Mohon tunggu...
Leonard Davinci
Leonard Davinci Mohon Tunggu... Lainnya - Ketika Aku Menulis Maka Aku Ada

Maumere - Flores - Nusa Tenggara Timur (NTT)

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Media Sosial Sebagai Tuhan

21 Juni 2019   00:50 Diperbarui: 7 Agustus 2019   22:09 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial (social media) menurut Romli (2012) merupakan media "generasi ketiga" yang termasuk dalam jenis media online (online media). Dikatakan media generasi ketiga karena media sosial muncul setelah adanya media generasi pertama, yakni media cetak (printed media) dan media generasi kedua, yakni media elektronik (electronic media). 

Sebagai media yang merupakan bagian dari jenis media online, tentu aktivitas medianya menggunakan sarana internet atau free wireless fidelity (wifi) yang sangat mobile serta memiliki jangkauan yang luas. Sehingga setiap orang bisa dengan mudah mengakses jenis media ini, bisa berkomunikasi dengan siapa saja tanpa mengenal latar belakang usia, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain asalkan bisa memiliki handphone/gadget yang sudah terkoneksi dengan fasilitas intermet/wifi. Jenis media sosial yang dimaksud adalah Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dan lain-lain.

Pada dasarnya penggunaan media sosial sebagai platform media untuk saling berkomunikasi yang bersifat horizontal, yakni komunikasi antar sesama manusia. Namun demikian, penggunaan media sosial dewasa ini bukan hanya bersifat horizontal dalam hal ini antar sesama manusia, tetapi juga sudah bersifat vertikal, yaitu antara manusia dengan Tuhan. Manusia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan Tuhan yang secara eksplisit ditunjukan melalui narasi kalimat, caption, gambar atau foto maupun berupa video. Kita bisa melihat status atau caption atau juga pada kolom komentar berupa doa, ucapan syukur, ucapan terima kasih ataupun dalam suasana lain yang mengatasnamakan Tuhan di berbagai platform media sosial. 

Sebagai contoh, ketika ada seseorang yang berulang tahun atau merayakan pesta pernikahan atau merayakan kelulusan sekolah/kuliah biasanya mengupload foto atau gambar ataupun video di media sosial dengan narasi kalimat berupa caption mengucap syukur kepada Tuhan. Sontak saja, hal ini pun mendapat respon dari teman-teman lain pengguna media sosial dengan narasi kalimat yang hampir sama, yaitu mengucap syukur atau juga berterimakasih kepada Tuhan. Contoh lain, misalkan ada yang mengalami peristiwa berduka, mungkin salah seorang keluarganya meninggal. Ketika informasi duka cita ini bertebaran di media sosial berupa narasi kalimat yang biasanya ditambahin dengan foto atau video, seketika itu juga muncul respon para pengguna media sosial berupa komentar untuk mendoakan almarhum/almarhumah yang meninggal. Belum lagi yang berkaitan dengan nuansa politik seperti pada pesta demokrasi, entah itu pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres) dan juga pemilihan kepala daerah (pilkada) baik itu pemilihan gubernur (pilgub), pemilihan bupati (pilbup) dan juga pemilihan walikota (pilwali). Orang ramai-ramai saling mendoakan di media sosial agar pesta demokrasi bisa berjalan dengan sukses, agar pasangan yang didukung/diusung bisa menang ataupun berdoa agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat. Bahkan sampai mendoakan dalam hal-hal yang kurang baik, seperti mendoakan agar lawan politiknya kalah. Semuanya ini sangat mudah kita jumpai di media sosial. 

Para pengguna media sosial atau biasa disebut netizen, dewasa ini lebih cenderung mengucapkan atau mendoakan melalui media sosial daripada harus memberikan ucapan selamat secara langsung atau mendoakan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Dalam suasana duka cita pun demikian. Orang lebih memilih mengucapkan turut berduka cita dan berdoa bagi arwah yang telah meninggal di media sosial, ketimbang datang melayat dan mendoakan secara langsung. Kalau itu tempat tinggalnya jauh atau mungkin ada halangan yang tidak bisa ditolerir, masih bisa dimalklumi. Para pengguna media sosial bahkan merasa lebih up to date dan terkesan lebih percaya diri ketika mendoakannya melalui media sosial. Uniknya lagi, mereka yang didoakan melaui media sosial pun lebih senang dan merasa lebih dihargai entah dalam suasana apapun itu.

Realita ini merupakan sebahgian contoh kecil dari dinamika yang berkaitan dengan penggunaan media sosial dewasa ini. Pertanyaannya...Apakah ini salah? Jawabannya tentu tidak. Ini adalah suatu bentuk keniscayaan dari pengaruh penggunaan media sosial. Para pengkaji media dan budaya kritis telah menggunakan beberapa pendekatan untuk memahami arti penting sosio-kultural media dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya media sebagai Tuhan dalam hal ini adalah media sosial. Para kritikus media memandang keberadaan media seperti sesosok "Tuhan" atau "agama baru" (Ibrahim, 2014). Menurut Ibrahim (2014), media telah menjelma menjadi "Tuhan kedua" atau bahkan menjadi "Tuhan pertama" yang memerintahkan jalan kebaikan dan menawarkan jalan pemecahan untuk melawan keburukan berdasarkan versinya sendiri bagi masyarakat. Tidak heran, apabila netizen terkesan lebih nyaman berkomunikasi kepada Tuhan-nya yang sangat dimuliakan melalui media sosial ketimbang berdoa secara khusuk dan khidmat berdasarkan ajaran agamanya masing-masing.

Sampai sekarang, Saya belum mengetahui apakah ada aturan khusus dari setiap agama mengenai berdoa di media sosial. Karena berdasarkan pemahaman Saya, pengertian berdoa secara sederhana adalah berbicara atau dengan kata lain curhat secara khusus kepada Tuhan dalam hal-hal yang baik, bukan hal-hal yang buruk, bisa berupa permohonan atau ucapan syukur. Dengan demikian, berdoa tidak perluh harus diumbar atau dipamer di media sosial dengan harapan agar semua orang mengetahui. Tentu, Tuhan juga tahu apa yang didoakan di media sosial, karena sesungguhnya Tuhan Maha Tahu. Akan tetapi, ketika kita berdoa melalui media sosial bukan tidak mungkin bisa mengurangi pahala serta keikhlasan doa yang kita panjatkan. Kita cukup berdoa di ruangan pribadi yang aman dan nyaman untuk memanjatkan segala permohonan serta ucapan syukur yang telah kita terima dari Tuhan.

Memang sungguh ironis generasi di zaman sekarang yang lebih dikenal dengan generasi milenial ini. Mereka lebih memilih berdoa melaui status atau berupa caption di media sosial dengan berharap pahalanya melalui likes dan amalannya dibuktikan dengan berbagai foto atau video. Oleh karena itu, Saya berusaha untuk menyadarkan para generasi milenial ini agar berdoalah sesuai dengan aturan agamanya masing-masing. Mungkin dilakukan di ruangan pribadi yang nyaman dan tertutup atau bila perluh dilakukan langsung di tempat ibadah agamanya masing-masing. Seyogianya kita harus sadar dan percaya bahwa kita dilahirkan di dunia ini berkat kuasa dan rahmat dari Tuhan, bukan produk dari media sosial.

Salam Literasi...!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun