Hukum positif akan bertaji jika digali dari unsur kearifan lokal. Saya simpulkan demikian, karena faktanya demikian. Sayang birokratik otoritarian melunturkan makna kearifan lokal itu sendiri.
****
Pun halnya polemik berkaitan dengan aturan tata kelola lobster yang muncul ke permukaan publik, salah satunya karena Pemerintah belum sepenuhnya mengkaji dan mempertimbangkan aspek sosial-kultur yang berlaku pada masyarakat pesisir. Termasuk perangkat hukum lokal/adat, yang mestinya jadi dasar hukum positif yang dibuat Pemerintah.
Dalam konteks hukum, mewujudkan masyarakat yang mampu ADS (Atur Diri Sendiri) adalah bukti bahwa hukum tersebut efektif. Demikian sebaliknya.
****
Maka, pada faktanya justru hukum sosial yang berlaku di masyarakat lokal/adat termasuk hukum tak tertulis lebih banyak ditaati ketimbang hukum positif.
****
Saya berkali sampaikan bahwa pemilik hak dominan atas pengelolaan sumber daya ikan adalah masyarakat lokal/adat. Bukan korporasi besar. Maka hak masyarakat lokal/adat betul betul harus dihargai, karena merekalah yang berhubungan langsung dengan sumber daya. Mereka lebih tahu bagaimana memanfaatkan, dan melestarikan atas dasar nilai nilai moral kearifan lokal.
****
Belajar dari Kearifan Lokal
Saya disini mencontohkan sebuah unsur kearifan lokal yang ada dalam hukum masyarakat lokal/adat. "Awig-awig" adalah aturan lokal yang berlaku pada masyarakat adat sasak (Lombok) dan Bali. Di Lombok, "Awig-awig" dijadikan sebuah norma dalam mengelola sumber daya perikanan. Pengaturan tangkap berdasarkan musim dan ketentuan lainnya yang mengikat secara sosial menjadi sangat efektif dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian. Penghargaan terhadap sumber daya dan lingkungan adalah hal mendasar yang berlaku secara turun temurun.
***
Persisnya, sebenarnya hukum positif tak perlu ada, karena masyarakat lokal/adat sebagai objek justru telah memiliki hukum sendiri yang mereka gali dari sumber sumber kerarifan lokal. Kata "arif" mengandung makna kebijaksanaan dalam menempatkan keseimbangan tiga pilar utama sustainability yakni ekologi, ekonomi dan sosial.
****
Sekali lagi, Pemerintah mestinya memupuk nilai nilai ini agar tumbuh subur di zona zona sumber daya perikanan. Atau ekstrimnya Pemerintah mesti belajar banyak bagaimana inisiatif pola pengelolaan sumber daya perikanan ini dilakukan. Pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan pada musim musim tertentu, memberikan jeda waktu sumber daya ikan untuk recovery dan memulihkan kondisi seimbang, sehingga siklusnya terus berjalan. Konsepsi ini, akan sangat efektif jika diterapkan dalam konteks pemanfaatan sumber daya lobster.
****
Pertanyaanya bagaimana jika korporasi besar berkepentingan mengelola sumber daya yang ada?
****
Menjawab itu, Pemerintah pasti memilih jalan untuk mengeluarkan hukum positif yang sentralistik itu. Padahal hemat saya, korporasi besar bisa terlibat dalam memanfaatkan kue sumber daya, dengan catatan harus melalui masyarakat lokal dan bersedia mematuhi aturan lokal/adat. Sayang, setiap korporasi tujuan utamanya meraup untung dan itu wajar. Ketidakwajaran bisa nampak, saat sumber daya tak lagi terasa manis.
Wallahualam