Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sepiring Marshmallow Bakar & Soal Aljabar

26 Juni 2013   11:03 Diperbarui: 27 Februari 2019   15:44 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua gadis itu, Tia dan Lola, sama-sama menelungkupkan dirinya di atas hamparan karpet persia cokelat muda. Di depan mereka ada puluhan lembar kertas yang berserakan, dengan coretan rumus aljabar, sepiring marshmallow bakar dan dua botol limun dingin. Bora, seekor kucing savannah tidur bergelung di sudut ruangan. Kamar Lola terasa begitu mewah untuk Tia. 

Gadis itu menyadari sesuatu, bahwa mereka memang sama-sama berusia 16 tahun, tinggal di kota  yang sama, memiliki warna rambut yang sama, tapi adapun perbedaan yang sangat menyolok adalah persoalan ekonomi. Tia berasal dari keluarga sederhana, yang harus bertahan dengan kamar sempit dan selimut tipis setiap harinya. 

Tidak ada karpet persia tebal, kucing impor yang dia kira anak macan tutul, bahkan tidak ada  kasur berkualitas dengan sprei berwarna putih, handuk-handuk putih dan semua peralatan mandi serba putih yang berkata dengan sopan "kami cukup higenis" - untuknya. Lupakan saja. Tapi siang ini sepulang sekolah, Lola menggamit tangan rapuh Tia, masuk ke dalam Pontiac lantas meluncur cepat melintasi jalan-jalan kota menuju sarang paling elit yang pernah ia tahu. 

"Aku tak akan pernah bisa gembira dengan semua hal ini." Lola menunjuk pekerjaan rumahnya, sambil memasang tampang merajuk, entah pada siapa. Mungkin pada guru aljabarnya yang gila pe-er. Dan mungkinkah Tia,gadis jenius di sebelahnya, mau menyelesaikan sebagian persoalan dalam hidupnya: yaitu masalah eksakta, yang tak berkesudahan? Kecuali kalau Lola telah berhasil menamatkan pendidikannya, memberi selembar ijazah yang tergulung dengan pita biru dengan nilai-nilai cantik, lantas kedua orangtuanya akan tersenyum puas dan mempersilahkannya untuk menjadi apa maunya. Artis teater. 

Ratu kecantikan. Grupis? O, tidak, bukan grupis. Orangtuanya akan marah besar. Meski gadis itu tergila-gila pada grup musik, bukan berarti ia bisa berkeliaran dengan bebasnya, dari satu karavan ke karavan lain, atau dari konser ini ke konser itu. Konser yang dipenuhi sorakan, kembang api, raungan gitar atau gebukan drum, yang pasti tidak ada pe-er aljabar di situ. " Bukankah sejak satu jam yang lalu aku telah memberimu contoh soal yang paling sederhana? " sahut Tia sambil tercengang. 

Ia tak pernah percaya pada seseorang yang tidak menyukai aljabar. Karena bagi Tia, aljabar dan pelajaran eksakta lain adalah seperti keripik jagung dan  popcorn di bioskop, akan jadi bosan jika hal-hal itu tak ada dalam hidupnya. Lola menggeleng lemah, lalu mengeluarkan suara erangan yang panjang. Jika seseorang mendengarnya, pasti akan langsung tahu kalau gadis yang mengerang itu sedang putus asa berat. 

Lola berpikir lagi atas alasan mengajak gadis canggung yang jenius itu ke rumahnya. Ia bahkan membatalkan acara sore bersama Zoom, sebuah perkumpulan gadis-gadis kaya di sekolahnya. Bukankah semua itu demi Tia ? Dan Tia harus menyanggupi keinginannya, sebagaimana keinginan Lola yang lain selalu terlaksana. 

Ia tak cukup pintar untuk eksakta atau hampir semua pelajaran di sekolah. Tapi bukan berarti 'alarm telah menyala'. Lola masih cukup cerdik mengatasinya. Atau cukup licik? Dan Lola tahu, bagaimana menggiring seekor domba jinak untuk masuk ke perangkap serigala. Tapi tentu saja Lola tetap tak setuju jika ada yang menyamakannya dengan seekor serigala, meski kini ia menyeringai lebar di balik punggung Tia. 

Persis seekor serigala. " Tia, kau tahu, hidupku bukan untuk ini.." ujar Lola dengan raut wajah sedih seorang anak yang kehilangan mainan. Tia mengangkat alis dengan gerakan ekspresif. Hidupnya justru untuk 'ini' yaitu soal-soal rumit, rumus-rumus canggih, yang mungkin saja mengantarnya pada bangku universitas ternama dengan beasiswa penuh, suatu hari kelak. "Kau baru mengajakku bicara hari ini, dan ternyata cukup mengejutkan." Sahut Tia, masih terheran-heran. 

Lola menatapnya beku karena ia tak tahu, mengenai yang dikatakan gadis di depannya barusan sebuah hinaan, atau bukan? Apakah secara tidak langsung, Tia mengatakan bahwa ia terkejut sekali mendapati temannya ini sangat bebal dan bodoh ? Tapi bukan itu masalahnya. Lola harus menahan kesabaran untuk menggiring domba yang satu ini. "Kehidupanku adalah kontes kecantikan, teater, balet dan musik. Kau tak bisa membayangkan betapa berbakatnya aku dalam semua itu, Tia manis." Lola meringis sendiri mengucapkan kalimat tadi. Ia bahkan tidak lulus dalam ujian balet klasik tingkat pertama, tidak pernah mendapatkan peran penting dalam pertunjukan drama dan tidak bisa memainkan alat musik sama sekali. 

Dan mengenai kontes kecantikan, ia pernah memenangkan beberapa kontes yang sangat tidak bergengsi. Agak memalukan untuk bercerita mengenai keadaan yang sebenarnya. Tia ber-ohhh panjang sambil menarik dirinya agar lebih dekat pada gadis cemerlang di hadapannya. Lola yang selalu menarik, dengan lipgloss berkilau, rambut ikalnya yang terurai, kalung berbandul balerina mungil, jam tangan Michael Kors, sabuk lucunya.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun