Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Urgensi Pengadilan Ad-Hoc Tindak Pidana Lingkungan

19 Mei 2018   10:31 Diperbarui: 19 Mei 2018   10:46 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: AFP Photo / Chaideer Mahyuddin

Dalam beberapa bulan belakangan ini sebuah media nasional mengangkat isu terkait pencemaran DAS Citarum yang berada pada level sangat kritis. Bukan hanya mengancam ekosistem DAS, cemaran juga berpotensi mengancam keselamatan jiwa karena faktanya akumulasi logam berat juga ditemukan pada komoditas pangan yang di tanam masyarakat di sekitar DAS.

Penulis rasa kasus ini merupakan tragedi. Ya. Penulis menyebutnya sebagai tragedi, karena jelas mengancam keberlanjutan mahluk hidup, manusia utamanya. Ironisnya lagi, tragedi itu justru nampak jelas dipelupuk mata kita termasuk para pemangku kebijakan dan terus berjalan selama bertahun-tahun hingga detik ini.

DAS Citarum hanya satu dari ratusan bahkan ribuan kasus lingkungan hidup yang berujung pada konflik horisontal, dan lagi-lagi masyarakat kecil menjadi korban. Tak ada keadilan, karena nyaris penyelesaian masalah mandeg bahkan kalaupun ada keputusan selalu melukai rasa keadilan masyarakat. 

Alasannya beragam dan klasik : "lemah dalam pembuktian fisik".. apalagi kasus-kasus tersebut hampir secara umum menghadapkan perusahaan besar vs kelompok masyarakat.. ya, layaknya Buaya vs Cicak. Tak berimbang..!!

Penulis tak menampik bahwa dalam kontek kasus lingkungan hidup selalu berhadapan antara kepentingan Ekologi versus Ekonomi. Tak perlu disampaikan siapa yang menang? Karena kita sama sama tahu, dan sudah jadi rahasia umum. Fenomena ini terus bergulir dan menjadi preseden buruk hingga kini.

Liat saja misalnya, kasus seperti reklamasi teluk Jakarta, kasus pembangunan pabrik semen di pegunungan kendeng Rembang, tragedi tumpahan minyak Montara di Laut Timor beberapa tahun lalu dan masih banyak kasus-kasus lingkungan lainnya. Penyelesaian berlarut-larut. Ada yang bilang kasus terlalu rumit dalam pembuktian. Ya, betul memang rumit, penuh liku-liku karena memang dibuat rumit. 

Alasannya apa? Ya tadi perang kepentingan Ekonomi versus Ekologi. Tak menampik, jelas sikap anthroposentris sangat mendominasi dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan sumber daya alam dan lingkungan.

Apa yang disampaikan Prof. Sonny Keraf dalam bukunya "Etika Lingkungan Hidup" seharusnya membuka mata dan mata hati kita bahwa alam juga punya hak asasi layaknya kita manusia yang katanya berakal.

Melihat berbagai fenomena di atas, mestinya kita harus sadar sesadar- sadarnya bahwa masalah lingkungan ini telah mencapai titik nadir, dan sudah menjadi masalah global. Sumber daya alam dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang harus dikelola secara berkelanjutan. 

Maka dalam pengelolaannya harus ada etika. Indonesia sebagai basis sumber daya alam harus segera diselamatkan dengan merubah pola pola pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan arif dan bertanggungjawab. Jika tidak, hancurlah harapan bangsa ini ke depan.

Suatu ketika saat penulis mengikuti paparan Prof. Adji Samekto Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang, beliau sampaikan pentingnya Indonesia membentuk lembaga peradilan khusus yang bersifat ad-hoc yakni Pengadilan Khusus Lingkungan sebagaimana Pengadilan Tipikor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun