Biasanya berkawan kopi saja, dan kini bertiga dengan bunga.
Lembing diksiku ingin menulis lagi puisi-puisi yang seksi.
Hai, bukalah matamu, juga hati. Dan, hati hati.
Di sini ada potongan cinta yang masih menyala, atau setidaknya terkelupas kulitnya.
Dan padamu ada surat cinta yang tak jadi dikirim, atau setidaknya rasa rindumu di dalam yang kamu biarkan bermukim
Padaku, iya?
Aku tahu semalam bintang-bintang telah menjemputmu untuk bersatu dengan langit dan menambah keelokannya.
Itu karena keelokan jiwa dan kilau matamu yang memiliki pendar indah tak pernah padam.
Dan kau tahu sejak semalam aku menulis karya tentangmu dari berita bunga di sebelahku.
Sebab kalau bukan karenamu aku akan kehilangan gagas, canda dan panorama apa saja untuk merayu semesta.
Meskipun bumi telah kau tinggalkan, kesunyian malam tetap lautan dengan ombak-ombaknya dimana namamu bergema, membuatku berdebaran di dalam dada, selalu engkau saja.
Aku sempatkan memetik bunga, sebab itu lambangnya, tanda cinta.
Aku ingin segera menulis puisi bersama kopi dan bunga tanpa ditunda-tunda.
Setulusnya dari hati kepada yang dicinta.
Engkaulah dia, dan bunga lambangnya.
Aku harus mengatakannya sebelum kita setia sekata
Pagi sudah membawamu kembali,
Wahai yang kugandrungi.
Dan kita bertemu di atas bumi yang kegirangan akan
kehadiranmu lagi, di sini.