Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Indonesia Kesulitan Hapus Kemiskinan dan Capai SDGs?

17 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 19 Juli 2019   06:47 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama mama penjual sayur di Papua (Dokumentasi Pribadi)

 Saya senang Jokowi sudah menyebut ini dalam Visi Indonesia. Saya berharap ini akan diterjemahkan oleh kabinetnya dengan benar di tataran kebijakan dan implementasi.

Upaya peningkatan daya saing ini perlu dilakukan juga dengan pehamanan dan rekognisi atas isu sosial dan gender yang menyertainya. Ini realitas di lapang bahwa warga negara itu berbagai. Bukan hanya warga laki laki saja. Dan bukan hanya di Jawa. Laporan Mc Kinsey "The Power of Parity" (2016) melihat bahwa bila Indonesia menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi perempuan, maka kita bisa meningkatkan pertumbuhan sebesar 10% lebih tinggi dari business as usual pada tahun 2025.

Artinya, produktivitas meningkat ketika kita merangkul semua warga bangsa, perempuan dan laki laki. Tempat kerja yang ramah perempuan, memfasilitasi dengan ruang layanan menyusui, dan bebas dari pelecahan seksual, adalah sedikit dari contohnya. Kalau kita masih terus berpikir sempit bahwa keadilan gender itu kembali ke perspektif agama, rasanya kita tidak perlu lagi bicara soal kemiskinan dan pembangunan ya. Tutup buku saja. Ini akan jadi tantangan bermunculannya kembali pemikiran yang mundur.

Kemiskinan Struktural dan Potensi Sullitnya Pencapaian SDGs? 
Jadi, mengapa kita masih perlu diskusikan data orang miskin? Pada dasarnya, kemiskinan bukan hanya soal miskin ekonomi. Kita kenal apa yang disebut indikator kemiskinan multi dimensi. Kita mempertimbangkan pula berbagai indikator kesehatan, asupan gizi, pendidikan dasar serta indikator lain, termasuk akses masyarakat pada sumber daya dan lain lainnya. 

Berbicara soal penghapusan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Jokowi, artinya kita bicara instrumen Jokowi dalam hal Conditional Cash Transfer. Ini soal Program Keluarga Harapan (PKH) bagi lebih dari 10 juta penduduk termiskin yang terdata pada Basis Data Terpadu (BDT) . Program ini berhasil meningkatkan pendapatan dan tingkat sosial keluarga termiskin, namun ini belum mampu untuk mendongkrak persoalan kemiskinan struktural. Mengapa demikian? 

Masyarakat miskin seperti petani yang tidak bertanah dan pelaut yang tidak bermodal alat kerja dan modal, dan pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa memenangkan ekonomi di tengah konteks penguasaan SDA oleh korporsai di tengah persaingan ekonomi global adalah sedikit dari contoh isu kemiskinan struktural yang perlu serius dipikirkan. Ini tentu bukan dosa satu periode pemerintahan saja, karena merupakan akumulasi dan peninggalan orde dan dinasti beberapa pemerintah.

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SD) ini perlu meningkatkan akses masyarakat miskin dan termiskinnya untuk dapat dan mampu menguasai dan mengontrol SDA nya sendiri. Ini membawa arti perlunya perubahan politik ekonomi Indonesia. Saya kok jadi ingat Faisal Basri ya. Hiks.

Program penyerahan sertifikat dari program perhutanan sosial adalah salah satu cara untuk menerobos isu kemiskinan struktural. Ini sudah dimulai Jokowi dan perlu terus ditingkatkan. Tidak cukup masyarakat diberi sertifikat. Dukungan pemberdayaan berkelanjutan sangat perlu.

Apakah artinya, agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) sulit dicapai dan gagal? Iya, dan mungkin saja. Terdapat pertanyaan dan PR besar atas landasan kerja kita (dan landasar kerja pembangunan dunia).

  1. Tuntutan adanya 'Big Data' kemiskinan yang belum bisa dicapai. Kita sibuk bicara soal 'big data'. 'Big Data' dalam SDGs tentu berkait banyak hal, termasuk data kemiskinan di semua lini tujuan SDGs. Satu hal saja, apa yang kita lakukan dengan pendataan orang miskin kita yang gunakan Basis Data Terpadu (BDT)? Kita masih belum mampu memasukkan semua orang miskin ke dalam BDT.

    Bagaimana mungkin kita bisa memasukkan data semua orang miskin bila banyak kalangan orang miskin tidak punya kartu identitas. Ini PR besar atas hak sipil masyarakat. Masih banyak warga negara yang tidak punya KTP, akte kelahiran, akte perkawinan, dan akte perceraian yang memungkinkan mereka bisa mengakses begitu banyak layanan negara. Terdapat empat alasan yang membatasi warga untuk bisa punya surat identitas diri, antara lain biaya, jarak, informasi, dan komplekitas proses dan koordinasi dari lembaga penerbit surat (AIPD, 2014).

  2. Sektor keuangan yang rigid. Pencapaian SDGs menyaratkan kerja dan aksi multilateral dalam konteks global yang penuh tantangan. Seberapa landasan kerja, misalnya tata aturan perdagangan internasional, tatanan kerja lembaga keuangan dunia, yang menuntut perubahan struktural di tingkat global.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Financial Selengkapnya
    Lihat Financial Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun