Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut (Makroalga) sebagai Karbon Sink

24 Juni 2018   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2018   14:20 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : generasibiologi.com

Laju peningkatan tahunan dari konsentrasi CO2 di atmosfir secara global semakin besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1995- 2005) yaitu rata-rata 1,9 mg/L per tahun (IPCC, 2007). 

Terjadinya peningkatan emisi gas CO2 dan gas rumah kaca (green house gas/GHG) lainnya ke atmosfir secara terus-menerus telah berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim (Nellemann et al., 2009). Faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dapat berupa faktor alamiah maupun aktivitas manusia yang menyebabkan peningkatan emisi CO2 ke atmosfir yang berdampak pada terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi.

Konsentasi gas rumah kaca disebabkan oleh manusia dalam pembakaran fosil ,dan industri modern yang menyumbangkan emisi karbon ke atmosfer dalam jumlah yang besar. 

Data menyebutkan bahwa emisi CO2 di dunia meningkat dari sebesar 18,3 milyar ton CO2 pada tahun 1980 menjadi sebesar 27,0 milyar ton CO2 atau rata-rata meningkat sebesar 1,6% per tahun. Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2 yang terbesar, yaitu mencapai 21,9% dari total emisi CO2 dunia pada tahun 2004, diikuti oleh China (17,4%) dan India (4,1%). Sedangkan Indonesia hanya menyumbang emisi sebesar 1,2% dari total emisi CO2 dunia. Meskipun Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi, namun turut serta berinisiatif melakukan strategi untuk menguranginya

Rekomendasi konferensi perubahan iklim di Nusa Dua -- Bali pada kenyataannya telah menempatkan sub sektor perikanan budidaya (akuakultur) disamping sebagai penggerak ekonomi, namun disisi lain sangat berperan penting dalam aspek lingkungan khususnya dalam mengantisipasi perubahan iklim akibat pemanasan global.

Pada sector energi, kita bisa lihat bahwa  konsumsi batubara justru semakin meningkat seiring kebutuhan listrik yang juga naik. Data kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di Indonesia periode 2015-2019, menncapai 35.000 megawat, dimana dalam 10 tahun ke depan PT. PLN (Persero) berencana menambah pembangkit listrik berkapasitas 70 gigawatt (GW), yang 60 persennya menggunakan batubara (sumber : www.duniaindustri.com). 

Jika dihitung berdasarkan kebutuhan listrik nasional, maka emisi CO2 Indonesia akan meningkat hingga menjadi 383 juta ton pada tahun 2024, dari nilai tersebut sebesar 87 persennya atau sekitar 333 juta ton berasal dari pembakaran batubara. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri, khususnya jika menyangkut komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi

PLTU merupakan pembangkit  listrik yang mengandalkan energi dari hasil pembakaran batubara, sehingga PLTU merupakan salah satu sumber emisi karbon yang sangat besar. Menurut hasil kajian 9 lembaga riset internasional tentang energi ( ExternE, UK SDC, Univ. of Wisconsin, CRIEPI (Japan), Paul Scherrer Inst., UK Energy Review, IAEA, Vattenfall AB, dan British Energy ), gas karbon dioksida yang dikeluarkan oleh PLTU Batubara berkisar 755 -- 990 kgCO2/MWeh . Ini berarti bahwa untuk menghasilkan 1 megawattjam (MWh) energi listrik, PLTU Batubara akan melepas karbon dioksida sekitar 755-990 kg.

Berdasarkan angka tadi, jika saya ambil contoh, misalnya total kapasitas listrik PLTU Tanjung Jati B Jepara saat ini sebesar 2.640 MW,  maka jumlah emisi karbon yang ditimbulkan oleh seluruh PLTU Batubara selama 1 jam adalah sebesar 1.993 ton per jam atau lebih kurang sebesar 17,46 juta ton CO2 per tahun. Merupakan nilai yang sangat besar, sehingga perlu adanya upaya dalam meminimalisir emisi CO2 tersebut ke atmosfer.

Salah satu poin hasil Konferensi "Perubahan Iklim di Nusa Dua - Bali, sumberdaya rumput laut disebut-sebut sebagai salah satu media yang paling potensial dalam mengantisipasi pemanasan global. Rumput laut dinilai jauh lebih ampuh menyedot CO2 dari atmosfer bumi dibanding tumbuhan di darat. 

Chung Ikkyo seorang ahli lingkungan dari Korea Selatan, dalam presentasinya menyebutkan bahwa proses kerja penyerapan CO2 oleh rumput laut / ganggang laut sama seperti tumbuhan di darat. Rumput laut menyerap CO2 melalui proses fotosintesis dan membentuk biomassa dengan kemampuan dalam menyerap CO2 bisa lima kali lebih besar dibanding tumbuhan di darat. Hasil penelitian tersebut didukung oleh para ilmuwan dari 12 negara (Arif,2010).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun