Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Calon Keluarga

13 Juni 2013   20:03 Diperbarui: 27 Februari 2019   15:47 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
adifishstudio.tumblr.com

Malam ini hebat, desisku dalam hati. Aku berada di antara calon keluarga yang hebat. Akhirnya, selangkah lagi dan mereka akan segera menyukaiku. Siapa sih, yang tidak? Aku bisa menguasai pembicaraan tanpa memonopolinya. Aku mengizinkan mereka bicara, sekenyangnya. 

Lantas seperti bidak-bidak catur, aku bisa menuju check-mate dengan cantik, tanpa membuat lawanku sakit hati. Calon ibu mertuaku mencuri pandang, terus menerus, ke arah kalung imitasiku yang menawan, atau rambutku yang berkilauan, dan yang pasti ia tak pernah puas mendengarku berceloteh mengenai negara asalku yang eksotis, keadaan politiknya, sampai keindahan pariwisata. 

Whoa.. aku sungguh ingin memuji caraku bercerita yang terlalu berkesan. Bahkan aku takut , jika semua ini jadi berlebihan dan mereka, calon ayah -ibu mertua, bahkan kekasihku tak bisa tidur lantaran terpesona pada setiap kalimatku. Terbuai. Bahkan terbawa hingga ke alam mimpi. " Jadi bagaimana mengenai masakanku ? " kata calon ibu mertuaku, memandangku cemas, penuh harap. Tentu saja aku akan memuji, tapi harus brilian. " ehm.. 

Tidak ada yang lebih nikmat dibanding membiarkan irisan daging  ini meleleh lembut di mulut, kemudian ditambah ledakan kecil dari lada hitam yang tak terlupakan. " Dia tersenyum puas. Tersipu. Aku berhasil. Menggelikan, mengingat irisan daging yang paling lunak di dunia pun harus dikunyah terlebih dahulu, tidak langsung lumer begitu saja. 

Memangnya kau pikir apa? Cokelat? Calon ayah mertuaku rupanya tergila-gila pada filsafat. Dia bercerita tentang filsafat Cina, mengapa bangsa Cina menerapkan filsafat dalam kehidupan sehari-harinya tanpa mereka sadar, bahwa yang dilakukan oleh mereka adalah berfilsafat. " Lantas, apakah kau tahu, bahwa bisa saja kau tidak sadar bahwa saat ini, kita sedang berfilsafat ?" Aku tak tinggal diam. 

Calon ayah mertuaku harus tahu bahwa aku pernah..ya..setidaknya membaca mengenai literatur semacam itu beberapa kali. Aku tidak bilang aku menguasainya, bahkan tidak sama sekali. Tapi aku tahu. Dan yang terpenting, aku lebih tahu bagaimana cara mengolah kata-kata. Jadi, aku memberinya umpan, agar ia bercerita lebih semangat lagi, lebih bahagia.. 

Dan ia akan mengenangku sebagai lawan bicara yang menyenangkan, memberi apa yang ia mau di saat ia lapar perhatian. Sempurna. Kekasihku mengatakan ini sudah saatnya pulang. Oh, mereka akan kehilanganku, calon menantunya. Yang manis, pintar, berkelas.. Aku mencium pipi dan memberi mereka pelukan hangat. Mereka menyukaiku. Itu jelas. 

Siapa sih yang tidak? Aku tak pernah merasa sehebat ini. Seperti presentasi rapat yang sukses. Kekasihku patut memberiku ucapan selamat atas keberhasilan pertemuan pertama ini. Tepat, ini bagaikan pemutaran film perdana yang tahu-tahu sudah meraup untung besar. Ketika aku berjalan menuju pintu keluar, kudengar sayup-sayup mereka berbicara. Pasti mengenaiku. Mereka terkesan. Terbuai. Itu pasti. 

Mereka akan bersyukur pada Tuhan, malam ini ,untuk seorang calon menantu yang hebat. Aku menghentikan langkahku. Sepertinya mereka betul-betul membicarakanku. Mereka mengucapkan namaku. Sungguh tak tahu malu. Bahkan sebelum aku pergi calon ayah dan ibu mertuaku sudah memujaku. Kudengar baik-baik, apa yang mereka katakan tentangku. 

Untuk itu aku harus mundur, berjingkat-jingkat beberapa langkah. Itu suara calon ayah mertuaku yang gila filsafat. Seharusnya dia memikirkan hal-hal lainnya, karena pembicaraannya membuatku bosan setengah mati. " Jadi kau benar-benar akan menikah dengan gadis itu ?" Pertanyaan itu ditujukan untuk kekasihku yang mengira aku berada di ruang tamu, menunggu. Hey, pap. Itu bukanlah pertanyaan yang tepat. Kira-kira begini. Jika ada peluang emas menghampiri seseorang, apakah dia akan bertanya : apakah aku akan mengambil peluang emas itu? Sementara dia berpikir, maka peluang emas telah berubah menjadi perunggu. 

Maka, seseorang tak layak mengajukan pertanyaan, melainkan pernyataan.. Seperti : kau pasti sudah gila kalau membiarkan gadis itu lepas darimu, nikahi dia minggu ini juga! Tapi kekasihku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Bodoh. " Menurut papa? " " Kepalsuannya benar-benar membuatku ingin muntah." kata calon ayah mertuaku yang langsung disambut dengan tawa. Tawa calon keluargaku. ----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun