Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Etiket Mendokumentasikan Pasca Bencana

30 Desember 2018   09:18 Diperbarui: 1 Januari 2019   11:54 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Slamet Afiani, murid kelas VI SD Filial Beluk Pitung di Batu Jong menggendong adiknya sambil sekolah di kelas darurat. (Foto : Zulkarnaen Syri Lokesywara)


Bekerja di area pasca bencana tentu membutuhkan dokumentasi yang memadai. 

Dokumentasi berupa foto, video, dan catatan dapat mendukung kerja lapang dalam beberapa hal. Foto dapat dipakai sebagai bagian dari alat pelaporan kepada publik. 

Foto dapat menjadi rekaman untuk mengajak donatur dan relawan memberikan dukungan. Foto dapat merekam proses dukungan kepada penyintas, sebagai bahan pembelajaran. 

Pada saat yang sama, kehati-hatian dalam mengambil foto dan mendiseminasikannya perlu mendapat perhatian. Akhir-akhir ini, banyak komentar ditujukan kepada beberapa orang narsis yang berfoto di tengah korban bencana Tsunami Selat Sunda. Tujuannya tentu dapat diduga popularitas via media sosial. 

Suatu saat, tim dokter relawan kami di lapangan mendapati kondisi penyintas lansia yang sangat mengenaskan. Tubuh kurus berbalut kulit. Tidak mampu bergerak karena penyakit asam urat akut. Dan masih tinggal di tenda yang ala kadarnya. 

Untuk konsumsi media, foto ini sangatlah 'menjual'. Namun, kami sangat berhati hati. Foto tetap kami simpan. Foto hanya kami bagi kepada pejabat yang seharusnya membuat tindak lanjut. 

Sementara, di hadapan publik, kami hanya membagi foto lansia tersebut ketika ia sudah lebih sehat dan berada di hunian sementara yang memadai. Tentu kami perlu bekerja merealisasikan huntara tersebut. 

Pak Zainuddin, lansia yang telah membaik kondisinya dari penyakit asam urat akut dan menempati hunian sementara atas dukungan dermawan Sahabat Gema Alam (Foto ; Zulkarnaen Syri Lokesywara).
Pak Zainuddin, lansia yang telah membaik kondisinya dari penyakit asam urat akut dan menempati hunian sementara atas dukungan dermawan Sahabat Gema Alam (Foto ; Zulkarnaen Syri Lokesywara).
Mengejar popularitas di media sosial dengan mengorbankan etiket fotografi, bukanlah jalan hidup dan nilai yang dianut pekerja kemanusiaan. Itu adalah prinsip. 

Seringkali kita melihat foto rekaman puing puing dan terdapat boneka atau sepeda anak di antara puing. Mungkin foto semacam ini menyentuh dan membawa  'drama'. Tetapi, sebagai pelaku kerja kemanusiaan, hal semacam ini adalah 'menjual' bencana. Juga, foto anak kecil ingusan bertelanjang dada berlarian di antara puing. 

Mungkin saja foto semacam ini akan mengingatkan kita pada foto pemenang Pulitzer di masa Perang Vietnam. Namun, hal ini kembali berpulang kepada apa tujuan kita. Pada prinsipnya, penyintas sudah menderita. Tak perlu mereka dijual. 

Saya bersyukur hal ini menjadi nilai bersama dengan tim yang luar biasa, Gema Alam NTB, dan juga relawan Sahabat Gema Alam. Dan, pas sekali, relawan fotografer, Zulkarnaen Syri Lokesywara memiliki visi yang sama. Foto yang memberdayakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun