Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PKH Partisipatif, Transparan, dan Berkelanjutan Bisa Memutus Rantai Kemiskinan

3 Maret 2019   00:13 Diperbarui: 3 Maret 2019   00:30 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bulan yang lalu, tepatnya di tanggal 20 Februari 2019, Ibu Sustin dan Ibu Parli yang merupakan tim kerja di rumah kami kembali dari pertemuan bulanan PKH dengan wajah gembira. Pasalnya, dana PKH yang mereka terima pada tahun 2019 meningkat sesuai dengan jumlah tanggungan dalam keluarga. Misalnya, Ibu Sustin dan Ibu Parli pada tahun 2018 menerima bantuan PKH sebesar Rp 1.890.000 maka pada tahun 2019, ibu Sustin menerima Rp 2.450.000,- sementara Ibu Parli menerima Rp 1.950.000,-.

Peningkatan tersebut dikarenankan adanya penerapan bantuan tetap sebesar Rp 550.000,-. Dengan demikian, penetapan jumlah bantuan PKH disesuaikan dengan beban tanggungan keluarga. Terdapat beberapa komponen dari bantuan PKH. Komponen pertama adalah untuk ibu Hamil dengan nilai bantuan sebesar Rp 600.000,- Komponen kedua diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan dari pemanfaat.

Besar bantuan untuk anak TK adalah Rp 600.00,-, anak SD sebesar Rp 225.000,-, anak SMP adalah sebesar Rp 350.000, dan anak SMA sebesar Rp 500.000,-. Untuk balita, lansia dan ibu hamil masing masing adalah Rp 600.000,-. Pemerintah menetapkan, setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) maksimum hanya bisa dimasukkan ke dalam 4 komponen saja. Misalnya, untuk keluarga yang terdapat ibu hamil, balita, penyandang disabilitas dan lansia maka masing masing mendapatkan Rp 2.400.000.

Namun, kegembiraan ibu Sustin dan Ibu Parli bukan hanya terbatas pada meningkatnya nilai bantuan PKH. Ibu Sustin dan Ibu Parli sering membawa 'oleh oleh' dari pertemuan bulanan PKH. Pertemuan antara sesama KOM dan pendamping desa selalu menarik. Suatu kali, Ibu Sustin gembira menceritakan bahwa ia telah bisa menggunakan kartu ATM. Selama hayat ia tidak pernah memiliki rekening bank, apalagi ATM. Pengalamannya untuk mempunyai rekening bank untuk kepentingan PKH telah mendorongnya untuk membuka rekening bank untuk keperluan pribadi. Ia mulai menabung sisa gajinya ke dalam rekening banknya.

Saya juga mendengar bahwa Ibu Rita dan Ibu Eva, pendamping PKH untuk desa Sawangan di Magelang selalu menanyakan perkembangan dan kemajuan belajar anak-anak ibu Sustin dan Ibu Parli. Misalnya, mereka diingatkan agar anak anak tidak selalu sibuk dengan HP nya, karena nanti lupa belajar. Pemantauan semacam ini membuat Ibu Parli merasa perlu terus mendampingi anaknya dalam belajar, sekaligus berupaya memahami kesulitan kesulitan belajarnya.

"Saya malu kalau kemudian Septi dapat nilai jelek di sekolah. Alhamdulillah, Septi ranking 2 di kelasnya, bu. Saya makin semangat bekerja karena saya makin sadar bahwa pendidikan anak sangat penting. Saya nggak mau Septi seperti anak anak lain yang berhenti sekolah dan kawin muda. Pemerintah kan sudah memberikan semacam bea siswa, ya bu?! Malu bila kami sudah bertemu dengan pembimbing setiap bulan, kemudian Septi tidak bagus nilainya di sekolah. Septi sudah bertekad masuk SMA tahun depan. Kalau bisa, mau jadi Polwan. Supaya hidupnya lebih baik. Doakan saya ya bu".

Ibu Parli juga membagi cerita bahwa ibu hamil dan keluargayang memiliki bayi dan anak balita terus melakukan kegiatan pemeriksaan kesehatan secara teratur. Dalam setiap kegiatan posyandu, kehadiran dan pemeriksaan kepada peserta PKH menjadi terpantau secara langsung. Hal ini termasuk pada upaya pemantauan KPM yang memiliki anak dengan status stunting.

Secara tidak langsung, animo masyarakat peserta Posyandu meningkat diiringi dengan hadirnya Pendampingan Program Keluarga Harapan. Bagi saya ini menarik. Artinya, terdapat sinergi dari program PKH untuk kesehatan dan pendidikan.

Sebagai bagian dari program conditional cash transfer (CTC), atau bantuan tunai besyarat yang mengadopsi program "Progressa' di Mexico, PKH dimulai dalam bentuk proyek uji coba di 7 provinsi pada tahun 2007. Tujuan utama PKH adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta merubah perilaku keluarga sangat miskin (KSM) yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan.

Target PKH adalah keluarga termiskin yang memiliki ibu hamil atau menyusui, anak di bawah usia 6 tahun, dan anak usia sekolah sampai SLTA, Selanjutnya, cakupan dikembangkan juga untuk mereka dengan disabilitas dan lansia. Sebagai CCT, terdapat persyaratan. Untuk Ibu hamil, persyaratannya adalah melakukan 4 kali kunjungan ke puskesmas. Untuk anak di bawah usia 6 tahun, persyaratannta adalah mengunjungi Posyandu dan melakukan pemantauan pertumbuhan serta asupan makanan tambahan. Untuk anak usia sekolah persyaratannta adalah angka kehadiran di atas 85%.

Pada saat masih menjadi proyek uji coba, saya sempat hadir di kantor Dinas Sosial di Kabupaten Manggarai di NTT pada tahun 2011 dan ketika saya menanyakan implementasi PKH saya hanya mendapatkan laporan dalam bentuk satu lembaran kertas berisi rangkuman jumlah penerima dana PKH dan besarannya saja. Namun, pemerintah terus melakukan perbaikan pada prosedur, implementasi serta sistem pelaporan dan evaluasinya. Panduan PKH mensyaratkan adanya evaluasi menyeluruh setelah program berjalan selama 6 tahun. Asumsinya, dalam 6 tahun seharusnya penerima program PKH telah 'lulus' dari kemiskinan.

Adalah suatu indikasi yang baik bahwa saat ini banyak terdapat laporan laporan implementasi PKH, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, oleh lembaga donor internasional, maupun dilakukan secara mandiri oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Hal ini membuka transparansi dalam hal efektivitas implementasi program dan akuntabilitasnya.

Terdapat persoalan targeting yang masih belum sesuai yang diakui sebagai hal yang mengurangi efektivitas dari PKH. Misalnya, pada awal implementasi program di tahun 2014, evaluasi PKH di wilayah Sigli yang dilakukan oleh mahasiswa pasca sarjana menunjukkan bahwa terbatasnya cakupan keluarga miskin dan masih kurang sesuainya targeting pada keluarga termiksin menyebabkan masih adanya kesenjangan antara tujuan PKH dan implementasi di tingkat lapang. Dalam konsultasi implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) yang inklusif dan responsif gender yang saya ikuti, isu kurang sesuainya targeting KPM masih merupakan persoalan.

Hal ini juga saya temui secara pribadi ketika saya menjadi relawan pasca bencana Gempa Lombok di Lombok Timur antara September sampai Desember 2018. Saya menemukan seorang ibu hamil berisiko tinggi dari kalangan keluarga miskin yang tidak menjadi bagian dari PKH karena namanya tidak ada dalam Basis Data terpadu (BDT). Sialnya, iapun tidak mendaftarkan diri untuk tergabug dalam BPJS karena alasan tidak mampu membayar premium. Padahal si ibu hamil ini harus menjalani operasi Caesar.

Masih di Lombok Timur, saya juga menemukan seorang anak SLTP yang terpaksa harus putus sekolah karena tak mampu lagi membayar sekolah, disamping ia harus menjaga ayahnya yang terkena stroke. Sang ibu terpaksa bekerja menjadi buruh kebun sayur di Sembalun karena sang suami tidak bisa bekerja lagi. Mereka tidak terdaftar dalam BDT dan tidak menerima PKH.

Pada tahun 2012, bank Dunia bersama Mitra Samya, lembaga nirlaba, melakukan evaluasi PKH terkait targeting PKH. Salah satu metode yang direkomendasikan adalah adanya sistem swa-lamar. Artinya, masyarakat sendiri melamar untuk menjadi KPM PKH. Ternyata uji coba di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa sistem ini berhasil menjaring keluarga yang benar benar miskin dibandingkan bila identifikasi penerima PKH dilakukan oleh pemerintah desa atau pemerintah daerah. Ini bisa merupakan opsi yang baik.

Swa-Lamar Calon Penerima Manfaat (Bank Dunia)
Swa-Lamar Calon Penerima Manfaat (Bank Dunia)
Terkait evaluasi program PKH, UNICEF dan pemerintah Indonesia sempat menunjuk lembaga yang mandiri untuk mengevalusi dampak program PKH pada upaya pengurangan stunting melalui proyek pilot PRESTASI PKH di Brebes yang diimplementasikan bersama Lembaga Kesehatan Nadhlatul Ulama (LKNU) Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI). Evalusi menunjukkan bahwa integrasi PRESTASI ke dalam PKH berhasil meningkatkan pemahaman anggota masyarakat penerima PKH tentang stunting.

PKH juga meningkatkan komitmen pemerintah untuk menyediakan dana penganggulangan stunting. Namun demikian, PKH tidak efektif untuk mengurangi kasus stunting secara umum karena kasus stunting tidak dimonopoli kelompok yang termiskin. Sementara PKH ditargetkan untuk diberikan kepada kelompok termiskin (UNICEF, 2017). Artinya, PKH perlu realistis dalam menetapkan target target, khususnya bila tidak dikaitkan dengan koordinasi dengan kementrian terkait dan tidak didanai secara memadai.

Evaluasi yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang laporannya diluncurkan pada tahun 2016 dan melibatkan lebih dari 14.000 rumah tangga di 2.700 desa dan di 316 kecamatan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan peneluaran konsumsi KPM sebanyak 4,8%.

Pengeluaran tersebut pada umumnya untuk pengeluaran pendidikan dan pengeluaran konsumsi bukan makanan. PKH juga terbukti menurunkan prosentase pekerja anak. Namun demikian, walaupun PKH meningkatkan kunjungan ibu hamil ke puskesmas, PKH tidak membuktikan keberhasilannya meningkatkan prosentase ibu hamil melahirkan di Puskesmas dan pada kunjungan pasca melahirkan. Evalusi pada 2016 itu menghasilkan simpulan yang menjadi dasar perbaikan PKH setelah 2016, yang antara lain :

  1. Dampak PKH tidak signifikan karena lemahnya proses fasilitasi, penegakan persyaratan, dan kecilnya manfaat;
  2. Pendamping mendorong pemanfaatan dana pada pendidikan anak, namun dalam hal kesehatan maternal, keterkaitan PKH dengan JKN masih terbatas;
  3. Peran dukun bayi masih besar pada saat persalinan dan pasca melahirkan dan perilaku ini perlu dirubah.

Perbaikan perbaikan dibuat sejak evaluasi 2016. Laporan evaluasi atas implementasi PKH yang dilakukan oleh National Bureau Of Economic Research dengan melibatkan 14.000 rumah tangga di 360 kecamatan di Indonesia yang dirilis pada Mei 2018 menunjukkan perbaikan. PKH dinilai menghasilkan dampak berupa insentif sesuai indikatornya, meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan dalam menolong kelahiran, menurunkan separuh dari prosentasi anak usia 7 sampai dengan 15 tahun yang tidak sekolah, dan menurunkan 1/3 pekerja anak (usia 13-15 tahun). Selanjutnya evaluasi telah mulai membuat proyeksi bahwa di dalam 6 tahun ke depan, penerima PKH akan dapat mengurangi angka stunting dan meningkatkan pencapaian angka partisipasi sekolah sampai jenjang SLTA.

Kita apresiasi upaya serius dan sistematis pemerintah untuk memperbaiki program PKH. Targeting melalui proses yang partisipatif dan transparan, perluasan cakupan, peningkatan fasilitasi dan dampingan serta koordinasi dengan program dan kementrian lain yang relevan dan berkelanjutan diharapkan akan meningkatkan efektivitas PKH, bukan hanya untuk menurunkan angka kemiskinan namun juga memutus rantai kemiskinan di kalangan masyarakat.

Pustaka:

https://www.povertyactionlab.org/evaluation/improving-targeting-conditional-cash-transfer-program-indonesia

https://www.nber.org/papers/w24670.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun