Dokumentasi dari proses Pemilu 2019 ini luar biasa. Dimulai dengan hiruk pikuk dan berseliwerannya berita yang valid maupun tidak valid, yang baik dan yang busuk, termasuk hoaks.
Juga dinamika bagai naik 'jet coaster' akan harapan baik dan bencana. Upaya upaya tipu daya. Dalam realita proses transportasi kartu suara yang dilakukan melalui bantuan kuda sampai gajah, diterbangkan dengan pesawat terbang dan diseberangkan melalui kapal dan sungai. Dengan atau tanpa alat transportasi yang ada. Kadang bahkan hanya dengan berjalan kaki. Dijaga oleh tentara dan warga. Ke penjuru Nusantara. Kota, desa dan pelosok negeri.Â
Dan saking pentingnya Pemilu kita bagi dunia, berita hasil quick count dan exit poll sudah pula beredar di media internasional. Begitu cepat. Begitu terkini.
Observer internasionalpun berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu di luar negri. Sebagai contoh, Rosalia Scortiono, kawan baik berkebangsaan Italia menjadi observer di Bangkok.Â
Artinya, kita tidak bisa membuat cerita akal akalan lagi. Kecurangan Pemilu akan juga menjadi bagian yang akan dikomentari observer dunia.
Kecuali, kalau memang kita mau 'ngotot kawat balung wesi'. Ngotot tak terpatahkan realita. Ini berbeda dengan 'Otot kawat balung wesi" yang merupakan kekuatan Gatot Kaca yang kuat bagai otot kawat dan tulang besi.Â
Tak usah kita pura pura bodoh. Almarhum ayah saya bilang, kalau kita pura pura bodoh maka kita akan jadi bodoh beneran. Bila kita pura pura tak dengar, kita bisa jadi budeg beneran. Logikanya benar. Otak kita memilah mana yang dianggap tak perlu dan kita tak mau tahu dan membuangnya dari memori. Bodohlah kita. Lupalah kita jadinya.Â
Saya sengaja tak membuka WA group karena diskusinya masih terus dengan perdebatan cebong dan kampret sebelum hari pemilu ini. Sama saja. Membosankan. Melelahkan. Menyakitkan. Malulah kita ditonton masyarakat miskin yang menunggu hasil Pemilu ini dengan harapan perbaikan hidup mereka.
Sungguh malu membayangkan bahwa saat ini, mama mama di desa Kambata, Kalihi,  dan di Lewa Tidahu di Sumba Timur yang baru diterangi listrik menonton perkembangan hasil Pemilu dengan penuh harapan. Bahwa hidup mereka akan lebih baik  atau paling tidak sama baiknya dengan simbok simbok di Jawa dan emak emak Betawi yang mereka tonton di televisi.Â
Melihat realita dan dinamika Pemilu kita, saya tertunduk dan malu pada diri sendiri, tentang betapa naifnya saya akan luasnya samudera kita dan ratusan juta nyawa manusia yang ingin mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan. Tentang betapa biaya, baik biaya pendanaan berupa anggaran pemerintah, donasi korporasi maupun sumbangan sukarela warga. Juga biaya yang tidak dapat dinilai dengan uang berupa caci maki, perpecahan, permusuhan dan fitnah serta kemarahan yang keji.