Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hormati Gurumu, Sayangi Teman

11 Februari 2019   17:00 Diperbarui: 13 Februari 2019   22:07 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image credit: graphicstock

Untuk itu, guru dapat mengakumulasi jumlah mengajar pada sekolah yang berbeda, sesuai dengan Keputusan Kementrian Pendidikan no 15 tahun 2010 terkait standar layanan minimum. Terdapat sedikit perbedaan terkait guru madrasah dan ini diatur oleh peraturan Kementrian Agama nomor 1 tahun 2013.

Studi ini menunjukkan bahwa rata rata gaji guru adalah antara Rp 2,4 juta (disebutkan oleh 3,752 responden) sd Rp 2,6 juta (disebutkan oleh 2,437 responden). Terdapat 6,4% guru yang mengatakan gaji mereka tidak terlalu rendah (disebutkan oleh 4.728 orang), sementara 9,5% mengatakan bahwa gajinya terlalu rendah (disebutkan oleh 2.870 orang). Tentu keberagaman situasi membuat kondisi juga berbeda.

Di Jayapura, saya sempat mewawancarai seorang guru SMP. Ia mengajar di sekolah katolik di Jayapura. Beliau menceritakan bahwa untuk menambah pendapatan, beliau narik ojek. Hampir tiap malam beliau naik ojek. Suatu saat beliau narik ojek dan heran karena yang ia jemput dari suatu hotel adalah muridnya. Rupanya muridnya adalah pekerja seksual. Pak guru serba salah tingkah. Sang murid memohon mohon agar hal ini tidak diceritakan kepada kawan kawannya atau kepada sekolahnya. Ini situasi yang memusingkan. 

Kompleks. Saya sempat menanyakan kepada Suster Kepala Sekolah di SMP di Jayapura terkait kegiatan ojek dan isu kurangnya gaji guru. Suster Kepala Sekolah menjawab bahwa selama tidak dalam pengetahuannya, ia tidak bisa berbuat apa apa. Namun, bila dia mengetahuinya, ia terpaksa harus menegur. Serba susah. Pekerjaan menarik ojek itu halal dan ketika guru memang membutuhkan uang tambahan ini menjadi seakan salah. 

Menjadi guru adalah suatu stres, katanya. Untuk hiburannya, ia memancing di kolam pancing kiloan. Pada kolam pancing kiloan, ia hanya membayar bila membawa ikannya dikilo ke kasir. Tetapi, untuk sekedar hiburan dan karena ia tak punya uang, maka ikan ia masukkan ke dalam kolam. Terus demikian. Hal ini saya pernah sampaikan pada artikel Membaca Bersama Gadis Gadis Cilik di Perbatasan Papua dan Papua Nugini.

Di Aceh, saya bertemu dengan ibu guru yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi guru honorer. Tentu saja kemudian ia memilih lebih aktif di koperasi kopi yang menurut dia lebih membawa semangat dan lebih menjanjikan. Namun, ia tetap pada pekerjaannya sebagai guru honorer, karena status guru dilihat baik. Soal adanya guru honorer yang bekerja lebih dari 5 sampai 10 tahun banyak terjadi di Indonesia. 

Di kota, para guru honorer yang berpendidikan sarjana S1 juga sering membantu menjadi enumerator survai yang diadakan pemerintah, misalnya terkait Program Keluarga Harapam (PKH). Di desa terpencil di Lombok Timur, seorang guru honorer yang telah bekerja selama 10 tahun mengajar 5 kelas paralel. Iapun menjadi kader Posyandu dan mewakili pak Kepala Dusun untuk pertemuan di dalam desanya. Purna waktu yang menyisakan sedikit hari saja.

Walaupun beberapa media memberitakan bahwa gaji guru honorer berpendidikan S1 adalah di bawah UMR yaitu Rp 1 juta untuk sebulan, namun di beberapa wilayah yang saya datangi, banyak guru honorer SD yang menerima gaji Rp 500.000 untuk 3 bulan. Jadi honor per bulanya adalah sekitar Rp 160.000,-. Hal ini bukan rahasia lagi. 

Gaji guru honorer sepenuhnya tergantung pada kepala sekolah. Selain dari dari dana BOS juga dari APBD pemerintah daerah setempat. Pihak sekolah memang membatasi pengeluaran untuk guru honorer karena yang mengeluarkan dana adalah kepala sekolah, bukan sekolah. Mereka khawatir akan terjadi 'temuan'.

Seorang kawan yang juga ibu guru di sebuah SMA di Muntilan, Jawa tengah sering mengeluh tentang beban belajar murid. Bergantinya sistem kurikulum yang bertambah jumlah mata ajarannya. Selain guru harus menyesuaikan diri, muridpun banyak terbebani. Persoalan persoalan kurimkulum selalu jadi momok setiap ganti tahun ajaran. 

Oleh karenanya, saya sering merasa lelah bila semua pihak mengusulkan berbagai hal soal persoalan sosial ke dalam kurikulum. Soal penangkalan hoax, soal e-sport, soal HIV/AIDS, Apa lagi? Padahal muatan atau substansi subtansi itu bisa menjadi teks mata ajaran yang telah ada dan tidak harus merubah kurikulum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun