Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maafkan, Saya Bersembunyi Saat Idul Kurban

9 Agustus 2019   11:35 Diperbarui: 30 Juli 2020   12:56 12151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sapi untuk di Peternakan untuk Kurban (Sumber : Pixabay.com)

Makna Kurban 

Saya pengagum Bapak Prof H Quraish Shihab. Bukan karena beliau adalah ayah dari Najwa, tetapi karena apa yang beliau sampaikan adalah mengajak kita berpikir dan menjadikan kita meyakini Islam dengan nilai nilai Allah yang Maha Pemurah dan Bijaksana. Kalimat kalimatnya kena di hati saya yang memang sangat tipis dalam pemahaman ilmu agama Islam. 

Di websitenya, Prof H Quraish Shihah menuliskan "Dalam bahasa Al Quran, pengertian korban bukan dalam arti yang disakiti, tapi korban lebih banyak diartikan sebagai persembahan. Qurb itu artinya dekat, sesuatu yang berharga kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, itulah kurban. Dalam Idul Adha, memang ada kata yang juga diartikan korban terambil dalam kata adha ini. Karena itu tadi, seorang atau sesuatu yang terlukai itu mestinya menimbulkan rasa iba kepadanya dan pada akhirnya anda akan merasakan sakit sebagaimana sakitnya yang dikorbankan, itu pengertian kebahasaan dari korban".

Prof H Quraish Shihab juga menyampaikan mana kurban yang diterima Allah dan mana yang tidak.

"Dalam Al Quran, diceritakan bahwa dua anak Adam, Qabil dan Habil mempersembahkan hasil usahanya, kepada Tuhan. Yang satu diterima, yang satu tidak. Dijelaskan bahwa yang diterima Allah adalah kurban yang baik, yaitu kurban yang diberikan Habil. Tapi dari persembahan yang diberikan Habil, Allah tidak menerima daging korban, tidak juga menerima darahnya. Yang diterima Allah dari kurban yang diberikan manusia adalah ketulusan hati dan ketakwaan yang memberikan".

Profesor H Quraish Shihab bahkan mendiskusikan soal hati. Ia menuliskan bahwa Rasul menunjuk bahwa takwa itu adanya di hati.

"Karena itu, disyariatkannya Idul Adha dengan mengorbankan, dengan menyembelih binatang tertentu itu sebenarnya adalah kurban untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, dan yang diterimaNya itu bukan daging atau darah kurbannya tapi ketulusan hati yang memberikan. Karena itu bisa jadi satu orang mempersembahkan satu kambing, yang lain kerbau yang besar, tapi yang diterima kurbannya adalah yang memberikan kambing, karena Tuhan tidak lihat besar atau kecilnya kurbannya, tapi ketulusan hati masing-masing hambaNya dalam berkurban".

Sebagai muslim, saya juga adalah manusia. Saya lalu teringat pengalaman Gandhi. Terkait pengorbanan, Gandhi menemukan bahwa mengatasnamakan suatu pengorbanan dengan menyakiti makhluk hidup bukanlah pengorbanan.

Pengorbanan manusia harus menempatkan dirinya sebagai makhluk yang terhormat dengan tidak menyakiti makhluk lainnya. Ini muncul karena dalam Hindu terdapat pengorbanan dalam bentuk hewan. 

Baginya, pengorbanan manusia adalah mengalahkan ego dan keinginan pribadi dan memberikan manfaatnya untuk kebaikan di atas bumi bagi makhluk hidup dan manusia lebih luas. Itulah arti pengorbanan yang membersihkan diri manusia. 

Pengalamannya memang bukan kitab suci. Gandhi bukan Allah, juga bukan Nabi. Namun, pengalamannya bergumul dalam perdebatan batin akan kebenaran akan norma yang ia yakini, di samping realitas yang ia hadapi adalah kisah manusia yang saya belajar banyak. Saya merasakan bahwa pada akhirnya, hidup kita bukan sekedar hitam putih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun