Mohon tunggu...
Laurentia Acyuta Amaranggana
Laurentia Acyuta Amaranggana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Musik, lagu, menyanyi, menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesetaraan Gender Dari Sudut Pandang Seorang Remaja Katolik

29 Agustus 2022   08:30 Diperbarui: 29 Agustus 2022   08:49 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Adrian Agpasa: https://www.pexels.com/photo/women-praying-solemnly-12146443/

Sebagai seorang remaja Katolik yang tinggal di lingkungan sosial cukup terbuka, tak sedikit masyarakat sekitar masih dibaluti pemikiran konvensional yang mengekang perkembangan bangsa yang sudah merdeka. Apakah kemerdekaan semata-mata formalitas tanpa adanya modernisasi paradigma rakyat? Rantai marginalisasi perempuan Indonesia telah diakhiri oleh para pahlawan wanita hebat dengan adanya emansipasi wanita yang terus berevolusi. Sayangnya, masa-masa kelam tersebut masih membekas sampai saat ini. Perempuan masih saja dikesampingkan, dirundung, dan dimanfaatkan. Kesetaraan gender perlu ditekankan untuk membentuk masyarakat yang berakhlak mulia dan menumbuhkan bibit-bibit generasi muda yang memajukan bangsa. 

Kesetaraan gender identik dengan pilihan hidup yang terbatas dan pelecehan seksual bagi perempuan yang tidak melulu hadir secara fisik, namun dapat menjelma dalam bentuk verbal maupun sosial yang seringkali tidak kita sadari. Para pelaku memiliki motif watak manipulatif; secara implisit mengancam korban untuk memenuhi keinginan mereka yang menjadi dalih bertambahnya kasus. Pengalaman pribadi saya sebagai seorang saksi dan korban, tak heran lagi jika melihat dan mendengar adanya perlakuan di sekitar saya yang tidak senonoh seperti sentuhan fisik sepihak, penyeretan korban pada hal-hal yang merusak hidup mereka seperti pergaulan atau seks bebas, penggunaan narkotika dan alkohol yang membunuh, bahkan, saya sendiri sering dibuat kurang nyaman dengan tatapan, sentuhan, dan sahutan yang mengarah pada diri saya dengan konteks seksual. Miris mengingat saya masih remaja, tetapi banyak sekali hal yang sudah saya ketahui dan alami dengan mata kepala saya sendiri sejak usia dini. 

Pelecehan seksual bukanlah hal baru yang nyatanya telah tumbuh turun temurun dalam budaya kerajaan dan penjajahan yang meneruskan ideologi superioritas pria. Namun, seringkali korban yang justru dikambing hitamkan oleh warga. Membedah kasus-kasus berdasarkan penelitian para ahli, perempuan yang tegas melawan dan menolak dengan pendirian kuat hampir tidak mengalami pelecehan seksual. Penampilan dan usia juga menjadi faktor timbulnya kasus yang seharusnya bukan menjadi masalah karena kebebasan berekspresi dan beropini dalam negara demokratis, namun, terwujudnya kasus justru didorong oleh pola pikir pelaku yang menyimpang sebagai akibat dari pengaruh lingkungan, pergaulan sosial, serta kurangnya edukasi dan kedekatan dengan Tuhan. Pasca pubertas, ketertarikan terhadap lawan jenis meningkatkan rasa penasaran pelaku untuk memanifestasi fantasi mereka. Media sosial yang menjadi platform untuk membuka diri dan berbagi pengalaman pribadi justru menjadi tempat beredarnya informasi yang terselundup dalam situs dewasa ilegal yang memperkenalkan remaja pada pornografi. 

Segala bentuk kekerasan termasuk pelecehan seksual sangat tidak dikehendaki oleh Gereja Katolik karena merupakan tindakan amoral dan dosa besar. Dalam hal kesetaraan gender, kerap terjadi penyalahgunaan Alkitab yang mengatasnamakan ajaran Gereja Katolik dan kutipan ayat yang menyelipkan superioritas laki-laki yang kurang tepat diaplikasikan dalam situasi negatif seperti melarikan diri dari dosa dan pengakuan. Dunia juga sempat digemparkan oleh maraknya kasus pelecehan seksual di komunitas Gereja Katolik Perancis sejak 1950. Kasus-kasus yang tertimbun seakan tak pernah ada, Paus Fransiskus menjadi pendengar sekian derita. Hukum Gereja baru akhirnya dicetuskan dan diterapkan dan telah berhasil memberantas munculnya kasus terkini dengan pengangkatan ketua komite penanganan yang baru dengan harapan kasus dan pelaku diadili, bukan ditutupi, serta memperbaiki kondisi traumatis dengan memberikan dukungan kepada korban melalui terapi. 

Seribu cara yang terlintas, namun satu jawaban yang jelas: Sebagai umat Gereja Katolik yang hidup berdampingan dalam kasih, sudah sepantasnya manusia saling menghargai nilai dan martabat satu sama lain sebagaimana dinyatakan dalam hukum kasih yang kedua yaitu untuk mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri. Prolog kehidupan pun sudah mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat menurut citra Allah. Perbedaan peran, karakteristik, fisik, maupun psikologis seharusnya saling melengkapi, dikenali, dan dipelajari, bukan menghalangi perdamaian dan harmoni. 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (n.d.). Repository.Untag. Diambil tanggal Agustus 27, 2022, from http://repository.untag-sby.ac.id/1646/2/Bab%20II.pdf

Prasetyo, Y. (2021, Agustus 10). Pandangan gereja katolik mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Jpicofmindonesia.Org. Diambil tanggal Agustus 27, 2022, from https://jpicofmindonesia.org/2021/08/pandangan-gereja-katolik-mengenai-kekerasan-dalam-rumah-tangga/

Khalika, N. (2021, Oktober 24). Keseriusan gereja katolik berantas pelecehan seksual terus diuji baca selengkapnya di artikel “keseriusan gereja katolik berantas pelecehan seksual terus diuji.” Tirto.Id. Diambil tanggal Agustus 27, 2022, from https://tirto.id/keseriusan-gereja-katolik-berantas-pelecehan-seksual-terus-diuji-gkzb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun