Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Tolak Poligami tapi Terima Qanun?

13 Juli 2019   11:40 Diperbarui: 14 Juli 2019   12:47 2217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrsi Poligami (the Economist)

Suara Perempuan Terdampak Perlu Didengar

Beberapa hari ini, salah satu anggota grup WA yang semua anggotanya adalah perempuan Aceh dan perempuan yang bekerja di Aceh membagi pesan "Orang negara lain berpikir bagaimana pergi ke planet lain. Kita, poligami dan korupsi lanjut'. Nah, ini dia, batin saya. 

Kawan kawan di grup WA ini pada umumnya memiliki pendidikan cukup baik. Juga mereka miliki karya nyata di bidang ekonomi. Mereka biasanya punya pandangan progresif karena memang berinteraksi untuk membangun pemberdayaan dan kesetaraan. 

Saya juga meminta ijin untuk catat pandangan mereka secara anonim. Bahkan afiliasinyapun saya janji untuk tidak menyebutkan. Saya menghormati perempuan perempuan luar biasa ini. 

Diskusi bergulir. Saya hanya berperan sebagai orang usil yang melempar pertanyaan kepada anggota grup WA "Setujukah dengan Qanun Poligami?".

Dan, bermunculanlah komentar "Saya gak, bu", yang disambut tanggapan seorang anggota lainnya "Buat laki laki, mereka merasa berkah untuk itu (poligami), padahal gak mampu. Nafsu kuda, tenaga kodok". Ini diurai terkait kemampuan suami secara fisik, keuangan dan seksual. 

Lalu, seseorang menimpali tegas dengan huruf capital "SANGAT TIDAK SETUJU". Ia lalu menambahkan bahwa, celakanya televisi mempromosikan banyak kisah poligami melalui sinetron dengan episode berseri dan banyak iklan. 

Kemudian, ia membagi beberapa contoh sinetron itu, antara lain 'Berbagi Suami", "Ayat ayat Cinta", 'Following Diana", "Surga yang Tidak Dirindukan", dan "Athirah". Saya hanya sempat menonton Ayat Ayat Cinta karena tegiur ingin tahu, mengingat ketika masa Presiden SBY, JK selaku wakil presiden mengajak semua anggota kabinet beramai ramai menontonnya. Sayang sekali pesan moral dari film itu tidak didiskusikan kabinet waktu itu. 

Yang menarik, ada pula salah satu anggota grup WA secara runtut mengurai bahwa poligami adalah bagian dari pandangan patriarki dan bahwa ini adalah sarana untuk mengeksploitasi tubuh perempuan, baik sebagai alat reproduksi, pemuas seksual maupun alat pelayanan laki laki. 

Dalam kasus dengan aturan Syariah, posisi laki laki sebagai pemberi nafkah utama, dalam prakteknya belum tentu bisa melaksanannya. Apalagi dengan poligami. Akhirnya, istri yang bekerja kadang malah menanggung beban kehidupan istri kedua. 

Karena dalam grup WA terdapat pula anggota yang punya relasi keluarga, saya usil tanyakan tentang  kemungkinan bila suami berpoligami? Menarik bahwa anggota WA yang memiliki satus keluarga kemudian menyampaikan beberapa asumsi asumsi bahwa ketika perempuannya baik, cantik dan cerdas, dan bahkan aktif di rumah dan di tingkat masyarakat, adalah tak mungkin suami akan melakukan poligami. Hm...

Padahal kita tahu, perkawinan adalah relasi jangka panjang yang berada pada konteks yang selalu dinamis dan berubah. Tentu, perasaan dan keinginan bisa saja bergeser dengan berjalannya waktu. Apalagi bila sang laki laki adalah mereka yang berhasil dalam bisnis dan ekonomi. Ganteng pula. Di sini, ada keheningan di antara anggota grup WA. Bahkan, diskusi dialihkan pada subyek lain. Di situ, ada makna dalam bahwa perempuan Acehpun masih 'jengah' dan 'risih' berbicara soal realitas yang ada di depannya. 

Suara perempuan memang sangat penting menyikapi Qanun ini. Saya tak perlu mendiskusikan pandangan laki laki, toh perspektif mereka sudah tercermin dalam draf Qanun.. 

Tak Setuju Dipoligami, tapi Menerima Qanun.  

Secara pribadi, perempuan menolak mentah mentah pada poligami. Tapi, terhadap Qanun, perempuan Aceh, dan mungkin perempuan muslim nampak 'segan'. Segan karena mereka tak mau disebut pendosa melawan anjuran agama, yang notabene dimaknai sebagai 'kalimat' Tuhan. 

Sebagian perempuan memberi catatan berupa harapan bahwa Qanun akan melindungi perempuan dari isu pengabaian perempuan dan anak.  

Sayangnya, mayoritas perempuan Aceh tidak kenal atau tidak membaca draft Qanun Poligami/Keluarga. 

Ini sangat disayangkan, mengingat, perempuan Aceh yang akan terdampak dari Qanun Poligami, untuk mengomentari dan bersuara tentang hal ini.

Perempuan Aceh merasa sulit menyampaikan pandangan secara terbuka. Apalagi ini membahas teks dan perspektif agama. Tentu perempuan makin ciut untuk kemudian disebut kelompok pendosa. 

Bahkan, mantan walikota Banda Aceh yang sekarang menjadi anggota DPRD RI, Illiza Sa'aduddin Djamal, menyampaikan pandangan yang menurut saya masih ada pada area abu-abu, atau bahkan kontradiktif. Illiza sempat sampaikan pendapatnya  kepada Detiknews.com, seperti yang dimuat pada 8 Juli 2019. Ia mengarkan bahwa secara umum poligami dilakukan tanpa ijin istri pertama.

Untuk itu, ia berharap laki laki paham syarat yang berat dari poligami yang sifatnya mubah, yaitu bila tidak dilakukanpun tidak mengapa. Ia  mengkhawatirkan Qanun akan mendorong laki laki menikah lebih dari satu kali karena pada akhirnya akan menjadi tren. Semacam 'life style' dan budaya. 

Illiza berharap bahwa qanun tersebut dapat mengatur lebih baik lagi, termasuk untuk poligami harus mendapat izin istri pertama dan mencukupi semua syarat yang diatur. Hal itu juga untuk melindungi perempuan dan anak-anak. Illiza hanya berharap bahwa dengan adanya Qanun, mungkin pemerintah bisa memberi sanksi.

Di sini, saya seperti tersesat di hutan lebat, berawa dan beronak duri serta gelap. Pandangan Illiza yang masih mednua ini menjadi beban pikiran saya karena ia adalah tokh panutan di antara perempuan dan ia saat ini adalah anggota DPRRI. 

Saya pribadi kurang percaya akan janji penegakan hukumnya. Kalau korupsi di Aceh saja susah ditaklukkan, bagaimana dengan urusan yang melindungi kepentingan perempuan. Apalagi, keterkaitan korupsi dan poligami sudah sering menjadi temuan. Jadi, walaupun draf Qanun seakan meletakkan janji begitu tinggi, mohon maaf bila saya sangat ragu. 

Sejujurnya, hari saya pedih mendengar harapan begitu tinggi perempuan Aceh akan adanya penegakan hukum oleh pemerintah Syariahnya. 

Isu poligami dan korupsi jadi monok, dan bisa jadi adalah bagian tidak terpisahkan. Apalagi, Dengan status Aceh sebagai provinsi wilayah otonomi khusus, posisi perempuan Aceh tidaklah mudah. Apalagi, lembaga seperti FPI Aceh telah menyampaikan bahwa pembelaan pada Qanun Poligami atau Qanun Keluarga adalah jihad. Jihad!

Perempuan Setara dengan Laki Laki di Mata Tuhan, tetapi Manusia Mengatasnamakan Ayat Tuhan untuk Meleluasakan Hasratnya

Memahami situasi  Aceh dan konteks keberadaan relasi perempuan dengan laki laki, serta relasi mereka dengan kepemerintahan Syariah  sangat diperlukan. Memahami bukan berarti harus menyetujui.

Saya kuatir bahwa teks dan interpretasi agama, yang direfleksikan dalam peraturan Syariah di pemerintahan Aceh, membuat perempuan tidak berani berbicara atau menolak poligami, meski pilihan pribadi mengatakannya berbeda. Seakan, ketika seseorang memutuskan menjadi muslim, status poligami seakan terberikan. 

Kalau itu yang menjadi hukumnya, saya mungkin akan berpikir seribu kali untuk menghadiri upacara akad nikah. Menyakitkan, untuk membayangkan bahwa sang calon mempelai perempuan terberi dengan status 'calon dipoligami'. 

Pemerintah nasional perlu punya pemahaman dan ketetapan yang jelas. Memang, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Yambise mengatakan bahwa poligami merugikan perempuan dan anak. Mendagri bahkan belum menerima draf Qanun, oleh karenanya belum berpendapat. Ia khawatit terdapat aturan yang bertabrakan. 

Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengingatkan bahwa poligami tidak dilarang, tetapi Qanun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Ia memahami syaratnya berat dan harus  ada ijin istri.  

Dari laporan Komnas Perempuan, terdapat banyak kasus kekerasan dialami perempuan karena menolak poligami. Ini perlu menjadi pertimbangan. Azriana, Ketua Komnas Perempuan yang kebetulan berasal dari Aceh mengingatkan bahwa perundangan Indonesia menolak poligami. 

Sejak lama, poligami dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan oleh karenanya, poligami seharusnya dilarang. "Bagi Komnas Perempuan, poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Praktik ini harus dilarang. Banyak negara dengan penduduk mayoritas muslim yang melarang praktik poligami," ujarnya kepada Detik.com. Poligami adalah untuk keuntungan laki laki. 

Setelah diskusi kami, dik Dati Fatimah membagi tautan tentang pandangan Islam terkait poligami  di sini, yang saya bagikan untuk pembaca. 

Perempuan Aceh memiliki tantangan besar, bukan hanya harus mematikan rasa ketakutan karena suaminya setiap saat akan meminta ijin berpoligami, tetapi juga dipaksa secara hukum dan pemerintah yang ada, untuk menerima doktrin poligami, karena teks dan persepsi agama menuntutnya.  

Atas nama keadilan, suara perempuan Aceh seharusnya didengar dengan seksama. Keraguan perlu dicek, bukan malah dipaksakan bahwa menerima poligami adalah Jihad. Menyedihkan, membayangkan bahwa mereka yang terdampak Qanun tidak berdaya, bahkan untuk bersuara. 

Bagi perempuan yang 'terancam' adanya poligami, perkawinan bisa saja jadi pergumulan tanpa kemesraan, dan bahkan pergulatan dengan ruda paksa. 

Pustaka : 1) Kementrian PPA; 2) Komnas Perempuan tentang Poligami 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun