Setiap manusia menempuh jalannya sendiri, tapi pada akhirnya semua menyimpan luka yang sama: kehilangan, kekecewaan, atau harapan yang nyaris padam. Di tengah gelap itulah, Paskah datang---bukan sekadar tradisi iman, tapi sebagai bisikan lembut yang mengajak kita untuk bangkit kembali...
Paskah dan Ziarah Kehidupan
Setiap manusia adalah peziarah. Kita berjalan dari satu musim ke musim lain, dari terang menuju gelap, lalu kembali menanti fajar. Kita tak tahu pasti arah akhir, namun kaki ini terus melangkah---entah karena harapan, entah karena keterpaksaan.
Di tengah perjalanan yang melelahkan itu, kita sering tersandung. Pada duka yang datang tiba-tiba, pada impian yang runtuh pelan-pelan, pada orang-orang yang datang dan pergi tanpa sempat kita genggam. Hidup tak pernah menawarkan peta yang jelas. Ia memberi teka-teki, dan kita diminta mencari maknanya sendiri.
Dan di tengah ziarah yang kadang nyaris membuat kita menyerah, Paskah datang. Bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai perhentian sejenak---untuk menengok ke dalam hati, menakar ulang makna perjalanan, dan mungkin, menemukan kembali alasan untuk bangkit.
Dari Salib ke Kubur: Realita Duri dalam Hidup
Terlalu sering, orang merayakan Paskah dengan pakaian baru dan senyum di wajah, tapi lupa bahwa Paskah berawal dari salib---dari penderitaan yang nyata, dari darah dan air mata. Ia bukan kisah manis. Ia adalah drama tragis tentang kesetiaan, pengkhianatan, ketakutan, dan pengharapan yang nyaris padam.
Dan bukankah itu pula yang kita alami dalam hidup?
Sebelum kemenangan, selalu ada kehancuran. Bahkan Sang Mesias pun harus melewati taman Getsemani---tempat di mana keringat menjadi darah dan doa bergema tanpa jawaban.
Kita pun begitu. Punya malam-malam Getsemani versi kita sendiri. Saat segala yang kita percaya rasanya runtuh. Saat salib tak hanya beban di punggung, tapi luka di hati.Namun Paskah hadir sebagai jawaban: bahwa kesunyian bukan akhir cerita. Bahwa kita tidak sendiri.
Kita semua punya salib masing-masing. Ada yang memikulnya dalam diam: beban batin yang tak terlihat, luka masa lalu yang tak kunjung sembuh, atau rasa gagal yang terus menghantui. Ada yang memikul salib dalam bentuk penyakit, kemiskinan, penolakan, atau pergumulan yang tak diketahui siapa pun.Â
Kadang kita seperti Yesus di Getsemani: menggigil di hadapan penderitaan yang belum terjadi, tapi sudah membuat kita ingin lari.
Namun justru di titik terlemah itulah, Paskah mulai bekerja. Ketika kita jatuh terduduk, dan merasa semuanya selesai---di sanalah Tuhan menyusun ulang kisah kita. Paskah tak pernah terjadi di puncak kemegahan, tapi di kubur sepi. Dalam senyap, dalam sunyi, dan dalam luka---terbit cahaya pertama dari kebangkitan.
Paskah sebagai Titik Balik
Kebangkitan bukanlah akhir cerita. Ia adalah awal yang baru. Sebuah titik balik, di mana yang hancur bisa dipulihkan. Yang mati bisa hidup kembali. Yang hilang arah bisa menemukan jalan pulang.