Ku habiskan separuh hidupku ini di sebuah desa kecil yang jauh dari Ibu Kota Kabupaten bahkan ke Kota Kecamatan Sekalipun. Ya. desa masih melekat sebagai habitat bagi orang-orang termarginalkan.
Sawah-sawah dengan petakan berbentuk terasering melingkari bukit-bukit, dimana di bawahnya mengalir sungai besar nan jernih tak tercemar, batu-batu besar menjulang bertebaran di tengah sungai, di bagian hulu sungai dan disekililingnya tumbuh pohon-pohon besar menahun, tak pernah kami kekurangan air sepanjang tahun. Sebuah karunia dan nikmat Tuhan terkasih yang tak terbeli.
Bagiku sebagai orang desa saat itu, kebahagiaan tak bisa diukur dari seberapa banyak materi, namun, setiap bangun pagi, kicauan burung-burung di belakang rumah, gemercik air selokan berpadu dengan paduan suara kodok di sawah yang tengah menguning membentuk sebuah sistim harmoni alam yang setiap saat menjadi pelipur bagi kami masyarakat desa.
Kalian tahu, bapakku adalah manusia tiada duanya, perjuangannya untuk menghantarkanku agar mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik sungguh begitu besar.
Perjuangan melewati jalan terjal, betapa dari pagi hingga sore menjelang bahkan hingga larut malam, harus berjibaku menyusuri hutan mencari batang bambu untuk dijual dengan harga yang tak seberapa agar aku esok hari dapat membayar uang SPP sebagai kompensasi mengikuti ujian sekolah, mencari rumput dan daun-daun liar untuk makan dua ekor kambing harta kami itu, memetik pucuk-pucuk pohon paku (sejenis pakis) untuk dijual sekedar untuk membeli lauk dan seliter beras, menjadi kuli angkut batang kayu, menjadi buruh tani pada tuan tanah.
Aku terkadang selepas sekolah atau pada saat libur turut serta membantu bapakku, menjadi buruh angkut kayu, atau menjadi kuli bangunan. Bukan apa-apa, aku ingin merasakan apa yang tengah bapakku rasakan dan semuanya ku lalui penih dengan suka cita.
 Tak sia-sia apa yang telah bapakku perjuangkan lewat kerja keras yang tulus, lewat do'a ibuku yang setiap sepertiga malam terakhir selalu bangun hanya untuk menunaikan shalat malam, mendo'akanku dengan air mata harapan, saat ini aku telah  dapat mandiri dan memiliki keluarga kecil. Duh, rasanya aku belum memberikan kebahagiaan sebagai kompensasi atas jasa keduanya.
Bapak dan ibuku adalah sumber inspirasiku melebihi apapun di dunia ini, bahkan aku tak mungkin mampu membalasnya walaupun dengan segenap jiwa ragaku sekalipun.
Sungguh, betapa harmoni alam yang setiap pagi, sore dan malam hari kami lihat dan kami dengar di desa itu, telah mengubur dalam-dalam rasa lelah dan tergantikan oleh kebahagiaan dan harapan, begitulah yang kami dan masyarakat desaku rasakan dalam keseharian perjalanan hidup.
Kini, setelah tiga puluh empat tahun, dimana separuh terakhir ku habiskan perjalanan hidupku sebagai seorang perantau di kota-kota, tak tahu rasanya aku begitu rindu dengan suasana desaku, rindu teman-teman masa kecilku, rindu keramahtamahan dan rasa kegotongroyongan yang melekat pada orang-orang desa itu, dimana di sini aku tak sedikitpun merasakan suasana seperti itu.
Di Ibu kota ini, ku habiskan perjalanan hidupku ini dalam suasana kehidupan sosial masyarakatnya yang hedonis, dan individualistik. Sebuah perjalanan hidup yang tak efisien karena waktuku dan hampir seluruh orang di kota ini telah dihabiskan di jalanan yang macet, di kantor dan di tempat tidur. Lalu, kapan aku dan mereka dapat berinteraksi dan berbaur dengan sesama? bahkan untuk mendidik anak-anaknya saja mereka serahkan pada orang lain. Ah jujur saja aku bosan dengan semuanya...!