Mohon tunggu...
Leonardo Agastya Kusuma
Leonardo Agastya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang penggiat ilmu psikologi yang tertarik dalam bidang humaniora, budaya, sastra, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Stunting: Masalah Tumbuh Kembang Fisik, Psikologis, dan Sosial pada Anak Usia Dini di Indonesia

3 Mei 2025   08:21 Diperbarui: 3 Mei 2025   08:43 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stunting sebagai Masalah Tumbuh Kembang Fisik, Psikologis, dan Sosial pada Anak Usia Dini | Ilustrasi: ChatGPT & DALL-E

Hingga saat ini, permasalahan stunting di Indonesia masih menjadi perhatian besar bagi setiap elemen masyarakat, khususnya bagi pemerintah yang memiliki tanggung jawab dalam pemberdayaan rakyatnya. Stunting atau tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anak akibat gizi yang buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai, serta ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih rendah atau pendek dari standar anak-anak seusianya (WHO, 2015; Rafika, 2019). Tren stunting di Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dari 37,6% di tahun 2013 menjadi 21,6% di tahun 2022 dan ditargetkan mencapai angka 14% di tahun 2024 (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Oleh karena itu, perhatian khusus terhadap permasalahan stunting terus digalakkan oleh pemerintah.

PENYEBAB DAN DAMPAK DARI STUNTING

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan stunting, seperti faktor pendidikan, ekonomi yang rendah, pola asuh balita, jumlah anggota keluarga, dan karakteristik keluarga (Rustiyani & Susilo, 2020). Dalam kasus stunting, pendidikan berperan penting dalam memengaruhi seseorang untuk memiliki wawasan dan pengetahuan seluas-luasnya sehingga memengaruhi orang tua pula dalam menerima edukasi kesehatan selama kehamilan, seperti pentingnya memenuhi kebutuhan nutrisi ketika hamil dan pemberian ASI secara eksklusif dalam kurun waktu 6 bulan. Selanjutnya, ekonomi yang rendah dalam masyarakat berkaitan dengan kemiskinan yang berpengaruh pada kualitas gizi sehingga menyebabkan kekurangan gizi yang mampu mempengaruhi tumbuh kembang anak, khususnya dalam konteks stunting. Kemudian, pola asuh balita dalam hal pemenuhan makanan yang sehat dan bergizi juga turut menjadi faktor penyebab stunting.

Jumlah anggota keluarga juga dapat menjadi faktor penyebab stunting karena jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata. Kemudian, faktor karakteristik keluarga juga berpengaruh karena asupan yang diterima bayi sangat bergantung pada pola asuh pemberian makan yang dilakukan orang tua kepada bayi, termasuk kebiasaan makan yang diterapkan di dalam keluarga. Stunting memiliki risiko lebih tinggi dalam disfungsi psikososial jika dibandingkan dengan kondisi normal anak-anak seusianya dengan memiliki kepercayaan diri yang rendah dan berisiko pula dalam memunculkan masalah keluarga khususnya ketika menginjak usia remaja. Meskipun stimulasi perkembangan berjalan dengan baik, dampak negatif dari stunting terhadap perkembangan anak mampu diminimalisir (Rafika, 2019).

Anak-anak yang mengalami stunting melaporkan lebih banyak kecemasan, gejala depresi, harga diri yang lebih rendah, dan lebih hiperaktif secara signifikan dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami stunting. Namun, hubungan antara stunting dan fungsi psikologis yang buruk mungkin tidak bersifat sebab-akibat tetapi merupakan representasi dari lingkungan buruk secara independen memengaruhi hasil psikologis (Walker, dkk., 2007). Selain itu, anak-anak yang mengalami stunting dinilai memiliki lebih banyak kesulitan berperilaku oleh orang tua dan guru mereka, serta mereka memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang aritmatika, ejaan, membaca kata, dan pemahaman membaca dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami stunting sehingga stunting dapat menjadi faktor risiko masalah perilaku dan akademis pada anak-anak pra-remaja (Chang, dkk., 2002). Oleh karena itu, stunting memiliki dampak yang cukup signifikan pada perkembangan diri anak.

PENDIDIKAN KOLABORATIF: STUNTING DAN SISTEM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Anak usia dini yang mengalami stunting memiliki risiko gangguan perkembangan diri anak secara fisik, psikologis, maupun sosial. Untuk mengantisipasi risiko gangguan perkembangan diri anak tersebut, dibutuhkan sebuah sistem pendidikan yang mampu mengembangkan potensi anak-anak stunting sehingga dapat menekan risiko gangguan perkembangan diri pada anak usia dini di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan sistem pendidikan kolaboratif yang memadukan berbagai pendekatan untuk menyesuaikan perkembangan diri pada anak-anak stunting. Sistem pendidikan kolaboratif diciptakan untuk menunjang perkembangan anak menuju kematangan secara utuh.

Pendidikan anak usia dini pada anak stunting turut menjadi tindakan preventif terhadap dampak gangguan perkembangan pada aspek kognitif dan sosioemosinya. Melalui pendekatan behavioristik, seorang pengajar dapat membuat identifikasi stimulus-respon pada anak stunting, di mana risiko gangguan perkembangan pada anak stunting dipengaruhi oleh stimulus dari lingkungannya. Melalui identifikasi tersebut, pengajar dapat menemukan akar permasalahan sederhana dalam dinamika psikologis dan sosioemosi dari anak stunting. Setelah itu, dapat dilakukan strategi untuk memunculkan perilaku yang diinginkan dalam proses belajar secara terus-menerus atau berulang.

Selain pendekatan behavioristik, seorang pengajar dapat menggunakan pendekatan teori sosial kognitif yang menyadari tentang adanya hak otonomi individu untuk berpikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri. Pada pendekatan teori sosial kognitif terdapat istilah observational learning di mana individu melakukan modelling (meniru) beberapa perilaku hanya melalui pengamatan atau observasi terhadap perilaku model dan segala akibat yang ditimbulkan dari perilaku tersebut. Terdapat interaksi yang saling memengaruhi antara perilaku, kognitif, dan lingkungan pada diri individu. Melalui pendekatan teori sosial kognitif, seorang pengajar dapat menciptakan strategi pembelajaran yang dapat membantu anak dengan mengeksplorasi lingkungannya melalui kegiatan-kegiatan praktikal.

Selanjutnya, dengan pendekatan konstruktivisme, seorang pengajar bisa memberikan sebuah proses pembelajaran yang mengasah kemampuan kognitif dan interaksi sosial antara anak dengan lingkungannya. Melalui teori konstruktivis Vygotsky, belajar dalam pendekatan konstruktivis artinya proses secara biologi maupun psikososial. Seorang pengajar harus mampu memberikan dukungan dan bantuan kepada anak yang sedang berada di awal belajar, lalu perlahan mengurangi dukungan atau bantuan setelah anak mampu untuk memecahkan masalah dan tugas yang sedang dihadapi olehnya. Pengajar juga harus memahami konsep Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan sebuah tingkatan yang mampu dicapai oleh anak dalam melakukan perilaku sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun