Mohon tunggu...
Darwis Kadir
Darwis Kadir Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Spionase

3 Maret 2018   15:15 Diperbarui: 3 Maret 2018   15:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

         "Engkau seorang mata-mata!"tuduhku dalam hati padamu ketika itu. Engkau hanya diam dengan tatapan biasa kepadaku.Tentunya sikapmu begitu karena ini umpatan dalam hati saja. Ekspresi dirimu membuatku semakin geram. Ingin kutinju rasanya mukamu yg kurasa semakin tak bersahabat.

Tak familiar lagi. Kau  lantas tersenyum dan tampa mengharapkan senyum balasan,kau memintas pergi.Kutatap punggungmu sampai menghilang ketika tembok kelas menghalangi pandangangku. Ruangan guru masih sepi,ketika aku dengan perasaan dongkol terus membolak-balik buku.Entah buku apa karena aku tak memperhatikan sampulnya,dan isinya pun tak kumengerti.

Lonceng tanda istirahat berdentang,para siswa berhamburan keluar. Entah mencari panganan atau sekedar bertemu dengan teman dari kelas lain.Beberapa penjual sibuk menarik perhatian siswa umtuk membeli dagangannya.Ada penjual es,aneka kue,cilok dan bakso.Satu persatu teman-teman guru berdatangan dengan gaya masing-masing.Ciri khas golongan  Oemar Bakri dengan perangkat pembelajarannya entah buku atau  entah hasil ulangannya siswa.

Mereka menyapa ketika bertatapan mata denganku.Kumengangguk sekenanya.Kalian tak ubahnya dengan dia.Tuduhku!.Tak ada rasa solidaritas sesama teman seprofesi.Laporan yang sering menyudutkan tentang ketidakhadiran mengajar.Omong kosong.Kalian hanya mau menyelamatkan diri sendiri dengan menumbalkan orang lain.Kumenatap melalui jendela,mentari mulai menggelontorkan panasnya.

 Kuberanjak ke ruang tata usaha.Kosong.Tak ada orang apalagi bunyi mesin ketik.Entah kemana  lagi petugas ruangan ini.Mesin ketik tua yang di pajang telah jadi saksi bisu kerajinan dan disiplin mereka sebagai abdi negara.Komputer yang mesti di pajang namun ketiadaan listrik berkata lain.Lemari tua nan berdebu dengan tumpukan-tumpukan peta yang mulai rombeng ulah tikus-tikus yang rakus.

Peta kadaluarsa negara indonesia yang masih ada provinsi Timor timurnya.Bel berdentang kembali.Para siswa berlarian kembali ke kelas.Saya melirik jam yang menempel di tembok.Kusam.Semenjak pertamakali di cat,tak pernah lagi ada cat sesudahnya.Pukul 10 lewat 40 menit.

Pagi telah beranjak dan menyapa kehadiran siang.Mentari itu terus menggelontorkan panasnya.Seakan menyaingi rasa amarah terpendam  yang menggelora.Membakar gedung-gedung tua yang penuh rayap itu. Hatimu sedang panas !.Jangan turuti emosimu,sela sang malaekat yang selalu mendapingiku di sebelah kanan.Bakar,lempari atap-atap nan bolong itu ! toh memang sudah hancur.

Lanjutkan,hancurkan !.Seakan tak mau kalah mengompori otak logisku.Setan itu merayu dan menggoda nuraniku yang kalap.Ingat,kamu mahluk sempurna di muka bumi ini, kenapa mau berbuat kerusakan ? pikir baik-baik sebelum bertindak. Suara itu kembali menyadarkan dan mencoba menanggulangi bisikan si setan.

 " Astagfirullah!" desahku tersadar saat itu. Sang malaekat memenangkan pertarungan ini.Pertarungan baik dan buruk berakhir. Kebaikanlah jadi pemenangnya.Berjalan menenulusuri lorong-lorong kelas. Mendengarkan para guru menerangkan materi pembelajarannya. Dari kelas lain terdengar gema suara pak Ahmad Idrus. Suaranya memang paling besar di antara teman-teman guru yang lain,maklum badannya yang paling besar. 

Dari besar badannya itu pula yang berimbas pada keegoisannya pada teman-teman lain. Saya teringat ketika dia hampir berselisih paham dengan pak Halal,ketika itu Ahmad Idrus menempati ruangan kelas yang harusnya ditempati pak Halal mengajar hari itu. Namun pak Ahmad Idruslah yang kemudian masuk di ruangan kelas itu. Merasa dilecehkan pak Halal tidak terima.

 " Ini ruangan tempat saya mengajar pak!" dengan suara tersekat menahan perasaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun