Dialog kecil boleh dikata diskusi dengan rekan yang nun jauh di tanah Mangkasaraka. Diselingi gelak tawa lewat perantaraan aplikasi booming.
Bombastik menurutku, kami pun bercuap-cuap tentang budaya menulis. Sebuah kata sepakat pun terjadi tanpa melalui diskusi alot. Tanda setuju itu penekanan pada perlunya mulai menulis.
Akan ada mamfaatnya,minimal sebagai penambah kredit naik pangkat. Gerakan literasi pun digalakkan bukan cuma pada siswa. Guru pun harus jadi pioneer.
Hitungan 3 buku terbit ber ISBN,maka 12 kredit aman untuk melaju ke golongan selanjutnya. Jikalau demikian kenapa tak mencoba menggoreskan pena dalam coretan-coretan yang berbekas.
Coretan yang akan menimbulkan luka yang teramat dalam. Tak akan sembuh dalam hitungan hari. Maksudnya ketika sebuah buku hasil karya terbit,kita tak akan dilupakan orang. Ada karya goresan yang tetap ada walau orangnya telah terkubur. Maka ketika teman itu memberi inspirasi di sore yang cerah,aku bertekad. Kapan lagi ?
Bicara mutu,tak usahlah galau. Namanya penulis pemula tentulah beda dengan penulis kawakan. Yang jadi keraguan,ketika berpikir pena ini akan kugoreskan kata apa. Mungkin saja kata itu takkan berkembang jadi sebuah kalimat. Memulai dan memulai adalah tips yang tepat.
Pada akhir diskusi itu,jaringan kepenulisan perlu dibentuk agar mewadahi siapa saja yang tertarik bergelut di literasi. Sungguh jaringan ini bermamfaat untuk pengembangan profesi seorang guru. Dimulai dari daerah sekitar istilahnya daerah pinggiran. Sebagai penutupnya. Semuanya bermula dari hal kecil untuk menjadi besar. Maka spirit literasi dalam jaringan akan menguatkan tekad.
Sama di awal,maka akhirnya ini adalah kata-kata terakhirku dan kujadikan sebagai penyemangat untuk dapat terus berkembang.