Kompasiana - Kisah Aisyah dan Bagas bermula seperti syair puitis.
Pertemuan tak sengaja di perpustakaan kampus, di antara rak-rak buku tua yang berbau harum dan debu, menjadi awal dari segalanya.
Tatapan mata mereka bertemu, sebuah koneksi tak kasat mata terjalin di antara deretan judul-judul klasik. Â
Bagas, dengan senyumnya yang menawan---senyum yang mampu mencairkan es di kutub utara---dan kecerdasannya yang memikat, berhasil menaklukkan benteng pertahanan Aisyah. Â
Obrolan mereka mengalir deras, membicarakan Kafka, Dostoevsky, dan mimpi-mimpi mereka yang terpatri dalam lembaran-lembaran buku. Â
Mereka jatuh cinta, Â cinta yang terasa seperti puisi indah, penuh metafora dan irama yang memukau. Â
Tawa mereka bergema di setiap sudut kampus, Â janji-janji manis mereka terukir di bawah langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Â
Aisyah merasa seperti terbang, melayang di atas awan, Â dunia terasa sempurna, Â hanya ada Bagas dan dia.
Â
Namun, seperti kebanyakan dongeng, realita menghantam keras. Â
Dunia fantasi mereka perlahan runtuh, digantikan oleh kenyataan yang pahit. Â
Bagas, yang dulunya selalu ada, Â selalu menjadi tempat bersandar Aisyah, Â mulai berubah. Â