Setelah kurang lebih 10 tahun puasa menonton Televisi, beberapa bulan terakhir saya terpaksa menonton kembali beberapa berita TV. Hal ini terjadi sejak adanya beberapa bencana di Indonesia. Setelahnya, saya tidak menonton lagi.Â
Selama setahun terakhir, sayapun berusaha mengurangi interaksi saya melalui Facebook. Saya masih menggunakan Instagram, khususnya untuk berbagi info terkait kerja lapang saya pada pasca bencana. Selebihnya adalah foto cucu saya.Â
Ada rasa lelah dengan media. Termasuk juga dengan media sosial. Khususnya, terkait isu politik.Â
Saya menjadi selektif dengan apa yang saya baca dan platform media yang saya gunakan. Tidak saya pungkiri, sayapun kadang kadang tergoda untuk menyenggol sedikit masalah politik, media, dan hoaks, misalnya. Tapi saya mengingatkan diri saya kembali, bahwa saya hanya membaca tulisan tentang politik yang masuk akal. Memilih membaca ulasan penulis dan kompasiner yang  membawa ulasan dengan nalar.  Â
Kelelahan itu kadang harus saya sampaikan kepada anggota keluarga, bila mereka getol membincang politik atau memutar "youtube" dengan suara. Atau, pada akhirnya, saya menghindarinya dengan melakukan aktivitas lainnya. Tenggelam dalam pekerjaan. Bersibuk ke lapang. Membaca buku. Atau, saya memilih menulis. Menulis laporan. Atau, menulis di Kompasiana di pagi hari. Â Tetap, saya membatasi apa yang saya baca dan saya tulis. Atau, sekadar ngobrol dan anak tentang cucu. Itu lebih menggairahkan.Â
Di Amerika dan Inggris, masyarakat merasa lelah dengan media. Mereka sebut "media fatigue". Jurnalis punya tantangan dalam mengelola begitu banyak persoalan dan sumber berita. Sementara, masyarakat audiens lelah dengan banjirnya konten media yang berulang, melalui layar dan platform berbeda. Tren ini diduga akan terus terjadi di tahun 2019.
Di Amerika, isu tentang kebijakan dan perilaku Donald Trump banyak dibahas. Juga, isu persiapan pemilu tahun 2020 sudah mulai menjadi diskusi. Dan masyarakat makin lelah. Seakan, tiada jeda politik masuk ruang keluarga.Â
Di Inggris, masyarakat melihat dan merasakan isu rasis meningkat sejak Brexit. Bias karena ekslusivitas atas ras tertentu dan juga bias yang tidak disadari menjadi banyak didiskusikan. (Guardian, 2019). Survei tentang bagaimana tingkat kesulitan ras kulit putih dibandingkan dengan ras kulit berwarna dalam mencari kerja dinilai sebagai gejala bias bias itu. Hal ini gagal untuk merekognisi bahwa semua ras memiliki tantangan untuk mendapatkan kerja yang terlindungi hukum.
Diskusi dan narasi dengan mengangkat nama yang berkorelasi dengan ras dan agama juga muncul. Seringkali, narasi yang muncul tidak disertai dengan konteks dan bukti bukti kuat.
Kalaupun muncul studi studi terkait adanya diskriminasi yang merugikan beberapa kelompok, terdapat pula media yang mendiskusikannya dengan bias.
Masyarakat menjadi lelah. Lelah politik. Lelah bias ras dan agama. Lelah media. Muak. Stres.