Mohon tunggu...
Ojan Rajawali
Ojan Rajawali Mohon Tunggu... Freelance Writer -

mencoba menyederhanakan hidup tapi TIDAK ala mario teguh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

elegi bangku kayu

2 Juli 2011   08:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13095951462112583305

Ardi berdendang lirih saat membuka pintu kamar kosnya. Sapu ijuk tua di tangannya bergerak gesit mendorong debu keluar pintu. “Kamar lelaki jorok ya,” ucap Ayu padanya suatu ketika, hal yang belakangan ini membuatnya lebih rajin bersih-bersih. Diluar kamar, bangku kecil dari kayu dipindahkannya. Kembali sapu ijuk mendorong lapisan debu keluar dari teras depan. Bangku kemudian diletakkan kembali, hati-hati sekali tampaknya.

Itu bangku ajaib. Bangku yang akan membawa Ayu padanya, seperti saat pertama ia bertemu gadis itu.

“Penghuni baru ya,” Ayu bertanya di awal sore itu

“Iya, baru kemarin, mari duduk”

“Makasih, saya tinggal dibelakang, dulu kamar saya disamping sini” tangan Ayu menunjuk ruangan di sebelah kamar Ardi.

“Dulu, waktu masih tinggal disini, saya paling suka duduk dibangku ini kalau sore begini,” Ayu mengenang.

Ayu, si gadis bermata teduh. Begitulah Ardi bertemu dengannya pertama kali.Hangat, ringan, teduh, pesona, santun, sederhana, sesederhana bangku itu.

Hari ini, hari minggu. Memutar musik, mencuci beberapa potong pakaian kemudian nongkrong di dermaga tua tak jauh dari kos menjadi ritual rutin Ardi dihari libur seperti ini.

Tapi tidak kali ini.

Memutar musik menjadi pilihan satu-satunya, stok pakaian bersih masih cukup untuk aktifitas esok hari pikirnya, sedang untuk nongkrong atau mancing di dermaga, ia pun malas. “Coba umpannya diganti dengan lumut air tawar” kata bapak kos suatu hari. Ardi tersenyum mengingatnya. Kekurangan ikan bukan alasannya untuk tidak memancing hari ini.

Si gadis bermata teduh. Itulah alasan Ardi meninggalkan ritual hari liburnya. Ia menjadi semakin akrab dengan gadis itu belakangan ini.

“Nggak malam mingguan mas?” tanya Ayu malam sebelumnya.

“Malas” ucap Ardi

“Nggak ada pacar ya?” Ayu menggoda.

“Eh… biar jelek begini saya pernah jadi rebutan di kampung, tadi saja saya baru menolak ajakan nge-date dari dua cewek cantik sekaligus.”

“Wah kebetulan, kalau begitu saya duduk di sini ya, sendirian di kamar bosan”

“Kamu sendiri kenapa nggak malam mingguan?”

“Biaya nge-date mahal, bensin mahal, rokok mahal, belum lagi kalo pasangan minta makan, mana cukup gaji sebulan” Ayu melirikkan matanya kearah Ardi, bibir bawahnya tergigit, ada senyum tertahan nakal di sana. Ayu jelas ingin menggoda Ardi.

“Kasihan ya, kamu harus menanggung semua itu, kalau begitu dengan terpaksa saya izinkan kamu duduk disini,”

[caption id="attachment_120155" align="alignnone" width="300" caption="darrellmom.multiply.com"][/caption]

Ardi selesai membereskan kamarnya. Gelas berisi ampas kopi semalam kini mengepul kembali. Hangat dan harum, sehangat mentari pagi itu. Dibiarkannya pintu terbuka lebar, dimana ia bisa melihat bangku kecil berdiam dekat pintu. Disetelnya musik, petikan senar Francis Goya kali ini. Ia kemudian duduk melantai bersandar pintu. Disulutnya sebatang rokok, dijulurkannya kedua kaki, kanan menindih yang kiri, rokok dihisapnya dalam-dalam.

Suatu waktu disiang ini gadis bermata teduh itu akan muncul. Kemudian akan hinggap dibangku kecil itu, sekedar bertanya dan menertawai menu makanannya hari ini atau mengoreksi tata letak interior kamarnya seperti yang gadis itu lakukan minggu pertama kepindahannya. Minggu lalu si gadis bahkan berhasil membujuk Ardi untuk merubah tata letak kamarnya. Saat dimana Ardi mendapatkan hadiah sapu ijuk tua dari si gadis.

***

“Pagi mas,”

Ardi terperanjat, suara seorang gadis mengagetkannya.

“Maaf mas, saya mau nanya, di kos-kosan sini ada nama Ayu tidak?”

“Ayu… kulit putih, rambut panjang, lurus, dan… cantik”

“Hehehe… Iya”

“Ada mbak, dia tinggal di belakang.”

“Bisa tunjukkin kamarnya.”

“Bisa, mari saya antar.”

Ardi bangkit, disambarnya baju kaos putih diatas kasur. Kemudian berjalan menuntun gadis itu kebelakang.

“Kakaknya ya,” tanya Ardi

“Bukan, saya teman kampusnya,”

Lima kamar berderet dibagian belakang. Pintu pertama terbuka, suara televisi samar terdengar dari dalam. Empat pintu sisanya masih tertutup. Ardi terhenti tepat di depan pintu kedua. Ia diam. Suatu benda yang berat tampaknya jatuh menyesak kedalam dadanya.

“Kamar yang mana Mas?”

Suara gadis disampingnya kembali mengagetkannya.

“Oh iya, yang kedua dari ujung” Ardi mengisyaratkan dengan jarinya, lalu berbalik pergi sebelum gadis itu berucap.

“Makasih”

Ardi tak menoleh lagi.

Kamar kedua dari ujung itu masih tertutup, sepasang sandal wanita dan sepasang sepatu kulit Pantofel maskulin mengonggok di depannya.

***

Buol, 19 juni 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun