Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Pendayung Sampan dan Komodifikasi Sosial di Damnoen Saduak

8 Maret 2019   10:35 Diperbarui: 10 Maret 2019   01:06 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Pendayung Sampan (Dokumentasi Pribadi)

Para perempuan pekebun memanfaatkan air dari kanal untuk mengairi kebun. Peerempuan perempuan membawa produknya, buah buahan dan sayur ke masyarakat luar melalui kanal. Itulah sebabnya, masyarakat mengenalnya sebagai pasar apung. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Identitas kedua adalah identitias masyarakat yang hidup di sepanjang kanal yang hidupnya didedikasikan untuk sektor wisata pada 1967 sampai 1977.

Gabungan antara sejarah kanal, perjalanan raja Chulalangkorn dan manisnya buah buahan serta keramahtamahan petani membuat wilayah ini menjadi wisata favorit.

Awalnya banyak pasar terapung ada di sini, namun kondisi berubah dan menyisakan satu pasar utama di tahun 1971. Damnoen Saduak akhirnya dikenal sebagai kehidupan masyarakat lokal yang berbeda dengan kehidupan kota dan kehidupan masyarakat pasar terapung di kanal Damnoen Saduak menjadi identitas baru.

Perempuan pedagang di pasar apung memiliki identitas yang semakin kuat dengan identitas budaya lama, dengan sering memakai 'Ngop', baju petani berwarna biru gelap dan topi pandan. 

Identitas Ketiga adalah identitas masyarakat yang dikonstruksikan untuk industri sektor wisata sejak 1977 sampai sekarang. Aspek penting yang merubah identitas adalah adanya pembangunan jalan besar yang di sebelah kanal dilakukan oleh pemerintah. Ini menyebabkan adanya area bisnis baru di luar kanal yang diisi orang luar wilayah juga membuka usaha penjualan suvenir. Hal ini tentu juga mempengaruhi bagaimana pasar terapung beroperasi.

Kunjungan ke pasar terapung dibatasi oleh paket paket, misalnya paket 2 jam dengan rute yang juga ditetapkan perusahaan pengelola wisata. Walaupun ciri khas dan budaya pendayung dan penjual di pasar terapung dipertahankan, tetapi mereka dalam dikte pasar.

Coba kita dengar pandangan seorang anggota masyarakat yang telah setengah umur yang dikutip oleh studi ini "Banyak wisatawan. Seperti juga kalau kita sedang ke luar negeri. Semuanya serba terbatas waktunya. Akhirnya, kita hanya bisa tinggal selama 40 menit di suatu tempat. Ini persis terjadi di kanal ini. Untuk itu, kita akhirnya harus menggunakan perahu bermotor".

Perubahan perubahan di atas tentu mempengaruhi konstruksi sosial masyarakat di sekitar Damnoen Saduak. Terdapat dampak positif dari rekonstruksi serta komodifikasi sosial, misalnya dikenalnya wisata Damnoen Saduak di seluruh dunia. Juga perempuan tetap aktif dalam sektor ekonomi.

Sementara pasar terapung membawa dampak negatif ketika merubah banyak hal, termasuk hubungan persaudaraan dan kekeluargaan di antara pendayung sampan dalam perdagangan. Tentu keberterimaan masyarakat setempat yang akan mempermudah transisi ini. Upaya pelestarian budaya yang unik yang berbalap dengan industrialisasi tentulah tak mudah.

Apa yang terjadi dengan Damnoen Saduak bisa saja terjadi di wisata di Indonesia, mengingat Indonesia juga menggalakkan wisata pasar terapung. Setidaknya kita punya tujuh pasar terapung. Pasar Muara Kuin, Pasar Lok Baintan dan juga Pasar Siring Piere Tendean, semuanya ada di Kalimantan Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun