Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Doa untuk Negeri atas Pemilu Paling Kompleks se-Dunia

17 April 2019   19:47 Diperbarui: 21 April 2019   16:19 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengangkutan Kartu Suara di Maros (Daeng Mansyur)

Dokumentasi dari proses Pemilu 2019 ini luar biasa. Dimulai dengan hiruk pikuk dan berseliwerannya berita yang valid maupun tidak valid, yang baik dan yang busuk, termasuk hoaks.

Juga dinamika bagai naik 'jet coaster' akan harapan baik dan bencana. Upaya upaya tipu daya. Dalam realita proses transportasi kartu suara yang dilakukan melalui bantuan kuda sampai gajah, diterbangkan dengan pesawat terbang dan diseberangkan melalui kapal dan sungai. Dengan atau tanpa alat transportasi yang ada. Kadang bahkan hanya dengan berjalan kaki. Dijaga oleh tentara dan warga. Ke penjuru Nusantara. Kota, desa dan pelosok negeri. 

Kartu kita diangkut gajah di Aceh Selatan (Chaideer Mahyuddin)
Kartu kita diangkut gajah di Aceh Selatan (Chaideer Mahyuddin)
Tak heran bila the Guardian dan the Economist menyebut bahwa Pemilu kita adalah Pemilu 6 jam yang terkompleks di dunia. Tentu ini relatif karena pemilu di India juga ribet.

Dan saking pentingnya Pemilu kita bagi dunia, berita hasil quick count dan exit poll sudah pula beredar di media internasional. Begitu cepat. Begitu terkini.

Observer internasionalpun berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu di luar negri. Sebagai contoh, Rosalia Scortiono, kawan baik berkebangsaan Italia menjadi observer di Bangkok. 

Artinya, kita tidak bisa membuat cerita akal akalan lagi. Kecurangan Pemilu akan juga menjadi bagian yang akan dikomentari observer dunia.

Kecuali, kalau memang kita mau 'ngotot kawat balung wesi'. Ngotot tak terpatahkan realita. Ini berbeda dengan 'Otot kawat balung wesi" yang merupakan kekuatan Gatot Kaca yang kuat bagai otot kawat dan tulang besi. 

Staf KPU di Surabaya mengangkut dan menjaga Kartu Suara (Juni Kriswanto)
Staf KPU di Surabaya mengangkut dan menjaga Kartu Suara (Juni Kriswanto)
Lelah kita terus menerus mengulang diskusi soal metode 'quick count', 'exit poll' dan ;real count'. Itu bahasan lama sejak masa Forum Rektor di Pemilu 1999. Juga di Pemilu 2004 dan 2009 dan 2014. Bosan, kan? Tak usah lagi diperdebatkan metofologinya. Namanya survai dengan sampel tentu harus mewakili populasi. Kalau sampel diakali hanya pada wilayah yang menang saja tentu hasilnya berbeda.  Lebih baik kita tunggu hasil penghitungan riilnya. KItapun harus terus memantau. Kalau ada masalah, laporkan pada Bawaslu. Namun, pakai pengetahuan yang telah kita dapat dari guru guru kita yang telah ajarkan. Jangan dari NOL. Kita tak ingin disebut sebagai bangsa yang tak belajar, bukan? 

Tak usah kita pura pura bodoh. Almarhum ayah saya bilang, kalau kita pura pura bodoh maka kita akan jadi bodoh beneran. Bila kita pura pura tak dengar, kita bisa jadi budeg beneran. Logikanya benar. Otak kita memilah mana yang dianggap tak perlu dan kita tak mau tahu dan membuangnya dari memori. Bodohlah kita. Lupalah kita jadinya. 

Saya sengaja tak membuka WA group karena diskusinya masih terus dengan perdebatan cebong dan kampret sebelum hari pemilu ini. Sama saja. Membosankan. Melelahkan. Menyakitkan. Malulah kita ditonton masyarakat miskin yang menunggu hasil Pemilu ini dengan harapan perbaikan hidup mereka.

Sungguh malu membayangkan bahwa saat ini, mama mama di desa Kambata, Kalihi,  dan di Lewa Tidahu di Sumba Timur yang baru diterangi listrik menonton perkembangan hasil Pemilu dengan penuh harapan. Bahwa hidup mereka akan lebih baik  atau paling tidak sama baiknya dengan simbok simbok di Jawa dan emak emak Betawi yang mereka tonton di televisi. 

Melihat realita dan dinamika Pemilu kita, saya tertunduk dan malu pada diri sendiri, tentang betapa naifnya saya akan luasnya samudera kita dan ratusan juta nyawa manusia yang ingin mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan. Tentang betapa biaya, baik biaya pendanaan berupa anggaran pemerintah, donasi korporasi maupun sumbangan sukarela warga. Juga biaya yang tidak dapat dinilai dengan uang berupa caci maki, perpecahan, permusuhan dan fitnah serta kemarahan yang keji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun