Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Globalisasi Itu Telah Renggut Keperawanan Desaku

17 Mei 2018   05:17 Diperbarui: 17 Mei 2018   05:16 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi, saat ini semuanya hilang, pasar tradisional itu tergantikan dengan telah menjamurnya swalayan-swalayan mini milik para konglomerat!

Lihat, disetiap pojok perempatan jalan desaku! Tak ada lagi suasana hiruk pikuk masyarakat yang berbaur bercengkrama seperti dulu. Jajanan tradisional tergantikan oleh roti-roti keju yang bahan bakunya impor itu, sayur mayur, lauk-pauk, bumbu-bumbu masak, dan makanan minuman yang asing itu justru saat ini menjadi satu-satunya yang disediakan di swalayan itu

Dulu warung kecil milik Mak Onah dan lainnya menjajakan sembako dan kebutuhan sehari-hari masyarakat kampung, kini sudah tak ada lagi. Katanya sudah tutup karena tak mampu bersaing dengan swalayan itu. Saat ini, Mak Onah kembali menjadi buruh "tandur" di sawah, bahkan dengan tubuhnya yang renta itu.

 Sungguh ironis, masyarakat desaku dengan terpaksa  menjadi konsumen atas barang-barang yang sebenarnya asing itu! Masyarakat harus dipaksa memiliki jiwa konsumerisme diatas ketiadaan kemampuan daya belinya. Inikah globalisasi itu? Inikah liberalisasi itu? Inikah ukuran kemajuan negeriku?

Dulu, para petani dengan mudah menjual hasil panennya walaupun dengan hasil yang tak seberapa. Tapi kini, seiring semakin melonjaknya biaya produksi karena harga pupuk dan lainnya yang selangit itu, justru mereka terbungkam oleh akses pasar yang tak menentu. Hasil produksi petani lokal lambat laun harus tersingkir oleh merebaknya produk pertanian impor yang dijajakan oleh swalayan-swalayan milik asing itu.

Jikapun, aku dengar harga cabai, bawang merah dan lainnya saat ini tengah naik berkali lipat, tapi faktanya kenaikan harga dan nilai tambahnya tak mampu dirasakan petani. Yang meraup kenikmatannya adalah para kartel, para pengepul dan tengkulak itu. Lantas? Inikah bukti hadirnya negara atas nama pemberdayaan itu? Atas nama kedaulatan dan kemandirian pangan itu?

Kemana kalian pada saat para petani menjerit karena harga hasil panen turun? menjerit karena harga pupuk terus melonjak? menjerit karena produksinya gagal? menjerit karena terlilit utang oleh para tengkulak dan lintah darat? menjerit karena daya saing dan posisi tawarnya menurun sebagai akibat membanjirnya produk-produk impor itu? Ah, aku dongkol, benar-benar dongkol...!

****

 

Di hulu sungai besar itu, dulu tumbuh pohon--pohon picung (nama lokal) besar tinggi menjulang, dimana pohon - pohon itu adalah sumber serapan air, dan bahkan mata air itu seolah tak pernah surut sepanjang tahun sebagai sumber air minum dan kebutuhan sehari-hari masyarakat desa.

Air sungai ini, dulu mengalir dengan derasnya hingga melewati musim kemarau, bercabang mengikuti selokan-selokan yang mengalir menuju sawah-sawah, menuju ladang-ladang dan kolam-kolam ikan, menuju tempat-tempat pemandian umum. Sekarang, saat ku pandangi sungai yang mengular ini, aku mendengar hanyalah gemercik air yang ada bukan lagi suara arus sungai seperti dulu. Air sungai ini rupanya telah surut! Saat ini masyarakat didesaku hanya mengandalkan air hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun