Mohon tunggu...
Leony Ashram
Leony Ashram Mohon Tunggu... Guru - Terlahir sebagai Wanita Itu Anugerah, Menjadi Pribadi Kuat Itu Berkah

“I'm selfish, impatient and a little insecure. I make mistakes, I am out of control and at times hard to handle. But if you can't handle me at my worst, then you sure as hell don't deserve me at my best.” ― Marilyn Monroe

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY, Mandito Ratu, dan Masa Depan Partai Demokrat

15 Januari 2020   10:40 Diperbarui: 15 Januari 2020   10:49 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah mandito ratu berasal dari khazanah Jawa yang kurang lebih berarti meninggalkan keramaian dunia (lengser kalenggahan) untuk menjadi pandito (empu/ resi) di tempat yang jauh dari keramaian. 

"Dalam tradisi politik Jawa, raja adalah pusat segala kekuasaan... Satu-satunya kekuatan yang jelas mengambil jarak dari kekuasaan cuma pandito," tulis budayawan Moh. Sobary di harian Jawa Pos (1992), 

"Ratu (raja) berumah di kraton, sedangkan pandito (empu, resi) berumah di angin, di luar struktur kekuasaan raja... Oleh karena itu, mereka ogah dikratonkan. Padepokan memperoleh porsi kekuasaan justru karena pandito tidak berkuasa secara real. Wilayah kekuasaan pandito adalah dunia moral... Pendek kata, pandito merdeka."

Tanda-tanda pak SBY mandito terbaca saat meluncurkan lagu Seruling di Lembah Sunyi di Gunung Geulis, Bogor, tanggal 1 Desember 2019. Ini persis enam bulan sejak berpulangnya Ibu Ani Yudhoyono, pendamping selama 43 tahun pernikahan. Istri dalam bahasa Jawa dikenal sebagai garwo (sigarane nyowo: belahan jiwa). Separuh jiwa pak SBY memang seperti hilang sejak bu Ani menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 1 Juni 2019.

Gunung Geulis dipilih bukan tanpa alasan. Wilayah di kab. Bogor ini terletak di lembah yang jauh dari hingar bingar. "Di lembah sunyi itu sesekali membunyikan seruling, saran dan pandangan yang baik bagi rakyat Indonesia mungkin akan mendengarkan itu," kata pak SBY (kompas.com, 1/12/19).

Pandangan yang baik ini yang kemudian antara lain muncul dalam Pidato Refleksi Akhir Tahun tanggal 11 Desember di JCC, Jakarta. Dalam pidato yang halus namun tetap tajam, pak SBY mengingatkan pemerintah tentang betapa besar harapan rakyat serta berbagai tantangan yang mesti dihadapi pada tahun 2020. 

Sebagai satu-satunya tokoh Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden dalam dua kali masa jabatan setelah reformasi, pak SBY tahu persis dinamika pada masa jabatan Presiden yang kedua, atau yang oleh sebagian pengamat sering dijuluki sebagai the second term curse.

Pandangan lain muncul saat pak SBY menulis imbauan pada pemimpin AS dan Iran (8/1/20) untuk sama-sama bersikap bijak dan menahan diri, agar dunia tidak terjerumus pada konflik yang bisa membawa pada Perang Dunia III. 

Entah kebetulan atau tidak, pada saat yang hampir bersamaan, Sekjen PBB Antonio Guterres juga berpidato awal tahun dengan pesan yang serupa. Dalam hitungan hari, ketegangan antara AS dan Iran mengalami deeskalasi dan mereda.

Tapi diluar itu semua, pak SBY memilih menarik diri dari hiruk pikuk politik nasional. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkontemplasi, menulis buku, atau kadang berdiskusi di rumah yang pak SBY-bu Ani bangun bersama di kec. Cikeas, kab. Bogor, alih-alih di rumah yang disediakan negara di Mega Kuningan, Jakarta Pusat.

Jika pak SBY mandito ratu, lalu bagaimana masa depan Partai Demokrat, yang identik dengan pak SBY sejak berdiri tahun 2001 lalu? Arahnya sebenarnya sudah terbaca jauh sebelumnya. 

Pada Februari 2018, sebagai Ketum PD, pak SBY menyerahkan panji Komando Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu pada Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Komandan Kogasma. 

"Alhamdulilah, pada hari yang bersejarah ini kami Partai Demokrat setelah secara resmi ditetapkan sebagai peserta pemilu tahun 2019, kami telah membentuk Kogasma pemenangan pemilu 2019 Partai Demokrat dan sekaligus telah mengangkat ketua Kogasma 2019 Partai Demokrat," kata pak SBY di DPP PD, Jakarta (kompas.com, 17/2/18). 

Arah ini makin jelas manakala pak SBY memilih untuk tidak memimpin kampanye PD saat masa kampanye Pilpres dan Pileg 2019 dimulai, agar bisa mendampingi bu Ani Yudhoyono yang saat itu mulai dirawat di RS. AHY sebagai Komandan Kogasma ditugaskan memimpin langsung kampanye nasional untuk pemilu Presiden maupun pemilu Legislatif.

Sebagian pengamat memperhitungkan absennya SBY dalam kampanye berpotensi menurunkan perolehan suara PD. Tidak sedikit lembaga survei yang memprediksikan Demokrat hanya memperoleh 4-5% suara nasional, bahkan ada yang mengeluarkan angka prediksi 3,5% alias tidak lolos parliamentary threshold.

Apalagi PD berada di luar pemerintahan dan logistiknya yang terbatas. Tapi hasil perhitungan suara mematahkan prediksi ini. Dibawah pimpinan AHY, PD mengumpulkan 7,7% suara nasional dan setelah dikonversi menjadi kursi di DPR RI, setara dengan 9,7%. Jika dibulatkan, ini setara dengan 10%, sesuai target yang dicanangkan pada awal kampanye.

Ketokohan AHY juga terus melambung. Setelah sempat memimpin elektabilitas dengan 37% prediksi suara dalam kampanye Pilkada DKI 2017, walaupun kemudian kalah dengan perolehan 17% suara, AHY melejit ke panggung nasional dengan elektabilitas yang stabil tinggi.

Menjelang masa pendaftaran Capres-Cawapres untuk pemilu 2019, nama AHY bertengger dalam tiga besar kandidat dengan elektabilitas tertinggi, dari berbagai lembaga survei. 

Saat itu, walaupun beredar kabar sudah dilamar salah satu paslon, AHY tergeser dalam pat-gulipat politik yang kemudian dikenal dengan istilah 'Jenderal Kardus'.

Dalam bursa menteri menjelang penyusunan kabinet, survei-survei maupun media polling, menjagikan nama AHY. Apalagi ia sempat dua kali dipanggil oleh Presiden ke Istana, usai pemilu.

Ketika akhirnya namanya tidak masuk, beredar isu kekuatan politik dibalik Presiden khawatir masuknya AHY ke kabinet seperti memelihara anak macan. 

Beredar juga kabar bahwa nama AHY diseruduk pada menit-menit terakhir, untuk memberi tempat pada dua calon dari parpol oposisi yang mendadak bersedia berkoalisi dengan pemerintah.

Toh, elektabilitas AHY tetap tinggi. Rilis lembaga survei Roda Tiga Konsultan menunjukkan pada akhir 2019, elektabilitas AHY ada di urutan kedua setelah Prabowo Subianto. Jika politisi gaek yang pada tahun 2024 nanti akan berusia 73 tahun ini dikecualikan, nama AHY muncul dengan elektabilitas tertinggi sebagai pemimpin nasional.

Dengan iklim politik Indonesia yang masih mengandalkan ketokohan, AHY praktis menjadi andalan Partai Demokrat untuk bangkit lagi dan memenangkan pertarungan pada pemilu 2024. Rekam jejaknya dalam partai tidak diragukan. 

Semangat para kader juga bangkit melihat tokoh muda ini rajin berkeliling Nusantara untuk temu kader maupun temu masyarakat. Total ada 25 provinsi dan 150-an kabupaten/ kota yang ada di seluruh Indonesia yang didatangi AHY dalam satu setengah tahun terakhir.

Jadi, walaupun pak SBY mandito ratu, PD sebenarnya tidak khawatir akan kelanjutan estafet kepemimpinan. Ini tercermin dalam aspirasi semua daerah yang menghendaki aklamasi untuk memilih AHY untuk mengisi kursi Ketum yang ditinggalkan pak SBY. Diantara semua parpol, praktis hanya PD yang sudah siap meregenerasi kepemimpinannya secara mumpuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun