Mohon tunggu...
Levi William Sangi
Levi William Sangi Mohon Tunggu... Petani - Bangga Menjadi Petani

Kebun adalah tempat favoritku, sebuah pondok kecil beratapkan katu bermejakan bambu tempat aku menulis semua rasa. Seakan alam terus berbisik mengungkapkan rasa di hati dan jiwa dan memaksa tangan untuk melepas cangkul tua berganti pena".

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Resah dalam Senja di Ufuk Timur Nusantara

23 Agustus 2019   15:23 Diperbarui: 23 Agustus 2019   15:31 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : jokoway.com

Haruskah adonan yang kita buat bersama kita buang saja? Wahai permata hitam terpendam ku di timur nusantara. Haruskah sebuah bibir dan lidahnya yang panas mewakili jutaan bibir dan lidah kami dan seantero lidah putra putri ibu Pertiwi kita? Jangaaaan!! Kami tidak sama!, jelas kami berbeda! 

Sesensitif itukah kalian? Sekeras itukah inti hati permata hitam Pertiwi kalian?
Jika kalian adalah mutiara, bukankah dalam kegelapan sebuah mutiara akan tetap memancarkan sinarnya?
Sekotor dan sehitam apapun sebuah mutiara tidak akan pernah menjadikan mutiara menjadi bongkahan batu biasa bukan?

Mutiara tetap akan menjadi mutiara.
Jika kalian adalah mutiara, lantas kenapa kalian tak lagi memancarkan sinarnya? Dimana cahaya yang kalian punya?
Sudah padam kah pace? Sudah padam kah mace? 

Bukankah yang kalian lawan adalah raksasa Rasis sang pengancam negeri?
Lantas, kenapa sekarang raksasa itu yang juga sedang kalian pikul disana? 

Pace, Mace, janganlah menentang perbedaan dengan membuat sebuah perbedaan baru antara kita wahai mutiara ku yang hampir hilang.

Bukankah mata ganti mata hanya akan membuat mata semua kita menjadi buta?
Harus kata seperti apakah yang kalian mau kami ucapkan agar hati keras kalian itu paham dan mengerti bahwa kekacauan hanya akan membawa kita semua pada kehancuran bersama? 

Disini, para bibir pencela meneriakkan usir kalian pulang, dan disana kalian pun berteriak hal yang sama, namun komplit dengan kebrutalan yang merusak dan memporak poranda apa saja didepan mata.
Merusak rumah, gerobak dan warung para mereka yang tak pernah sedetik pun menganggap kalian berbeda dari mereka. 

Salahkah sebuah gerobak yang dipakai seorang pendatang untuk berjuang menafkahi anak istrinya yang rindu akan masa depan yang cerah disana?
Bukankah rumah makan yang kalian hancurkan itu hanya bertuliskan menu makanan dan bukan tentang kata hasutan untuk memusuhi kalian? 

Salah apakah mereka lantas kobaran api kalian anggap pantas untuk menghabiskan sebuah mimpi indah dari mereka di tanah yang kalian anggap hanya milik kalian saja? 
Salah apakah mereka yang datang mencari masa depan indah di tanah yang katanya kaya dan damai laksana sorga? 

Apakah hukum kasih sudah menjelma dengan wujud barunya yang memaksa kita juga harus menjadi pencela dan pembunuh dari hukum kasih yang sudah sekian lama terbina? 
Jangan berikan punggung kalian untuk memikul beban propaganda yang sedang disajikan oleh mereka yang ingin memporak porandakan sesama kita. 

Jangan berikan hati dan semangat kalian pada mereka yang ingin kalian menjadi mahkluk pembenci agar hati pengasih kalian mati berganti benci yang menggerogoti tanpa henti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun