Mohon tunggu...
Lenikmah
Lenikmah Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

6 PGSD A2 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN UNISNU JEPARA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi Bimbingan Belajar pada Peserta Didik Slow Learner di Kelas Inklusif SD

3 November 2019   12:58 Diperbarui: 3 November 2019   13:04 4031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernyataan tersebut menandaskan bahwa inklusi sebuah filosofi pendidikan yang sudah mendunia, dan anak-anak berpartisipasi penuh di sekolah dan masyarakatnya adalah sebuah kenyataan. Untuk itu, paradigma inklusi sudah merupakan filosofi yang perlu dilaksanakan di pendidikan sekolah, dan inklusi sebuah kenyataan dunia tentang pendidikan yang sebenarnya. Di samping itu, inklusi adalah sebuah keharusan untuk memenuhi hak dan martabat bagi penyandang disabilities sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 19 tahun 2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilities. (Mumpuniarti,2011).

Slow learner adalah siswa yang lambat belajar, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama. (Prasetyoningsih, 2009)

Slow learner sulit untuk diidentifikasi karena mereka tidak berbeda dalam penampilan luar dan dapat berfungsi secara normal pada sebagian besar situasi. Mereka memiliki fisik yang normal, memiliki memori yang memadai, dan memiliki akal sehat. Hal-hal normal inilah yang sering membingungkan para orangtua, mengapa anak mereka menjadi slow learner. Yang perlu diluruskan adalah walaupun slow learner memiliki kualitas-kualitas, mereka tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas sekolah sesuai dengan yang diperlukan karena keterbatasan IQ mereka. Slow learner dapat diartikan anak yang memiliki potensi intelektual sedikit dibawah normal tetapi belum termasuk tuna grahita (retardasi mental).

Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tuna grahita, lebih lambat dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non-akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Fitriana,2015)

Keterlambatan dalam belajar akibat kurang progresifnya siswa sebagai pembelajar, yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah, misalnya sulitnya berkonsentrasi, kejenuhan belajar, kebencian pada suatu mata pelajaran, dan masih banyak masalah belajar lainnya. Masalah tersebut memberi dampak pada perkembangan akademis maupun perkembangan psikologis anak, yang terlihat dari perubahan perilaku anak (Panjaitan, 2017) Mengatasi kesulitan belajar sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam belajar. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengenal sedini mungkin jenis kesulitan belajar dan mencari sumber penyebab utama dan penyerta yang menimbulkan kesulitan belajar (Ahmadi, 2001). Belajar dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan (Slameto, 2003).

Upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah melalui bimbingan. Bimbingan merupakan salah satu komponen yang erat kaitannya dalam penyelenggaraan pendidikan. Kebutuhan pelaksanaan bimbingan berlatarbelakang beberapa aspek psikologis, sosiologis, kultural dan paedagogis (Panjaitan, 2017). Salah satu tindakan untuk mengakomodasi kebutuhan belajar siswa slow leraner adalah sebagai bentuk dukungan terhadap paradigma inklusif di sekolah.

Pembelajaran yang diusahakan oleh guru merupakan sebuah upaya dalam mengkondisikan siswa slow learner sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Mereka membutuhkan sajian dari guru dengan berbagai pendekatan untuk memediasi kesulitan di dalam belajar. Kondisi itu perlu diciptakan guru dengan mengembangkan desain rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa slow learner (Mumpurniati dkk, 2013). Untuk itu, penelitian tentang profil kebutuhan belajar siswa lamban belajar (slow learner) diperlukan agar supaya pengembangan desain pembelajaran sesuai dengan kondisi kebutuhan belajar mereka.

Anak lamban belajar (slow leaner) biasanya dilabel sebagai anak bodoh (borderline mentally retarded) dan Sangeeta Malik menyebut (2009: 61) "they are generally slower to 'catch 3  on' to whatever is being taught if it involves symbolic, abstract or conceptual subject matter". Selanjutnya, Sangeeta mengemukakan bahwa mereka juga memiliki karakteristik kurang konsentrasi, kurang bertahan dalam berpikir abstrak. Hal itu berakibat kesulitan untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan capaian kelompok usia sebaya.

Karakteristik belajar yang lambat itulah sebagai ciri khusus dari siswa lamban belajar, khususnya lambat belajar untuk bidang yang membutuhkan simbol dan daya abstraksi. Untuk itu, siswa lamban belajar sering lebih berprestasi di bidang-bidang non-akademis dari mata pelajaran di sekolah. Hal tersebut berimplikasi bahwa mereka membutuhkan model pembelajaran dengan mediasi sumber belajar yang lebih konkrit.

Karakteristik anak lamban belajar adalah fokus pada kemampuan belajar yang harus dilakukan secara praktek melibatkan seluruh indera, dan terstruktur dengan pengalaman sebagai mediasi konkrit hal-hal yang bersifat simbolik. Hal tersebut menjadi dasar kebutuhan belajar mereka perlu disesuaikan dengan kondisi siswa lamban belajar yang membutuhkan multi-presentasi di dalam proses pembelajaran di sekolah dasar umum. Pendidikan bagi mereka sebaiknya dilaksanakan di sekolah umum dengan penyesuaian-penyesuaian cara pembelajaran. Siswa lamban belajar mengikuti pembelajaran di sekolah umum, karena mereka masih memungkinkan untuk belajar dengan menggunakan kurikulum yang diberlakukan di sekolah umum. Penggunaan kurikulum di sekolah umum untuk siswa lamban belajar membutuhkan beberapa penyesuaian atau adaptasi beberapa aspek program pembelajaran. Adaptasi itu dikemukakan oleh Wehmeyer, Hughes, et. al. (Hallahan & Kauffman, 2003: 415-428) "have suggested too levels of curriculum modification as important in the education of students with significant cognitive disabilities: adapting the curriculum and augmentatif the curriculum".

Adaptasi kurikulum dengan memodifikasi cara penyajian, cara respon siswa dan keterlibatannya dalam belajar. Adaptasi itu merupakan inti dari salah satu aspek pelaksanaan inklusi. Selanjutnya, kurikulum augmentative merupakan tindakan dengan tidak mengubah kurikulum tetapi menambah strategi pembelajarannya. Tambahan strategi itu antara lain pada cara siswa mengatur, mengarahkan, dan siswa diijinkan juga merencanakan sendiri pelajarannya. Hal inilah yang menjadi pilihan-pilihan guru di sekolah umum untuk mengakomodasi kebutuhan belajar siswa lamban belajar (slow learner).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun