Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kekuatan Instagram yang Mengubah Hidup dan Budaya Masyarakat

11 Januari 2019   10:59 Diperbarui: 12 Januari 2019   11:36 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 17 Februari 2018, saya dan beberapa kawan kerja yang sengaja datang dari Jakarta, Bogor, dan Yogyakarta berkunjung ke Yogyakarta dan Magelang. Tentu saja acaranya adalah wisata bersama. Ada beberapa tempat yang kami kunjungi. Salah satunya adalah Taman Dewari. Taman Bunga Matahari yang kala itu baru beroperasi selama 7 hari. Taman itu terletak di Dusun Kradenan Kalikuning, Desa Baturono, Kecamatan Salam, Magelang.

Walaupun kami tiba di lokasi jam 8.00 pagi, kebun yang luasnya sekitar 2.800 m2 itu sudah ramai pengunjung. Pengunjung berjalan dan sibuk berfoto di antara bunga matahari. Swafoto maupun dibantu tukang foto yang tersedia di kebun itu. Kamera handphone menangkap wajah wajah ceria di antara bunga bunga besar berwarna kuning menyala.

Di bulan November 2018, saya menemani seorang kawan mengunjungi Taman Dewari, dan saya kecele. Harapan menemukan kuningnya bunga matahari tak ada. Wajah Taman Dewari berubah. Dari kebun bunga matahari menjadi kebun Kitiran warna warni. Ini kejutan. 

Tak kalah menarik, warna warni kitiran atau baling baling memenuhi seluruh lahan.

Taman Dewari Bunga Matahari di Februari 2018 (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Taman Dewari Bunga Matahari di Februari 2018 (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Wisatawan berfoto di antara kitiran merah, biru, kuning, keputihan. Pengunjung ramai. Tak kalah ramainya dengan pengunjung kala Taman Dewari masih menampilkan bunga matahari. Dan Taman Dewari berani mengklaim bahwa inilah Taman Kitiran pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.

Pemilik dan pengelola Taman Dawari, Beta Zanial Amirin, menyebut musim pertama, kedua dan ketiga Taman Dewari memang menampilkan bunga matahari. Namun, di musim keempat yang dimulai pada 13 Oktober 2018, Taman Dewari berubah menjadi Taman Kitiran. Kemunculan Taman Kitiran ini tentu saja mulai memenuhi wajah instagram akhir-akhir ini, karena hanya dengan harga tiket masuk sebesar Rp 10.000,- per orang, pengunjung berbahagia untuk berfoto. 

Taman Dewari bukan hanya merngubah kebun yang semula adalah tanah sawah padi dan kebun cabai menjadi Taman Bunga Matahari, tetapi juga mengubah kebun bunga matahari menjadi Taman Kitiran hanya dalam waktu delapan bulan. 

Perubahan ini tentunya berkaitan dengan beberapa hal, terutama tentang pertumbunhan bunga matahari yang memerlunya sinar matahari agar tetap tumbuh dan mekar optimal. Namun tantangan itu dijawab dengan adanya wisata yang justru beragam. Yang jelas, Taman Dewari telah membangun 'lahan' Instagram. 

"Instagrammable" 

Saat ini, restoran bukan hanya menjual makanan dan minuman. Tapi menjual sudut, menjual lantai, menjual dinding dan mural, menjual kebun dan taman, menjual lampu hias, menjual tangga. Resto menjual konstruksi, interior, dan instalasi dalam satu paket bersama makanan dalam menu. 

Restoran juga menjual cerita. Semua dikemas dalam paket restoran dengan dekorasi dan cerdas memasarkannya secara yang instagrammable. Foto yang cantik di Instagram. Secara online, panduan wisatapun menawarkan dalam kalimat yang menarik "47 Cafe Hits dan Unik Instagrammable di Yogya". Silakan click dan anda akan mendapatkan contoh-contohnya.

Soal menupun jadi pertimbangan. Starbucks yang memproduksi kopi sempat pula memproduksi minuman yang instagrammable. Unicorn Frappuchino, salah satunya. Siaran pers untuk produk baru inipun dikemas dalam cerita mistis tentang Unicorn yang bertanduk satu itu dalam cerita dongeng. Ide dari Frappuchino yang pernuh warna dengan berbagai hiasan bak cup cake ini menjadi cepat sekali beredar di Instagram pada 2017. 

Foto : Starbucks via Associated Press
Foto : Starbucks via Associated Press
Bukan itu saja, restoran perlu siap dengan menu yang berwarna dan instagrammable, untuk bisa menarik calon pembeli yang disasar. Peran desainer menjadi sangat penting untuk mewujudkan mimpi itu. Selanjutnya pengguna Instagram akan melanjutkan tugasnya. Menyebarkan promosi menjadi hit dan, restoran kecil pun bisa viral. 

Foto : Chloe by Mikey Pozarik
Foto : Chloe by Mikey Pozarik
Instagram mengubah budaya dan pengalaman masyarakat. Hal ini berlaku dalam hal makanan, olahraga, pendidikan, tempat wisata, dan juga museum. Kecepatan perubahan 'tren' yang ditayangkan oleh Instagram, pada akhirnya juga menuntut perubahan cepat serta inovasi serta kreativiitas dari layanan yang ada. Apa yang dilakukan oleh Taman Dewari adalah salah satu contohnya. 

Perkembangan budaya yang dipicu media sosial membuat Instagram mampu mendorong pengusaha menjadi kreatif, memperbarui diri, dan terus bersolek. Ini terjadi di seluruh dunia. Indonesia salah satunya.

Misalnya, Museum Ice Cream di Manhattan yang dibuka pada tahun 2016. Museum ini menawarkan berbagai sejarah Ice Cream, ruang-ruang berwarna warni bagai gelatto, gua permen, dan kolam meisjes warna warni. Museum menjadi terkenal dan membuka cabang di Los Angeles, San Francisco dan Miami. Perubahan dan penyesuaian dilakukan agar pelanggan tetap hadir. 

Meisjes yang ada di kolam museum ini tidak dapat dimakan. Bahannya bukan dari coklat seperti di istana Willy Wonka. Walau disebut sebagai museum, tempat ini lebih menyerupai dengan tempat bermain anak. Tema membuat tempat bermain ini seakan punya cerita. Interior dan permainan yang ada diciptakan untuk dapat difoto dengan indah, bila ditayang di Instagram. Instagrammable.

Kolam Meisyes - Museum Ice Cream (Foto : online.com)
Kolam Meisyes - Museum Ice Cream (Foto : online.com)
Beberapa pengamat berpendapat apa yang bisa dilakukan di museum itu terbatas. Pengunjung tidak bisa bermain di kolam 'meisjes' dan sendok pasir. Pada umumnya pengunjung hanya akan berfoto dan bergeser ke ruang lain. Pengunjung berikutnya hadir. Berfoto dan pergi. 

Dengan harga tiket sebesar US $ 38 per orang yang tentunya tergolong cukup tinggi untuk suatu tempat berfoto seoalh tak jadi masalah dan tempat seperti ini tetap dicari. 

Di Yogyakarta, De Mata Trick Eye Museum menawarkan sensasi tiga dimensi bagi pengunjung untuk berpose dengan ragam latar belakang yang tampak nyata. Museum ini disebut terbesar di dunia karena menawarkan 120 gambar tiga dimensi. Mereka mengklaim bahwa dii luar negeri paling banyak hanya 70 gambar. Pengunjung akan hadir dan berfoto. Lalu berpindah ke latar gambar berikutnya. Dan pengunjung lain akan datang silih berganti. Untuk berfoto. Tentu, sebagian darinya akan ditayangkan di Instagram. 

Salah satu foto di De Mata Trick Eye 3D Museum| Foto : Tripadvisor
Salah satu foto di De Mata Trick Eye 3D Museum| Foto : Tripadvisor
Museum Macan di Jakarta, Museum Angkut di Malang, Amazing Art World di Bandung, Museum Moja di Pondok Indah, dan Alive Museum di Jakarta hanyalah beberapa contoh lain saja.

Di dunia wisata, kita dapatkan pengguna Instagram berkunjung tempat-tempat 'mainstream', seperti Taj Mahal di India, menara Eiiffel di Paris, dan Big Ben di London atau wisatawan solo yang mengunjungi tempat eksotis seperti ke pegunungan Himalaya, dengan didampingi porter dan fotografer. Keduanya bisa 'instagrammable', dengan meninggalkan kesan yang berbeda. Berbeda bagi pemiliki akun Instagram, berbeda bagi pembacanya, dan tentu berbeda bagi pengelola wisata. 

Apa yang ditawarkan oleh museum-museum baru ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Walt Disney, misalnya. Di masa yang lalu, Walt Disney membangun area wisata dengan bentuk bangunan kota dan juga jalan jalan yang dikelilingi wahana. Bangunan dan jalan jalan itu bagaikan kota masa depan pada zamannya. 

Museum Angkut Malang (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Museum Angkut Malang (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Kekuatan Instagram mengubah hidup dan budaya masyarakat telah dirasakan melalui beberapa hal, antara lain. 

1. Mengubah dan memberi ragam standar kecantikan. Walau Instagram menuai kritik karena mendorong pengguna muda harus menyesuaikan standar kecantikan melalui aplikasi edit dan filter foto, tetapi Instagram memberi ruang bagi pengguna untuk menggali perspektif tentang apa itu cantik yang keluar dari definisi tradisional.

2. Mengubah budaya wisata. Instagram merupakan tambang inspirasi untuk wisata. Kekayaan pilihan foto lokasi wisata dan pengenalan pada tujuan wisata baru, menjadi pertimbangan calon wisatawan dalam mengamil keputusan tentang ke mana akan pergi. Ini menantang sektor pariwisata untuk melihat kembali dan menyusun strategi baru.

3. Menghidupkan gambar datar jadi fenomena. Foto still live yang semula biasa saja dapat menjadi fenomenaal, seperti pada #flatlay.

4. Memunculkan tren kuliner baru. Kopi Klotok dengan nasi lodeh, roti lapis isi alpukat, es krim arang (charcoal) hanyalah sebagian kecil dari kuliner unik yang ada dalam daftar panjang kuliner menarik yang ditayangkan oleh Instagram.

5. Menciptakan dan mengubah keseluruhan merek sosial. Instagram, pada akhirnya menciptakan dan mengubah keseluruhan merek atau branding produk menjadi merek sosial. Pengguna menjadi bagian dari proses memperkenalkan produk dan merek karena batasan perdagangan hampir tak ada di Instagram.

6. Memobilisasi gerakan aktivisme. Instagram menggerakan upaya kemanusiaan dan sosial melalu ajakan dan mobilisasi sumber daya.

7. Menciptakan kelompok ‘influencer’. Influencer yang membangun pengikut dapat memengaruhi cara pandang dan pilihan, bukan hanya pada produk tetapi juga gaya hidup. 

Namun ada komentar tentang hubungan Instagram dengan sifat narsistik dari penggunanya. LendEDU, suatu layanan marketplace berbasis di New Jersey, Amerika Serikat yang melakukan survei dengan melibatkan 10.000 orang dari generasi millenial menemukan bahwa 64% responden percaya Instagram adalah platform media sosial yang paling narsistik. 

Survai membuka pula kecenderungan pengguna yang berfokus pada diri sendiri dan memamerkan apa yang ia banggakan, seperti pekerjaan, pacar, sahabat, tubuh. dan tempat tempat yang mereka pergi dan kunjungi. Bahkan termasuk juga sekolah tempat belajar, makanan yang mereka nikmati, dan mobil yang mereka naiki.

Namun, di sisi lain, Miranda Giacomin, asisten professor untuk bidang psikhologi sosial Mac Ewan University di Kanada mengatakan bahwa struktur sosial, nilai sosial, dan budaya media berkontribusi pada bentuk perilaku kita. Ia mengatakan bahwa beberapa studi membuktikan bahwa orang yang memiliki banyak kawan dan popularitas secara online, hal tersebut menjadi kekuatan yang tertransfer di dunia offline. 

Oleh karena itu, kelompok millenial mungkin tidak akan selalu setuju untuk dikategorikan budaya Instagram sebagai bagian dari narsistik. Artinya, dalam konteks budaya media sosial, mendapatkan banyak perhatian berarti mendapatkan banyak pengakuan. Mendapatkan banyak perhatian berarti dapat menguasai media dan mendapat pengakuan serta menguasai media merupakan modal kerja. 

Penggunaannya, tentu tergantung dari pemakai. Mau apa dengan Instagram. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun