Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membuang Makanan, Dampak Budaya atau Kesombongan?

21 Januari 2019   17:30 Diperbarui: 22 Januari 2019   06:34 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Beberapa hari selama kaki saya sakit pada dua minggu terakhir ini dan perlu fisioterapi berkala ke RS Telogorejo, saya tinggal di rumah adik saya, Lina di Semarang. Dari percakapan di kala sarapan dan makan bersama, saya menyadari ternyata banyak yang saya tidak tahu tentang apa yang adik saya kerjakan.

Di hari hari yang ramai acara pengantin, misalnya di akhir pekan, adik saya sibuk. Bukan untuk selalu hadir di acara resepsi pernikahan tersebut, tetapi ia bersiap untuk hadir di dapur hotel atau di perusahaan katering.  Ia siap sedia untuk menunggu dan menjemput makanan menu pesta yang masih segar hangat, yang telah dipesan terlalu banyak oleh pemilik acara pesta. Makanan dimasukkan ke dalam boks, lengkap dengan sendok dan garpu yang telah dipersiapkan. Makanan selanjutnya dikirim ke beberapa pihak yang membutuhkan. Ini ia lakukan bersama organisasi sosial yang ia ikuti sejak lama, Rotary, dan menggerakkan pula relawan untuk berbagi. Pada akhirnya, program yang dinamai 'Food Share' ini menjadi program reguler Rotary Club Pandawa Semarang. 

Lina Soeratman (foto : dokpri)
Lina Soeratman (foto : dokpri)
Karena ia tinggal di Semarang, adik saya dibantu Wangsit Event Organizer (EO) untuk membangun kerja sama dengan perusahaan katering yang memiliki harga makanan cukup mahal di Semarang. Ia menyebut nama S2 (baca Es Two). Perusahaan katering tersebut membandrol harga makanan minimal sebesar Rp 250.000 per paket untuk acara pesta pernikahan atau pesta lainnya. Ia juga membangun kerjasama dengan Hotel Po  (sebelumnya bernama Crown Plaza Hotel) di area Mal Paragon di Semarang. Kedua perusahaan tersebut, S2 dan Po, menawarkan katering yang menyasar pangsa pasar orang kaya di Semarang. Dan Lina memiliki tujuan, mengapa ia bekerja sama dengan kedua perusahaan tersebut. 

Noah Wagner, pemuda pertukaran dari Amerika berpartisipasi pada program ( foto : Lina Soeratman)
Noah Wagner, pemuda pertukaran dari Amerika berpartisipasi pada program ( foto : Lina Soeratman)
Melalui kerjasama dengan perusahaan katering S2 tersebut, adik saya menyediakan kotak makan yang diisi berbagai variasi makanan menu dari katering tersebut. Kemudian, makanan itu ia bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Bersama relawan Manda dan kawan pertukaran pemuda Rotary membagikan makanan (Foto : Lina Soeratman)
Bersama relawan Manda dan kawan pertukaran pemuda Rotary membagikan makanan (Foto : Lina Soeratman)
Karena menu layak makan tersedia setelah acara pesta perkawinan selesai, maka makanan dibagi kepada mereka yang biasanya masih bekerja di malam hari. Sebut saja, tukang parkir, tukang sayur yang mempersiapkan dagangannya di pasar, juga keluarga dai wilayah perkampungan kumuh yang biasanya masih membutuhkan makan malam. 

Food Share (Foto : Dokumentasi Lina Soeratman)
Food Share (Foto : Dokumentasi Lina Soeratman)
Jadi, apa itu Food Share? Food Share adalah salah satu kegiatan untuk berbagi makanan, yang memasukkan aspek membangun pemahaman masyarakat akan pentingnya berbagi makanan dan mengurangi persoalan pembuangan makanan. Makanan sisa pesta yang masih segar dan hangat serta layak konsumsi dimanfaatkan untuk kebaikan. Lina menyampaikan bahwa, yang menarik, S2 melaporkan bahwa bisnisnya makin baik semenjak mengikuti program 'Food Share'. Ada hubungan antara misi bisnis dan misi sosialnya.  Pasangan yang menikah dan mendonasikan sisa makanan yang layak makanpun gembira karena program dilakukan dengan terbuka dan transparan. Yang jelas, penerima makanan juga berterima kasih.

Promosi untuk tidak membuang makanan tidak harus dikaitkan dengan peringatan Hari Pangan Internasional pada 16 Oktober, karena kita memerlukan sekedar dari seremoni. Membuang makanan adalah isu sehari hari.  Isu budaya. Lihat saja, keluarga yang punya pesta pernikahan anak dan pesta ulang tahun selalu ada setiap hari. Dan, dengan kebiasaan kita yang memesan makanan berlebih, berarti membuang makanan adalah selalu terjadi. 

Adalah menarik mendengar penjelasan adik saya tentang pertimbangan mengapa ia membuat program itu. Ia prihatin pada realita bangsa Indonesia yang memiliki jutaan penduduk miskin, namun menjadi bangsa nomor dua setelah Arab Saudi, dan melebihi Amerika dalam hal pembuang makanan. Sekitar 300 kilogram makanan dibuang satu orang per tahun. Ini atinya, bangsa kita membuang makanan 23 kilogram lebih banyak dari bangsa Amerika dan 194 kgilogram lebih banyak per tahun dari bangsa bangsa Emirat Arab. Di dunia, sepertiga makanan dibuang. Dan makanan ini adalah makanan yang layak makan. Angka angka ini ada pada laporan the Economist pada Intelligent Unit 2017. Negara negara seperti Perancis dan Australia serta Afrika dicatat sebagai Negara yang relatif rendah dalam hal pembuangan makanan layak makan, yaitu sekitar 6 sampai 11 kilogram per year.Data yang ditampilkan melalui infografis oleh Barilla Center for Food and Nutrition mungkin akan menggambarkan betapa 'sombongnya' bangsa kita, dalam soal membuang makanan.  

Foto : Infografis Barilla Center for Food and Nutrition
Foto : Infografis Barilla Center for Food and Nutrition
Data FAO (2015) menunjukkan pula bahwa 1,3 miliar ton atau senilai 1 triliun dollar dibuang percuma di seluruh dunia. Secara mudah, FAO menunjukkan bahwa secara rata rata, 1/3 dari makanan ini masuk ke tong sampah secara percuma. Ini angka yang mengerikan. Adanya upaya untuk mengurangi pembuangan makanan layak makan dicatat bukan hanya mengurangi kerugian materi tetapi juga mengurangi potensi perningkatan dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh proses pengomposan makanan itu.

Dalam hal konsep, apa yang disebut sebagai makanan yang terbuang atau food waste adalah makanan yang terpaksa harus dibuang dari rantai nilai makanan karena rusak atau busuk yang disebabkan oleh kebiasaan makan, perkiraan yang salah dalam proses dan jumlah penyediaan makanan, dan juga karena abai. 

Sementara makanan yang hilang atau food loss adalah buruknya pengelolaan dan fungsi produksi dan konsumsi makanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun