Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Saya Seven, Bu!

30 Desember 2018   12:45 Diperbarui: 30 Desember 2018   15:38 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Bergegas Membawa Anak ke Dokter (Foto : Laras Zita)

Sembalun Pasca Bencana (Foto : Zulkarnaen Syri Lokeasywara)
Sembalun Pasca Bencana (Foto : Zulkarnaen Syri Lokeasywara)
Pada 29 Juli 2018, wilayah Lombok mengalami goncangan gempa 6,4 SR dengan kedalaman 10 km pada pukul 05.47 WITA. Kerusakan terbesar dialami oleh masyarakat Kabupaten Lombok Timur. Kerusakan tersebut ditambah dengan gempa susulan 7.0 SR pada pukul 19.46 WITA di tanggal 5 Agustus 2018. 

Gempa kembali menghantam masyarakat wilayah Lombok Timur. Namun kerusakan terbesar dialami oleh masyarakat di Kabupaten Lombok Utara. Sementara masyarakat Kabupaten Lombok Barat juga terkena dampaknya. 

Gempa 6,2 SR selanjutnya menghantam kembali pada pukul 05.47 WITA tanggal 19 Agustus 2018. Kali ini ketiga kabupaten di Lombok terhempas. 

Lalu, gempa ketiga yang dengan skala di atas 6 SR ini terjadi sejak malam hari sampai pagi dini hari. Serangkaian goncangan tersebut menjadikan trauma yang berat bagi warga terdampak. Merusak dan menghancurkan rumah dan bangunan. 

Rangkaian gempa dengan skala besar di atas 6 skala richter yang berulang itu tentu membawa masyarakat trauma berkepanjangan. Tidak sedikit masyarakat yang sampai saat ini tidak berani tinggal di dalam rumah. 

Mereka memilih tinggal di bawah tenda, meski kondisi rumahnya tetap utuh. Beberapa kawan di Sembalun (Lombok Timur) yang sering menjadi pusat gempat tidak berani berada di dalam kamar mandi. Atau, mereka hanya berani ke WC dengan pintu yang terbuka lebar. Suatu saat saya tiak sengaja memergoki kawan ini sedang di WC dengan pintu terbuka lebar dan lampu menyala. 

Banyak kawan ingin melupakan sensasi gempa yang menggoyang dahsyat dan berulang itu.

Namun demikian, terdapat pula beberapa anggota masyarakat yang ingin menjadikan gempa tersebut sebagai suatu memori. Pada suatu saat di bulan September, saya mendampingi dokter Eduard, salah seorang dokter relawan dokter yang bertugas di wilayah dampingan Gema Alam NTB di Sembalun, Lombok Timur. 

Seorang ibu dengan bayi neo-natus, menyebut "Seven", ketika kami tanya nama bayinya. Karena tidak jelas, kami tanya sekali lagi siapa nama bayinya. Ia menyebut "Iya bu. Anak saya Seven, bu. Namanya Seven Skala Richter". Rupanya bayinya lahir pada saat gempa dahsyat pada tanggal 5 Agustus 2018 terjadi, dengan 7 skala richter. Ya ampun. 

Pada situasi lain, masih di wilayah Sembalun, salah seorang ibu memberi nama bayinya yang baru lahir  dengan Gempa. Gempa Agustus, lengkapnya. Bayi sang ibu diberi nama Gempa Agustus karena lahir di pengungsian, setelah gempa pada 19 Agustus 2018. 

Saya coba mencari beberapa media cetak dan online yang beredar di sekitar waktu gempa. Siapa tahu menemukan nama nama serupa. Rupanya peristiwa gempa memang membekas di antara penyintas. Seorang ibu memberi nama anaknya Muhammad Gempa Rizki (Merdeka.com). Media Pontianakpost.do.id juga menuliskan adanya nama bayi Muhammad Tegar Abdurrahman yang lahir pada pasca gempa Lombok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun