Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PNS Jebolan 2008 Sangat Mencintai SBY. Kenapa?

14 Agustus 2014   23:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pegawai negeri sipil (PNS) yang berhasil masuk menjadi pegawai abdi negara itu, pasti tak pernah merasa berterima kasih pada siapa-siapa (kecuali sebagai umat beragama menyatakan syukur terima kasihnya kepada Tuhan) apabila ditanya siapakah yang telah berjasa membantunya bisa masuk jadi seorang PNS.
Pasalnya, kebanyakan PNS menyadari betul di masa lalu saat ia melamar jadi CPNS, yang berjasa itu adalah uang. Sebab, bukankah sudah rahasia umum untuk bisa masuk PNS itu harus dilicinkan dengan segepok uang pelicin, meski itu kedengaran hanya isu atau kabar bernuansa "katanya". Setiap ada penerimaan CPNS di daerah terutama, bakal riuh dengan gosip tentang tarif standar atau non standar yang harus disetor seorang pelamar agar cita-citanya mulus diterima jadi PNS. Bukan sekadar kicauan burung pula kalau sering terdengar cerita tentang orang tua yang terpaksa menjual tanah di kampung, asalkan anaknya benar-benar diterima jadi PNS. Bukankah jadi PNS itu kebanggaan bagi orang tua? Hidup masa depan anaknya terjamin, lalu ada hrapan kelak si anak bisa mencapai jenjang karir menjadi pejabat. Makanya bnyak orangtua rela berkorban berapa pun harus disetor, asalkan anaknya lolos jadi PNS.
Pada masa lalu (entahlah sekarang bagaimana), setiap penerimaan PNS, santerlah bisikan-bisikan bahwa itu musimnya sumber hoki bagi pejabat di daerah, termasuk gubernur, bupati, walikota, serta aparat yang membidangi kepegawaian. Soalnya, kalau di satu kabupaten misalnya ada kuota penerimaan 500 orang saja, kalau dikalikan rata-rata Rp 50 juta saja per orang, sudah berapa. Belum lagi kalau tarif setiap jurusan dan status ijazah pelamar berbeda. Mungkin ada yang 60 atau 70 juta per kepala.
Tak elok juga merinci lebih detail, sebab itu terkait rahasia perusahaan yang hanya diketahui pelamar dan pihak penentu soal besaran setoran pelicin tadi. Namanya juga rahasia umum. Begitu juga soal teknis pelaksanaan uang pelicin orang hanya bisa menduga-duga, kalau tak tersangkut proses tersebut. Bisa saja diserahkan langsung pada petinggi utama, bisa melalui kaki yang sudah ditugasi untuk urusan itu. Bahkan pelamar bersangkutan bisa saja tak tahu soal jumlah yang disetor, sebab yng berurusan soal pelicin adalah orang tua, saudara, atau siapa saja yang ditugasi sebagai penyetor.
Nah kita sisihkan saja dulu soal itu. Saya ingin menggarisbawahi perbedaan para PNS yang melamar pada penerimaan secara khusus tahun 2008. Mungkin masih segar dalam ingatan banyak oranng. pada saat itu adalah masa persiapan pemilihan presiden RI di mana ketika itu salah satu calon unggulan adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang maju kembali untuk priode kedua. Saat itu beredar kabar penting yang tertangkap ratusan ribu atau jutaan orang calon pelamar CPNS, bahwa testing kali ini dijamin murni 100 persen. Artinya, tak bakal ada permainan uang pelicin. Itu diperkuat penegasan-penegasan petinggi negara yang dimuat di media massa, bahwa penerimaan PNS itu dilaksanakan secara testing murni. Siapa yang berkualitas sesuai jurusan yang dipilih bisa menang. Juga diingatkan ketika itu (walau itu sepintas terdengar klise), agar msyarakat jangan terpedaya oleh oknum-oknum yang bertindak jadi calo memanfaatkan momentum untuk keuntungan pribadi. Banyak pelamar ketika itu seingat kompasianer sangat bergairah mengajukan lamaran, dibekali keyakinan bahwa testing penerimaan kali itu benar-benar murni. Maka banyak yng melamar hanya bermodal kesibukan mempersiapkan berkas tanpa dibebani pikiran harus siapkan segepok uang untuk bisa lolos.
Ada beberapa pelamar yang mengaku dengan jujur setelah terbukti lolos jadi PNS, bahwa mereka tak ada mengeluarkan sepeser uang sehingga bisa diterima. Seorang kerabat yang bertugas di Deli Serdang, dengan tegas mengatakan dirinya lolos tanpa uang pelicin. Demikian halnya Otto dan Hersima (bukan nama sebenarnya) keduanya lolos jadi PNS dari jalur vertikal (pusat), bersorak kegirangan setelah mengetahui lolos saat pengumuman. Justru ada pelamar yang ada akses kedekatan dengan pejabat teras, ternyata bisa kalah testing. " Ini luar biasa, karena saya ikut testing tanpa beban setoran uang, hanya sekadar coba nasib, eeh ternyata lolos. Sungguh saya bersyukur dan berterima ksih pada Pak SBY. Ternyata penerimaan ketika itu benar-benar murni tanpa uang," tutur Hersima terkenang keraguannya di masa lalu.
Lain lagi komen dari Juwita.Wanita yang kini sudah berumah tangga itu terus terang menyanjung SBY, karena gara-gara penerimaan PNS tahun 2008  yang diyakininya murni testing itu. ia bisa jadi PNS. "Awalnya orangtua saya pesimis, tak mungkin saya lolos tanpa uang, tapi saya bersemangat ketika itu. Maklum kami keluarga petani miskin, tanah pun tak punya untuk dijual," ucapJuwita yang kini bertugas di salah satu kabupaten.
Hersima mengaku sebagai PNS yang digaji negara, ia loyal terhadap pemimpin negara seperti SBY. Kalau bukan SBY presden ketika itu, mustahil bisa jadi PNS sekarang ini."Saya sangat mencintai Pak SBY dalam kapasitas selaku kepala negara yang saya anggap seorang pemimpin yang bijaksana dan demokratis. Beliau sudah banyak berbuat untuk bangsa ini, walau banyak orang yang justru berpendapat sebaliknya," pungkas Hersima.
Para PNS lulusan testing 2008, ingin jujur mencetuskan unek-uneknya, kiranya pemimpin masa depan pasca berakhirnya priode SBY kedua kali, adalah pemimpin yang bisa menerapkan hal serupa. Untuk penerimaan PNS, tolonglah rakyat ini jangan lagi dibebani uang pelicin untuk bisa ikut mengabdi di jajaran PNS. Karena kebanyakan pelamar yang bercita-cita menjadi PNS adalah anak-anak orang miskin dari desa.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun