Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketegaran Pak Kertowijoyo, Pantai Ngobaran dan Rumput Laut

26 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 26 Januari 2019   20:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Leya Cattleya untuk Klinik Fotografi Kompas

Di tahun 2013, di akhir pekan, saya mengunjungi Ngobaran. Ini karena saya mempunyai target untuk mengenal beberapa pantai di sebelah selatan di Yogyakarta.  Tentu saja ini saya ingin pula memotret.Saya melihat pantai Ngobaran memiliki tekstur pantai yang berbeda dengan pantai lain di wilayah Gunung Kidul, Yogya. Pantai penuh karang ini cukup curam dan berombak cukup besar. Mirip tekstur pantai di area Tanah Lot, Bali. Ketika saya tiba di sana, hari sudah cukup siang. Sekitar jam 10.00. Artinya, saya menyadari bahwa saya tidak bisa menghasilkan foto dengan baik.

Ada kesan mistis ketika memasuki area pantai. Ada bau kemenyan. Bangunan untuk tempat berdoa dengan nuansa Jawa dan Hindu nampak nyata. Untuk memasuki area pantai, saya perlu masuk ke area utama dengan pintu gapura. Saya melewati sebuah gapura. Ada beberapa arca disusun dengan formasi. Ada Syiwa, Brahma, dan juga Ganesha. Ada juga Wisnhu menaiki Garuda menghadap ke arah laut, ke arah selatan.  Ada bangunan mirip masjid. Juga mengarah ke selatan. Saya terus berjalan dan mengarah ke tangga menuju pantai.

Petani Rumput Laut Ngobaran (dokumentasi pribadi)
Petani Rumput Laut Ngobaran (dokumentasi pribadi)
Menuruni tangga  yang cukup curam, saya melihat dari kejauhan seorang laki laki tua sedang berjongkok di pantai. Ia nampak menyolok karena mengenakan baju putih lengan panjang. Saya terus menuruni tangga dan mendekatinya. Perlu hati hati saya berjalan di atas karang karang tempat laki laki itu jongkok. Selain tumbuh rumput laut, ombak cukup besar juga.

Pak Kertowijoyo (dokumentasi pribadi)
Pak Kertowijoyo (dokumentasi pribadi)
Setelah bertegur sapa, kami saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pak Kertowijoyo. Saya mengomentari namanya yang bagus. Ia menyebutkan usianya yang 78 tahun dan menceritakan bahwa nama itu adalah pemberian orang tuanya yang juga memiliki nama serupa, Haryowijoyo.

Wajah tua pak Kertowijoyo berwarna kecoklatan. Garis garis kesederhanaan dan keuletan ada di wajahnya. Ia bercerita soal adanya gua yang dipercaya adalah tempat Prabu Brawijaya V lari karena terdesak oleh pasukan Raden Patah.  Sambil tangannya sesekali mengambil rumput laut di kakinya dan memasukkan ke dalam keranjang rotan, ia bercderita.  "Ngobaran niku ceritane saking sejarah Prabu Brawijaya gangsal. Piyambake mlajar dioyak Raden Patah. Kalah lajeng ngobong awak. Dados kobar, kobong. Mulo wilayah mriki njuk disebut Ngobaran". (Ngobaran diambil dari sejarah Prabu Brawijaya V. Karena kalah dikejar Raden Patah, ia membakar diri. Kobar itu artinya terbakar. Maka area ini disebut Ngobaran). Sesekali, pak Kertowijoyo berdiri dan cepat berjalan berpindah tempat ketika ombak mendekatinya. Saya pelan mengikutinya. Tetap dengan pelan dan hati hati. Ombak laut Selatan seram juga walaupun kami berada di  tempat kering. Hanya sesekali percikan air sisa ombak terkena kaki.

Merenung (dokpri)
Merenung (dokpri)
Kami terus berbicara. Saya mohon ijin memotretnya. Ia tertawa "monggo mawon" (silakan).
Saya bertanya berapa kilo rumput laut ia kumpulkan setiap hari. Ia menjawab "Sak entuke, nak. Sak kuwate. Nggih, telung kilonan". (Sedapatnya. Sekuat saya. Sekitar tiga kiloan). Pelan pelan saya bertanya berapa harga rumput laut yang ia jual. Ia menjelaskan Rp 8.000 per kilo untuk rumput laut basah. Saya hitung, ia mendapatkan sekitar Rp 24.000,- seharinya dari rumput laut. "Sak cekape. Kangge nedo kalih rokok'. (secukupnya. Untuk makan dan rokok). Ia menjelaskan bahwa rumput laut ia jual ke bakul bakul di pasar. Bakul itu akan menjemurnya dan menjual rumput laut kering ke tengkulak atau pedagang sekitar Rp 10.000,-. Ia bercerita anak anaknya sudah besar dan mereka sudah sibuk dengan diri mereka dan keluarganya. Ia mencari rumput laut untuk keperluan sehari hari.


Ketika pak Kertowijoyo mulai sibuk memasukkan rumput lautnya ke dalam keranjang rotan lebih besar, saya tak mau mengganggunya lagi.  Saya berpamitan dan beringsut ke arah pantai yang lain. Sambil sesekali memotret pak Kertowijoyo dari jarak cukup jauh.

Dokpri
Dokpri
Hari sudah cukup terik ketika saya kembali menaiki tangga ke arah gapura utama. Sesekali saya menengok ke arah posisi pak Kertowijoyo mencari rumput laut. Saya lihat ia pelan masih mengumpulkan rumput laut yang tumbuh di sekitar karang. Setiap kali keranjang itu penuh, Pak Kertiwijoyo memindahkan isi keranjang ke dalam keranjang rotan besar yang dia letakkan di bebatuan karang. Sesekali ia berpindah, menghindari sapuan ombak yang mendekatinya. Hari makin siang, dan saya melihat sepasang petani rumput laut juga ada di sudut berbeda dari pantai.  Ketegaran dan senyum Pak Kertowijoyo yang di usia 78 tahun yang berjongkok berjam jam mengumpulkan rumput laut di tepi pantai laut selatan yang bergelombang besar demi sesuap nasi dan sehisap rokok tentu tinggal di memori saya.

Saya punya kesan perjuangan berat petani rumput laut. Bukan hanya seperti pengalaman pak Kertowijoyo di wilayah Yogyakarta, tetapi di wilayah lainnya.  Pada tahun 2015 saya menemui beberapa petani rumput laut dan UKM di Sulawesi Selatan. Ibu ibu berendam di pinggiran pantai memasang tali untuk budidaya rumput laut. Sebagian mereka mengeluhkan rumput laut segar dihargai murah, hanya sekitar Rp 9.000 sampai dengan Rp 14.000. Mayoritas petani masih menjualnya ke tengkulak. Pada umumnya rumput laut dijual ke perusahaan besar di Makassar. Harga yang diharapkan petani memberi keuntungan adalah pada harga Rp 18.000,0 per kilogram.

Laporan kementrian Kelautan dan Perikanan mencatat isu rumput laut adalah pada terbatasnya lahan produksi, kualitas produksi, dan juga tingginya biaya logistik. Sementara produksi ada di wilayah Indonesia Timur, proses produksi untuk menjadi produk turunan ada di Indonesia Barat, tepatnya di Jawa.Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia.

Pertanian rumput laut mensyaratkan kebersihan air laut. Adanya pencemaran laut menyebabkan produksi berkurang. Di wilayah Sulawesi Tenggara, petani rumput desa Tinanggea melaporkan terganggu mata  pencahariannya karena adanya pencemaran laut sebagai akibat dari adanya perusahaan tambang nikel PT Baula. Pencemaran ini mengakibatkan produksi berkurang dan bahkan tidak ada. Petani rumput laut jdi Arungkeke di Jeneponto, Sulawesi Selatan juga mengeluhkan pencemaran laut yang disebabkan oleh limbah tambak udang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun