Mohon tunggu...
Lava Ranu
Lava Ranu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Universitas Pendidikam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Metaverse: Aksesibilitas, Keragaman, Kesetaraan, dan Kemanusiaan

22 Mei 2022   01:19 Diperbarui: 22 Mei 2022   01:24 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metaverse. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Teknologi berkembang bagaikan virus dari hari ke hari tanpa henti. Benda-benda canggih tak masuk di akal yang dulu hanya menjadi bayang-bayang belaka kini sudah berada di depan mata --bahkan berada di genggaman kita. Informasi kini sangat mudah didapat, begitupun dengan berkomunikasi. Dulu mengakses informasi dan berkomunikasi membutuhkan waktu yang cukup lama yang bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Informasi adalah yang sangat mahal pada saat itu, namun dengan inovasi yang ditawarkan dalam bentuk teknologi, segalanya berubah lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisien. Berbagai inovasi yang ditawarkan dan diberikan oleh perusahaan berbasis teknologi membuat masyarakat takjub --ada yang tercengang, dan skeptis dengan apa yang ditawarkan. Seperti baru-baru ini yang dicanangkan dan sedang dalam proses pengembangan oleh Mark Zuckerberg, yaitu metaverse.

Mark Zuckerberg yang terkenal karena membuat Facebook di tahun 2004 itu memutuskan mengganti nama perusahaannya menjadi Meta. Perubahan itu bukanlah tanpa alasan, nama Meta dipilih karena mewakili harapan masa depan usai melewati sederet masalah yang dihadapi Facebook dan aplikasi media sosial lainnya. Menurut situs resminya, Meta akan berfokus membawa metaverse ke dalam kehidupan dan membantu masyarakat terkoneksi, menemukan komunitas, dan mengembangkan bisnis. Dituliskan juga dalam situs resminya, metaverse akan terasa seperti penggabungan pengalaman bersosial media saat ini yang terkadang diperluas secara tiga dimensi atau diproyeksikan dalam dunia fisik. Hal ini membuat kita merasakan pengalaman yang 'imersif' dengan orang lain walau kita tidak sedang bersama --bahkan bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata.

Gagasan ini terdengar menarik dan sangat segar. Pasalnya saat ini banyak ditemukan masyarakat yang tidak peduli terhadap dunia nyata dan hanya berfokus pada dunia maya saja. Benar, mereka bisa berhubungan --berkomunikasi hingga menemukan dan membuat koneksi dengan orang-orang yang saat ini lokasinya jauh dari mereka. Namun, banyak dari mereka lupa untuk berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata yang membuat mereka menjadi acuh. Berkomunikasi --bersosial media-- seperti saat ini membuat kita mendekatkan yang jauh namun membuat yang dekat menjadi jauh. Dengan hal yang ditawarkan oleh Meta tentang metaverse, hal ini mungkin tidak akan terjadi lagi.

Sebenarnya, istilah metaverse muncul dalam novel fiksi saintifik berjudul Snow Crash yang ditulis oleh Neal Stephenson. Metaverse merupakan penggabungan dari kata "meta" (melampaui) dan "verse" dari kata "universe" (semesta), menunjukan bahwa generasi selanjutnya dari Internet yang mana didalamnya pengguna --sebagai avatar-- dapat berinteraksi dengan orang lain, dan software aplikasi dalam ruang tiga dimensi (3D). Di dalam film bergenre serupa --Ready Player One--  ditunjukkan bahwa kita dapat 'menjelajahi' metaverse dengan beberapa teknologi seperti head-mounted display (HMD) untuk rendering Virtual reality (VR), penginderaan dimana-mana, umpan balik haptic, dan pemodelan dunia fisik yang menghadirkan peluang layak bagi publik.

Meskipun metaverse adalah dunia virtual, yang dianggap sebagai komputasi yang berpusat pada manusia (human-centered computing), hal itu justru menunjukan dampak positif yang signifikan pada dunia nyata, terutama dalam hal aksesibilitas, keragaman, kesetaraan, dan kemanusiaan. Dalam artikel yang ditulis oleh Xiao Wu dkk tentang metaverse, dalam hal aksesibilitas berdampak sangat baik, khususnya selama pandemi COVID-19 yang meledak di tahun 2020. Banyak kegiatan yang harus ditunda selama masa pandemi, namun metaverse dapat memberikan aksesibilitas yang baik untuk melayani kebutuhan sosial yang berbeda. Bukti yang dapat diambil adalah Universitas California, Berkeley yang melaksanakan upacara kelulusan di dalam sebuah game Minecraft  di tahun 2020. Selain itu, di dalam Fortnite terdapat macam-macam kegiatan virtual yang dilaksanakan setiap harinya, salah satunya adalah konser Travis Scott.

Dalam hal keragaman, dunia nyata tidak dapat mengintegrasikan berbagai elemen di satu tempat untuk memenuhi kebutuhan setiap orang yang berbeda --kita dibatasi pada keterbatasan fisik (seperti faktor geografis, bahasa, dll). Namun, metaverse memiliki ruang ekstensi yang terbatas dan transformasi 'mulus' yang dapat meraih keragaman dengan efektif. Terdapat beberapa skenario menarik yang dapat dibuat di metaverse, sebagai contoh Animal Crossing membuat kampanye presiden untuk Joe Biden, dan juga mahasiswa dari Universitas Stanford yang membuat pameran untuk poster-poster yang mereka buat di Second Life. Tak hanya sebatas itu, di dalam metaverse kita dalam melakukan berbagai hal seperti belajar --seperti di sekolah, berbelanja, memelihara hewan dan lainnya.

Sama halnya dengan keragaman, dalam hal kesetaraan manusia semestinya mengedepankan hal ini untuk perdamaian, tapi faktanya dalam kehidupan nyata kesetaraan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ras, jenis kelamin, kecacatan, dan kekayaan. Di metaverse, setiap orang dapat membuat avatar mereka dan mengontrol kekuatan yang mereka punya untuk membangun masyarakat yang adil dan berkelanjutan. Sebagai contoh dalam Axie Infinity --sebuah semesta yang terinspirasi dari Pokemon-- dimana setiap orang bisa mendapatkan token melalui gameplay yang terampil  dan kontribusi ke ekosistem, juga mengenalkan mekanisme organisasi desentralisasi dimana pemegang Axie Infinity Shards dapat mempertaruhkan token mereka melalui dasbor staking dan berpartisipasi dalam suara pemerintahan.

Terakhir, dalam hal kemanusiaan yang merupakan semacam kepedulian manusia terhadap diri sendiri yang bersifat universal, yang diwujudkan dalam hal pemeliharaan, pengejaran, dan kepedulian terhadap harkat, nilai, dan nasib manusia. Di masyarakat, manusia menghargai berbagai fenomena spiritual dan budaya yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya sebagai warisan kemanusiaan. Metaverse dapat menjadi pendekatan yang sangat baik untuk komunikasi dan perlindungan budaya. Misalnya, metaverse telah memasukkan perlindungan peninggalan budaya. Peninggalan budaya mengalami pelapukan selama bertahun-tahun, peninggalan-peninggalan di dunia fisik ini rapuh dan kemungkinan mudah rusak oleh kerusakan buatan manusia atau bencana alam. Notre Dame de Paris terbakar pada tahun 2019, menyebabkan kerusakan serius pada bagian kayu katedral. Untungnya, Ubisoft merekonstruksi Notre Dame de Paris sebagai model 3D digital di Assassin's Creed Unity, yang akan digunakan untuk mendukung rekonstruksinya. Di Cina, Arsitek Nasional & Cthuwork telah melakukan upaya besar untuk merekonstruksi peninggalan budaya Cina sebagai model voxel 3D di Minecraft, yang berisi bangunan, seperti Forbidden Cit, dan lukisan terkenal, seperti Qingming Shanghe Tu (Mendaki Sungai di Festival Qingming). Di metaverse, rekonstruksi digital peninggalan budaya tidak hanya terjadi di mana saja di dunia, tetapi juga dapat memberikan bukti untuk restorasi peninggalan.

Perkembangan teknologi yang semakin cepat dan canggih membuat kita dapat melakukan berbagai hal yang sulit dilakukan. Metaverse hadir, menjawab, dan akan menghadirkan itu semua dengan lebih 'nyata'. Dengan metaverse, banyak hal baik yang dapat dilakukan, mulai dari hal yang berkaitan dengan aksesibilitas, keragaman, kesetaraan, dan kemanusiaan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan di satu tempat saja --mungkin di rumah, atau di kamar kita sendiri. Kita dapat mengetahui sejarah, berinteraksi sosial, dan mengasah kreativitas dalam ruang 3D yang mempertemukan kita dengan banyak orang.

Referensi

  • Mahesa, P. (2021, November 8). Ini Alasan Mark Zuckerberg Ganti Nama Facebook Menjadi Meta. retizen.id. Retrieved May 20, 2022, from https://retizen.republika.co.id/posts/16326/ini-alasan-mark-zuckerberg-ganti-nama-facebook-menjadi-meta#:%7E:text=Sebelum%20menciptakan%20hal%20yang%20luar,Facebook%20dan%20media%20sosial%20lainnya.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
    Lihat Metaverse Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun