hewan kurban tersebut adalah sapi sebanyak 462.399 ekor, kerbau sejumlah 10.344 ekor, kambing 793.052 ekor, dan domba sebanyak 238.853 ekor. Tentu di tahun 2019 permintaan itu akan meningkat pertumbuhan ekonomi kita juga meningkat.

Suatu saat salah satu anggota keluarga saya mendiskusikan dan meminta ijin untuk beternak sapi potong untuk kurban di desa kami di Magelang. Semua argumentasi masuk akal dan menguntungkan secara ekonomis tentu disampaikan. 

Saya menahan nafas mendengar proposal itu. Tentu anggota keluarga saya meminta ijin karena ia akan gunakan aset keluarga. Sakit hati saya lama betul untuk sembuh.

Hati saya hanya bertanya, bagaimana mungkin saya menyetujui proposal beternak sapi untuk kurban, sementara saya sangat takut melihat sapi dipotong untuk kurban. Dan ini tidak ada kaitannya dengan keberadaan saya sebagai seorang vegetarian. 

Entah mengapa, saya merasa seperti dikhianati. Saya pikir keluarga saya memahami apa yang saya rasakan. Namun, rupanya saya memang sendirian.

Saya berat membayangkan sapi sapi yang begitu banyak jumlahnya menjadi industri yang ditujukan untuk penyembelihan kurban. Industri Pengurbanan? 

Karena anggota keluarga tersebut ngotot hendak berbisnis hewan kurban, akhirnya saya hanya sampaikan satu syarat. Syarat itu adalah saya harus diijinkan memberi nama masing masing sapi. Dan kondisi masing masing sapi perlu disampaikan kepada saya setiap hari.

Misalnya, "Hari ini Dina tidak mau makan, tetapi sudah diberi vitamin'. "Rita sudah besar. Beratnya 30 kilogram". Atau 'Ilham tadi nakal, ia lepas dari kandang", dan lain lain.

Juga saya sampaikan syarat bahwa sapi sapi itu harus sempat dilepas beberapa jam perhari untuk bisa merumput. Juga, sapi sapi itu harus dimandikan setiap hari. 

Ini sebetulnya hanya karena rasa saya yang campur aduk membayangkan bahwa mereka akan menjadi bagian dari industri pengorbanan.  Saya berharap keluarga saya tak tega menjual dan melepaskan Rita dan Ilham untuk disembelih karena ia akan berinteraksi sedemikian rupa dengan sapi sapi itu. 

Saya bersyukur, akhirnya niat keluarga untuk beternak sapi kurban tidak direalisasikan. Rupanya malas ia untuk berdebat dengan saya. Tentu saja saya akan berdebat.

Melibatkan dana pribadi milik saya pada usaha yang saya sangat takut membayangkannya adalah satu hal yang seharusnya tidak terjadi, batin saya. 

Pada prakteknya, seluruh keluarga tetap melakukan kurban karena ini bagian dari ibadah dan keyakinan. Sementara, secara pribadi, saya terpaksa menyepi. 

Akhirnya Saya Pernah Berkurban Kambing 

Di sekitar tahun 2005an, saya turut serta menggerakkan kawan kawan dan sahabat untuk mendukung korban atau penyintas Tsunami Aceh yang terjadi Desember 2004. Dana terkumpul cukup banyak. Namun, kebutuhan selalu lebih banyak dari apa yang ada. Setelah upaya yang keras untuk kumpulkan dana dan dukungan, pada akhirnya habis juga dana pribadi saya. 

Saat itu di masa persiapan Idul Kurban, sahabat saya yang mendampingi korban atau penyintas di lokasi bencana mengatakan bahwa masih dibutuhkan hewan kurban untuk masyarakat penyintas yang memang miskin sekali.

Deskripsi sahabat saya betul betul membuat saya luluh. Saya akhirnya buka 'celengan' saya, meski saya tahu gajian masih sebulan lagi. Saya percaya rejeki akan datang. Jadi, dana saya kirimkan untuk niatan berkurban. 

Penerima kurban  adalah seorang ibu kepala rumah tangga atau janda beranak 3 orang. Rupanya, si ibu tidak menyembelih kambingnya, melainkan memeliharanya hingga besar. Bahkan, ia mengawinkan 'menggaduhkan' kambingnya. Mengharukan. 

Di suatu saat di sekitar tahun 2007an, kawan yang saya titipi dana kurban itu bercerita bahwa kambing si ibu telah berjumlah jadi 5 ekor dan si ibu pernah menjual seekor kambingnya untuk biaya sekolah anaknya. Si Ibu jadikan ternak kambingnya menjadi asetnya ketika ia butuh dana. Rasanya bahagia sekali saya mendengar cerita itu. 

Jadi, saya pikir, kurban kambing itu tidak selamanya harus dipotong pada saat Idul Adha, kan? Bahkan, si Ibu bisa menyekolahkan anak dari uang hasil kurban yang makin berkembang.

Saya menghibur diri saya bahwa niat berkurban itulah yang perlu jadi spirit. Bahwa bila pada akhirnya si kambing akan dipotong itu akan menjadi berbeda, karena kambing itu tidak menjadi bagian dari ritual yang di mata saya sudah menjadi industri. Saya memohon ampun kepada Allah atas pemikiran dan keputusan pribadi saya. Saya lakukan semata karena niat baik saya. 

Makna Kurban 

Saya pengagum Bapak Prof H Quraish Shihab. Bukan karena beliau adalah ayah dari Najwa, tetapi karena apa yang beliau sampaikan adalah mengajak kita berpikir dan menjadikan kita meyakini Islam dengan nilai nilai Allah yang Maha Pemurah dan Bijaksana. Kalimat kalimatnya kena di hati saya yang memang sangat tipis dalam pemahaman ilmu agama Islam. 

Di websitenya, Prof H Quraish Shihah menuliskan "Dalam bahasa Al Quran, pengertian korban bukan dalam arti yang disakiti, tapi korban lebih banyak diartikan sebagai persembahan. Qurb itu artinya dekat, sesuatu yang berharga kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, itulah kurban. Dalam Idul Adha, memang ada kata yang juga diartikan korban terambil dalam kata adha ini. Karena itu tadi, seorang atau sesuatu yang terlukai itu mestinya menimbulkan rasa iba kepadanya dan pada akhirnya anda akan merasakan sakit sebagaimana sakitnya yang dikorbankan, itu pengertian kebahasaan dari korban".

Prof H Quraish Shihab juga menyampaikan mana kurban yang diterima Allah dan mana yang tidak.

"Dalam Al Quran, diceritakan bahwa dua anak Adam, Qabil dan Habil mempersembahkan hasil usahanya, kepada Tuhan. Yang satu diterima, yang satu tidak. Dijelaskan bahwa yang diterima Allah adalah kurban yang baik, yaitu kurban yang diberikan Habil. Tapi dari persembahan yang diberikan Habil, Allah tidak menerima daging korban, tidak juga menerima darahnya. Yang diterima Allah dari kurban yang diberikan manusia adalah ketulusan hati dan ketakwaan yang memberikan".

Profesor H Quraish Shihab bahkan mendiskusikan soal hati. Ia menuliskan bahwa Rasul menunjuk bahwa takwa itu adanya di hati.

"Karena itu, disyariatkannya Idul Adha dengan mengorbankan, dengan menyembelih binatang tertentu itu sebenarnya adalah kurban untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, dan yang diterimaNya itu bukan daging atau darah kurbannya tapi ketulusan hati yang memberikan. Karena itu bisa jadi satu orang mempersembahkan satu kambing, yang lain kerbau yang besar, tapi yang diterima kurbannya adalah yang memberikan kambing, karena Tuhan tidak lihat besar atau kecilnya kurbannya, tapi ketulusan hati masing-masing hambaNya dalam berkurban".

Sebagai muslim, saya juga adalah manusia. Saya lalu teringat pengalaman Gandhi. Terkait pengorbanan, Gandhi menemukan bahwa mengatasnamakan suatu pengorbanan dengan menyakiti makhluk hidup bukanlah pengorbanan.

Pengorbanan manusia harus menempatkan dirinya sebagai makhluk yang terhormat dengan tidak menyakiti makhluk lainnya. Ini muncul karena dalam Hindu terdapat pengorbanan dalam bentuk hewan. 

Baginya, pengorbanan manusia adalah mengalahkan ego dan keinginan pribadi dan memberikan manfaatnya untuk kebaikan di atas bumi bagi makhluk hidup dan manusia lebih luas. Itulah arti pengorbanan yang membersihkan diri manusia. 

Pengalamannya memang bukan kitab suci. Gandhi bukan Allah, juga bukan Nabi. Namun, pengalamannya bergumul dalam perdebatan batin akan kebenaran akan norma yang ia yakini, di samping realitas yang ia hadapi adalah kisah manusia yang saya belajar banyak. Saya merasakan bahwa pada akhirnya, hidup kita bukan sekedar hitam putih. 

Saya selalu meyakini bahwa Allah memahami niat dan hati kita. Saya sering memaknai Kurban dengan mengorbankan diri, yang mungkin menyebabkan kita sakit dan menderita atau berkurang harta atau perasaan atau waktu kita untuk tujuan bagi sesama dan untuk tujuan yang lebih baik.

Berkurban itu berat karena kita melepaskan ego, dan kadang mengalah walau kita tahu kita yang benar. Dan, pengurbanan sebagai manusia, khususnya sebagai perempuan, hadir setiap hari. 

Pengurbanan kita sehari hari itulah yang akan mengalahkan nafsu kita dan keinginan kita sebagai manusia. Pengurbananpun tidak harus dilakukan hanya pada Hari Raya Idul Adha. Menurut saya, kita lakukan pengurbanan dalam kehidupan kita sehari hari.

Sayapun memohon ampun kepadaNya, sekiranya saya berkurban tidak dengan menyembelih kambing atau sapi pada tahun ini. Saya berdoa semoga Allah mengampuni saya, memahami rencana dan pemikiran serta niat saya, dan meridloi pengorbanan saya. 

Selamat Hari Raya Idhul Adha. Mohon maaf lahir batin. Semoga Allah memberikan berkah pada pengurbanan kita sebagai umat manusia. 

********Saya memahami tulisan ini akan menjadi sesuatu yang sensitif bagi sebagian pembaca. Namun, perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini bukan merupakan kritik saya pada ibadah kurban, melainkan ungkapan perasaan saya yang tidak pernah tega melihat hewan hewan itu disembelih dan mencoba memaknai Kurban dengan cara yang saya mampu dan bisa.

Pustaka :  Satu; Dua; Tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun