Mohon tunggu...
Lazu
Lazu Mohon Tunggu... Administrasi - Games Addict

Games Addict

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendewakan Agama

9 Oktober 2017   12:16 Diperbarui: 9 Oktober 2017   12:59 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agama, menurut etimologi, berasal dari kata sansekerta, berasal dari kata "a" dan "gamma", yang berarti "tidak" dan "kekacauan". Ringkasnya, agama secara etimologi berarti tidak ada kekacauan. Beberapa orang mengatakan agama memiliki arti pedoman hidup, penuntun menuju kebenaran, dan pegangan menuju kehidupan yang damai.

Di dunia saat ini, ada banyak macam agama. Di Indonesia sendiri, agama yang diakui secara resmi adalah Budha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, dan Kristen. 6 agama tersebut tidak termasuk dengan aliran kepercayaan asli Indonesia yang masih dianut oleh beberapa suku pedalaman dan aliran lain di seluruh dunia.

Ditengah banyaknya agama dan aliran kepercayaan, tentunya membuat orang bertanya "manakah agama yang paling benar?", dan itu merupakan pertanyaan yang sangat subjektif. Kaum Muslim tentu menyatakan Islam-lah yang paling sempurna. Jawaban itu tentu dibantah oleh kaum Nasrani dan umat agama dan kepercayaan lainnya.

Tentunya semua agama dan aliran kepercayaan akan menyatakan bahwa ajarannya yang paling sempurna. Namun, apakah persamaan dari banyaknya agama dan aliran kepercayaan tersebut? Apakah perbedaan yang mencolok di setiap agama dan aliran kepercayaan itu membawa kebaikan atau keburukan?

Semua agama dan aliran kepercayaan tidak pernah mengajarkan tentang keburukan dan saling membenci diantara sesama ataupun umat lain. Tidak ada satupun ayat di kitab suci masing-masing agama yang menjelaskan tentang menciptakan permusuhan. Jikalau ada seseorang ataupun sekelompok orang yang menciptakan permusuhan, siapa yang layak disalahkan?

Kasus seperti itu membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang tersebut tidak mempelajari agama ataupun aliran kepercayaannya dengan baik. Mereka hanya mempelajari ilmunya dengan emosi dan tidak sepenuh hati. Maka, hasil yang didapat adalah kebencian semata.

Sungguh merupakan sebuah hal aneh ketika masih ada permasalahan yang disebabkan oleh konflik agama di zaman orang bisa memesan ojek secara online ini. Sudah terlalu banyak contoh bagaimana perbedaan agama bisa mengacaukan segala struktur dan kultur suatu lingkungan. Apakah yang menebar kebencian seperti itu layak disebut sebagai manusia?

Langkah untuk meredam permasalahan sejenis itu ada berbagai macam. Pertama, kita bisa kembali merenungi dan mempelajari kembali agama dan aliran kepercayaan yang dianut. Pepatah menyatakan "semakin berisi semakin menunduk". Orang yang mempelajari agamanya secara dalam tidak akan banyak menimbulkan kebencian.

Kita bisa belajar dari Buya Syafii Maarif. Ia pernah mengalami masa yang tidak menyenangkan ketika ia berlawanan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, beliau tidak serta merta percaya bahwa kebangkitan komunis yang selama ini didengungkan akan terjadi, dan antipati terhadap korban G30S. Dalam beberapa kasus konflik selama ini, Buya Syafii Maarif menunjukkan sikap bijaksana yang menjunjung tinggi terciptanya perdamaian.

Berikutnya adalah tidak menganggap bahwa agama yang dianut adalah yang paling benar. Kita boleh memiliki rasa bangga dan percaya kepada agama yang kita anut. Tetapi, jangan sampai itu membuat kita merasa bahwa agama kita adalah sempurna, dan yang tidak sama dengan kita adalah salah.

Ingatlah bahwa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, agama, dan kepercayaan lokal. Sungguh tidak elok ketika kita terlalu membanggakan agama kita sendiri dan merendahkan agama lain. Bagaimanapun, Sila ke-3 mengajarkan kita tentang persatuan atas nama Indonesia. Kita berada dalam naungan Bhineka Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun