Mohon tunggu...
Tyan Nusa
Tyan Nusa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Sedang Menempuh Studi Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aligori "Kertas Terbakar" Claret di Hadapan Sentimen Rasial Kala Pandemi

10 Desember 2020   13:16 Diperbarui: 10 Desember 2020   13:18 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kulturehub.com

Covid-19: Aksi rasisme terhadap warga China di tengah pandemi, restoran di Swedia pajang gambar Xi Jinping sebagai 'Manusia Kelelawar'

Diskursus perihal rasisme akan menjadi suatu tema berat, jika di awal publik cenderung menampilkan cita-cita yang birokratis dan cenderung politis. Ketika mengesampingkan maksud asali term "rasisme" kita akan sampai pada fakta yang menyingkap sisi "kebinatangan manusia." Bahwa sejarah tidak pernah sekali pun membukukan adanya solusi yang efektif bagi kecenderungan kejahatan rasial. Buktinya, asumsi dan solusi publik hingga saat ini mengalami cacat bersamaan. Ketika para demonstran penggiat demokrasi mengupayakan kepentingan mayoritas, hak-hak ras-ras marginal terabaikan. 

Iklim AS (Amerika Serikat) saat ini adalah contoh. Pandemi COVID-19 telah melahirkan prasangka anti-Asia di AS. Serangan terhadap orang-orang Asia Timur yang tinggal di AS selama pandemi menggambarkan arus anarkisme di negara multidimensional ini. Cap "Penyebar Penyakit" dipaksa menjadi alasan kala sentimen kebencian tak dapat dibendung. Mereka "diludahi, dipukul dan dikata-katai" selama pandemi. Para korban mengungkap kenyataan betapa tak nyaman menyandang identitas sebagai orang Asia ataupun China di AS.

St. Antonius Maria Claret dalam tugas kegembalaannya sebagai Uskup keuskupan Santiago de Cuba (1851-1857) gemar memerangi kekejaman rasial. Kisah-kisah hidup dan spiritualitasnya yang disajikan dalam bentuk Autobiografi mengambarkan dengan jelas spirit kemanusiaan dan kebajikan-kebajiakannya atas hidup manusia. Hal inilah yang hendak penulis bawa untuk meneropong realitas rasisme dan xenofobia terhadap etnis China (di) Amerika selama pandemi.

Terasing di Tanah Kelahiran

Menurut data United Census Buerau tahun 2015, jumlah warga keturunan China (Tionghoa) di AS mencapai lebih dari 4,7 juta jiwa. Jumlah tersebut menjadikan komunitas China-Amerika sebagai komunitas perantau China terbesar di luar Asia. Jika diurut secara global, jumlah komunitas China di Amerika Serikat berada diurutan ketiga setelah warga keturunan China di Thailand (sekitar tujuh juta) dan Malaysia (6,642.00 jiwa).

Sekitar tiga juta wisatawan yang mengunjungi AS setiap tahun berasal dari China-berbarengan dengan prasangka sentimen anti-Asia di AS yang tidak pandang bulu. Apakah seseorang mengidentifikasi diri sebagai orang Asia-Amerika? Berharap menjadi orang Amerika? atau hanya berkunjung? Kecemasan "selamanya menjadi orang asing" sudah membatin bahkan sebelum pandemi.

Rasisme adalah perkara lama badi etnis Asia di Amerika. Dimulai dengan Chinese Exclusion Act 1882. Isinya, menangguhkan imigran dan melarang pekerja China memasuki Amerika Serikat. Amandemen hukum berikutnya yaitu mencegah buruh China yang telah meninggalkan Amerika Serikat untuk kembali. Saat itu, populasi orang China di Amerika Serikat sekitar 110.000 orang. Sejak itu, sentimen dan diskriminasi terhadap orang China tumbuh subur. Kedatangan migran China tidak disambut baik oleh penduduk kulit putih. Salah satunya saat pemerintah memanfaatkan gempa bumi San Fransisco 1906 untuk membersihkan orang China dari kota tersebut.

Debbie Ma, professor psikologi di California State University di Northridge, pernah menyusun sebuah penelitian tahun 2008. Dia menemukan bahwa responden yang terdiri dari para mahasiswa AS dari berbagai latar belakang ras dan usia - lebih cenderung secara implisit menganggap Kate Winslet, aktris Inggris, sebagai "orang Amerika", dibanding Lucy Liu, bintang kelahiran New York yang memiliki keturunan China.

Dia mencatat bahwa ini adalah "beban khusus" yang dialami orang Asia di Amerika secara berbeda dari minoritas lainnya. Misalnya, "tidak ada yang terkejut ketika seorang Amerika kulit hitam berbicara bahasa Inggris dengan sangat baik," meskipun orang Afrika-Amerika menghadapi serangkaian prasangka lain.

Saat ini, beberapa orang Asia-Amerika masih menggambarkan perasaan mereka seperti "dalam masa percobaan", dan perlu membuktikan status mereka sebagai warga AS - sebuah situasi yang telah secara signifikan memburuk di tengah wabah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun